
Gegara Pilkada Serentak, Pandemi Covid-19 Makin Lama Selesai

Jakarta, CNBC Indonesia- Presiden Joko Widodo memastikan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tetap dilakukan sesuai jadwal yakni 9 Desember 2020. Keputusan untuk tetap menyelenggarakan Pilkada serentak dikatakan demi menjaga hak konstitusi rakyat.
Ahli Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman mengatakan Pilkada serentak Desember nanti seharusnya ditunda di tengah pandemi Covid-19, karena dipastikan akan menimbulkan klaster baru. Apalagi saat ini menurutnya tidak ada wilayah Indoensia yang dalam kondisi terkendali, yang terbukti dari positivity rate yang tinggi.
"Perlu menunda pilkada sampai pandemi ini terkendali. Bisa dilakukan 6 bulan penanganannya asal konsisten. Pandemi ini bukan masalah politik tetapi hidup dan mati, satu klaster dari perkantoran bisa jadi masalah. Kalau pilkada kita akan membuat klaster banyak di daerah," kata Dicky kepada CNBC Indonesia, Rabu (23/09/2020).
Melanjutkan pelaksanaan serentak menurutnya bukanlah solusi bijaksana dalam menjaga kesehatan masyarakat. Dia mengakui masyarakat sering kali abai dalam menjalankan protokol kesehatan contohnya, tetapi negara berkewajiban menjaga masyarakat tetap aman di tengah pandemi. Salah satu upaya menjaga keamanannya adalah mencegah klaster baru yang muncul di masa Pilkada.
"Klaster ini kan memakan korban, ada kepala daerah wafat, calon kepala daerah yang harus dirawat karena Covid-19. Ini tanda awal ini sangat serius, satu klaster saja bisa memporakporandakan satu benua seperti yang terjadi di Eropa. Bagaimana dengan banyak klaster?" kata dia.
Untuk itu menurutnya Pilkada seharusnya ditunda paling tidak enam bulan, karena pandemi Covid-19 bukanlah masalah politik melainkan hidup dan mati. Dicky menyatakan jangan sampai calon kepala daerah justru menjadi korban dari Covid-19.
"Waktu (penundaan) kan tidak lama asal waktu lama asal kita serius dan bersinergi. Betul kata Pak Presiden, kita tidak ada yang bisa tahu kapan pandemi akan berakhir. Bahkan perkiraan terburuk bisa sampai 2024, tapi bukan berarti pilkada harus segera dilakukan di kondisi ini," ujar Dicky.
Dia menghimbau cara berpikirnya seharusnya dibalik, dalam 3-6 bulan ke depan pemerintah dan masyarakat bekerja sama membuat situasi terkendali dulu dengan penguatan 3T (test, trace, treatment). Dengan begitu, bukan cuma pilkada yang bisa dilakukan melainkan kegiatan ekonom bisa mulai pulih.
"Tapi kalau memilihnya adakan ini itu pada saat belum terkendali kita akan makin jauh dari terkendali. Saat ini posisi negara kita jauh dari ketekendali dan akan merugikan lagi," katanya.
Dia juga menegaskan virus ini taat pada hukum biologi, artinya SARS-Cov-2 tidak melihat latar belakang, percaya atau tidak pada keberadaan virus ini dan terus berkembang sesuai pola eksponensialnya. Artinya masyarakat harus bisa mengatasinya dengan meredam virus ini dengan memahami hukum biologi, menekan penyebaran dan potensi penularan.
"Ya namanya pilkada, massa yang begitu banyak jarak terabaikan. Walaupun pakai masker, jarak itu bukan sesuatu yang diabaikan, protokol kesehatan serumit apapun tetap punya celah dimana virus ini bs menyebar. Protokol kesehatan harus tegak berdiri di atas pondasi strategi pengendalian yang kuat," kata dia.
Saat ini dari semakin meningkatnya tes yang dilakukan, terlihat positivity rate di atas 14% dan menunjukan laju prevalensi atau penyebaran di masyarakat sangat tinggi. Dicky mengatakan implikasinya terlihat dari banyaknya kasus yang ditemukan, tetapi juga masih banyak infeksi yang belum ditemukan.
"Ini harus ditingkatkan, kalau tidak kita akan menghadapi penambahan yang semakin meningkat bisa sampai 10 ribu per hari. Jangan hanya di beberapa lokasi saja yang wilayah sudah bagus testingnya, tetapi juga seluruh wilayah Indonesia untuk meredam Covid-19," ujar Dicky.
(dob/dob)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Baru Sebut China Sudah Kaji Covid Sebelum Pandemi Meledak