
Rentetan Pabrik dari China Pindah ke RI, Tanda Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rantai pasok global yang terlalu terkonsentrasi di China menimbulkan risiko yang besar ketika terjadi shock seperti pandemi Covid-19 saat ini. Diversifikasi geografis diperlukan untuk membangun supply chain yang lebih baik.
Peran China sebagai pusat manufaktur global terancam dengan adanya tensi geopolitik dengan AS serta pandemi Covid-19. Perang dagang berupa penerapan bea impor produk-produk China ke AS tentu memberatkan para produsen.
Di sisi lain lockdown untuk menekan penyebaran wabah di China awal Januari hingga Maret lalu juga menimbulkan konsekuensi berupa disrupsi rantai pasok global.
Daya saing China pun lambat laun menurun dengan peningkatan upah tenaga kerja serta ongkos produksi sehingga membuat produk-produk made in China menjadi tak semurah dulu.
Berdasarkan data Euromonitor, pada tahun 2011-2020 upah pekerja pabrik per jam di China telah naik 64%. Sementara survei yang dilakukan oleh Japan External Trade Organization, menunjukkan bahwa ongkos produksi di China bahkan lebih tinggi daripada Vietnam.
Menggunakan angka 100 sebagai basis, ongkos produksi barang di China sebesar 80 sementara Vietnam hanya 74. Ongkos yang lebih kompetitif tentunya membuat banyak pabrik dari China melakukan relokasi ke Vietnam dan beberapa negara Asia Tenggara lain.
Pada September tahun lalu, saat relokasi besar-besaran terjadi dari China terjadi, Indonesia tak menjadi salah satu destinasi dari pemindahan pabrik itu. Hal ini tentu membuat Presiden Joko Widodo (Jokowi) kesal.
Bank Dunia menyampaikan dari 33 industri yang relokasi dari China, sebanyak 23 pindah ke Vietnam dan 10 lainnya terpencar ke negara Asia Tenggara lain seperti Kamboja, Myanmar, Thailand dan Malaysia. Namun tak ada satu pun yang ke Indonesia.
Fenomena decoupling AS-China dan pandemi Covid-19 semakin menjadi katalis bagi relokasi pabrik keluar dari China. Meski banyak pabrik yang ingin bedol desa dari China, bukan berarti menemukan lokasi baru yang sesuai adalah hal yang mudah.
China masih tetap memiliki keunggulan yang tak dimiliki negara lain seperti infrastruktur dan rantai pasoknya yang komplit.
Jika melihat kondisi negara lainnya, masih banyak yang jauh di bawah China. Misal, di India boleh saja upah tenaga kerjanya masih rendah, tetapi permasalahan infrastruktur masih membuatnya kurang kompetitif.
Bagaimanapun juga saat ini banyak negara yang berlomba-lomba untuk menggaet investor agar mau mendirikan atau memindahkan pabrik ke negaranya. Bahkan sekelas Jepang pun tak mau ketinggalan.
Nikkei Asian Review melaporkan, pemerintah Jepang bakal memberikan subsidi fiskal sebesar US$ 2,07 miliar agar pabrik yang tadinya hengkang dari Negeri Sakura balik kampung.
Hal ini mendapat respons positif dari pelaku industri. Pada putaran pertama yang berakhir pada Juni lalu, pemerintah telah memberikan izin terhadap 57 proyek bernilai US$ 541 juta.
Indonesia juga tak mau kalah dengan Jepang atau Vietnam. Saat pandemi Covid-19 merebak, Indonesia berhasil mengantongi 7 pabrik asal China yang bakal relokasi ke RI. Dari 7 pabrik tersebut, ada diantaranya yang berasal dari Jepang yaitu Denso dan Panasonic.
Kemudian ada juga perusahaan asal Korea yakni LG Electronics, perusahaan pembuat lampu solar asal AS yaitu Alpan Lighting Product. Nilai investasi dari relokasi pabrik ini diperkirakan mencapai US$ 850 juta.
Selain perusahaan-perusahaan asal Jepang, Korea Selatan, Taiwan dan AS di atas kabarnya Indonesia juga berhasil menarik komitmen dari 17 perusahaan lain dengan total nilai investasi mencapai US$ 37 miliar.
Jokowi memang tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Tak ingin kalah lagi dari Vietnam maupun negara ASEAN lain. Indonesia ingin memanfaatkan momentum dan keunggulan yang dimiliki Asia Tenggara yaitu lokasi strategis, biaya yang masih murah didukung dengan populasi yang besar.