Walah! Utang Luar Negeri BUMN Makin Bengkak, Capai Rp 838 T

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
15 September 2020 14:53
Kementerian BUMN (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Kementerian BUMN (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perkara utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memang menjadi sorotan banyak pihak. Apalagi di tengah pandemi Covid-19 dan risiko jatuhnya ekonomi RI ke jurang resesi seperti sekarang ini.

Bank Indonesia (BI) mencatat total utang luar negeri (ULN) BUMN RI pada periode Juli 2020 mencapai US$ 57,8 miliar. Apabila menggunakan asumsi kurs Rp 14.500/US$, nilai tersebut setara dengan Rp 838 triliun.

ULN BUMN Indonesia meningkat 15,1% (yoy), jauh melebihi kenaikan ULN swasta yang hanya 6,1% (yoy). Kenaikan ULN yang tinggi ini disebabkan oleh peningkatan ULN perusahaan bukan lembaga keuangan PBLK (BUMN) yang naik dobel digit (+20,4% yoy).

Di saat ULN lembaga keuangan RI mengalami kontraksi 2,2% (yoy), lembaga keuangan BUMN justru mencatatkan kenaikan ULN sebesar 1,7% (yoy). Kini total ULN BUMN RI mencapai 27,8% dari total ULN swasta. Rasio ULN BUMN RI terhadap PDB Indonesia mencapai 5,4%.

"Beberapa sektor dengan pangsa ULN terbesar, yakni mencapai 77,2% dari total ULN swasta, adalah sektor jasa keuangan & asuransi, sektor pengadaan listrik, gas, uap/air panas & udara dingin (LGA), sektor pertambangan & penggalian, dan sektor industri pengolahan" tulis BI dalam rilis informasi Statistik Utang Luar Negeri Indonesia (SULNI) periode Juli 2020.

ULN BUMN yang bengkak ini patut dikhawatirkan. Apalagi di tengah merebaknya pandemi Covid-19 yang tak kunjung usai. Ancaman terjadinya resesi akibat pandemi membuat kinerja korporasi menjadi sangat tertekan. Asian Development Bank (ADB) juga menyoroti ULN BUMN RI yang menggunung. 

"Utang eksternal dan publik Indonesia tetap berada di tingkat moderat dan berkelanjutan. Meskipun demikian, potensi pelemahan pendapatan, kewajiban kontinjensi
dari badan usaha milik negara (BUMN) dan kemitraan swasta publik (PPP) harus dipantau dengan cermat. Ketergantungan pada investor asing yang cukup besar, membuat Indonesia rentan terhadap pembalikan arus modal" tulis ADB dalam laporan yang bertajuk Debt Sustainability Assessment.

Meskipun BI telah mewajibkan korporasi dengan ULN untuk melakukan lindung nilai (hedging), volatilitas nilai tukar masih menjadi risiko besar yang dihadapi oleh swasta maupun BUMN.

Apalagi saat ini nilai tukar rupiah masih cenderung terdepresiasi terhadap dolar AS akibat adanya capital outflow. Rupiah memang berhasil rebound setelah tertekan hebat di bulan Maret lalu. Namun memasuki periode Juni, rupiah kembali terdepresiasi sampai saat ini.

Tren depresiasi rupiah terhadap dolar AS yang sedang terjadi membuat beban bunga menjadi lebih mahal sehingga meningkatkan risiko nilai tukar. 

Masalah lain juga muncul dari porsi ULN korporasi yang tinggi dimiliki oleh perusahaan yang bergerak di sektor yang cenderung capital intensive serta bergantung pada komoditas (commodity based).

Di masa pandemi seperti sekarang ini harga-harga komoditas masih tertekan, terutama harga batu bara. Saat pandemi Covid-19 belum merebak saja, harga komoditas sudah mulai melemah akibat perlambatan ekonomi global. Apalagi sekarang.

Dalam Kajian Stabilitas Sistem Keuangan triwulan I-2020, BI mengatakan bahwa pergerakan harga komoditas ini akan mempengaruhi kemampuan korporasi dalam mencetak laba serta melakukan investasi. 

Pada periode 2006-2019, pola pergerakan pro tabilitas dan investasi korporasi sejalan dengan pergerakan harga komoditas. Hal tersebut sejalan dengan peran penting sektor komoditas terutama batu bara dan minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/ CPO) terhadap perekonomian1 serta keterkaitan yang nggi sektor komoditas (pertanian dan pertambangan) dengan sektor lainnya.

Pada periode booming harga komoditas (2003-2011), pro tabilitas korporasi meningkat sejalan dengan peningkatan harga komoditas dan menurun sampai setelah periode booming harga komoditas berakhir.

Penurunan harga komoditas masih berlanjut pada 2019 sehingga menyebabkan penurunan profitabilitas korporasi yang semakin dalam. Penurunan kinerja korporasi lebih dalam pada periode distress.

BI juga melihat adanya kenaikan risiko dari sisi neraca korporasi. Pada kajian stabilitas sistem keuangan kuartal I tahun ini BI melihat bahwa ada tiga risiko neraca yang memburuk pada kuartal tiga tahun lalu yaitu risiko likuiditas, nilai tukar serta leverage (utang). 

Kajian Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia Triwulan I 2020Sumber : Kajian Stabilitas Sistem Keuangan Bank Indonesia Triwulan I 2020

Di antara ketiga risiko di atas yang paling memburuk adalah leverage risk-nya. Itu merupakan kondisi sebelum pandemi terjadi. Di masa pandemi, kondisi likuiditas perusahaan tentunya memburuk akibat adanya kebijakan pembatasan mobilitas publik.

Anjloknya penjualan yang signifikan serta produktivitas yang turun membuat profitabilitas tergerus. Arus kas perusahaan pun terkena imbasnya. Pada akhirnya kemampuan untuk membayar kewajiban juga tertekan. Strategi refinancing melalui penerbitan surat utang menggunakan bunga yang tinggi tentunya juga akan berdampak di masa depan. 

Banyaknya BUMN yang terlilit utang serta ruang fiskal yang terbatas membuat pemerintah akan lebih selektif dalam memilih BUMN mana yang akan diselamatkan (bailout) ketika terjadi sesuatu yang tak diinginkan.

Dalam lima tahun periode pertama Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjabat, ambisi pembangunan infrastruktur yang masif dengan melibatkan BUMN banyak yang dibiayai dengan utang.

Jika mengacu pada neraca, tingkat net debt to EBITDA BUMN RI terus tumbuh. Pada 2019 saja posisinya sudah mencapai lebih dari 4x. Artinya leverage yang digunakan sudah tergolong sangat tinggi. Jelas ini merupakan masalah yang sangat serius. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ya Ampun, Utang Luar Negeri BUMN Menggunung Sampai Rp 874 T

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular