Mohon Maaf, Indonesia Belum Merdeka dari Pandemi Covid-19

Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
17 August 2020 15:25
Petugas medis melayani pasien di RS Universitas Indonesia, Jakarta, Senin (2/6/2020). (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)
Foto: (CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto)


Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior yang juga pendiri The Institute for Development of Economics and Finance Didik Junaidi Rachbini menuliskan refleksi terkait HUT ke-75 Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia, Senin (17/8/2020). Menurut Didik, refleksi itu bertujuan untuk saling mengingatkan ihwal urusan publik dan masyarakat banyak serta dalam rangka check and balance yang lebih luas.


Dalam tulisan yang diterima CNBC Indonesia hari ini, terdapat sejumlah utama yang disampaikan.

Yang pertama dan utama, refleksi terhadap kebijakan pemerintah pada masa pandemi Covid-19. Menurut Didik, Indonesia belum merdeka dari pandemi Covid-19 yang menyerang masyarakat dan bangsa Indonesia.


"Refleksi kemerdekaan pada saat ini dengan perenungan lepas dan lebih mendalam menunjukkan pemerintah telah gagal mengendalikan pandemi karena kebijakan sejak awal lemah dan tidak menunjukkan niat dan implementasi yang kuat mengatasi Covid-19," ujarnya.

Pria kelahiran Pamekasan, Madura, Jawa Timur, ini mengungkapkan, sejak awal, pemerintah memberikan sinyal kebijakan yang membingungkan dan kacau sehingga disiplin dan barisan rakyat lengah serta terbuka diserang Covid-19. Sehingga banyak wilayah masuk zona merah selama berbulan-bulan dan hampir seluruh wilayah Indonesia terjangkit cCvid-19.

"Akhirnya kebijakan mengatasi pandemi gagal, nasi sudah menjadi bubur, seperti terlihat perbandingan kasus harian yang terjangkit Covid-19 di Indonesia. Kasus penyebaran dan masyarakat yang terjangkit Covid-19 terus meningkat dari waktu ke waktu sebagai pertanda kegagalan kebijakan mengatasi masalah pokok ini," kata Didik.

Ia menambahkan, Indonesia merupakan negara yang terbelakang dalam hal kebijakan pandemi ini. Hal itu terbukti dari hasil kebijakan yang nihil, kasus harian terus meningkat.

Didik menuding pemerintah yang menjadi pemicu peningkatan grafik kasus harian tersebut karena mengabaikan kontrol, kebijakan PSBB lemah, anggaran kesehatan tidak memadai, tes Covid-19 sejak awal sedikit, prioritas di lapangan lebih pada ekonomi.

Negara lain di ASEAN (seperti Malaysia, Thailand dan Vietnam) dan banyak negara lainnya sudah mampu mengendalikan masalah pokok Covid-19 ini. Kebijakan mengatasi pandemi di Indonesia dibandingkan dengan negara-negara tersebut terlihat sangat buruk, seperti pada grafik berikut.

Tabel Refleksi Kemerdekaan  bidang Ekonomi PolitikFoto: Ist



"Pemerintah dengan kasus harian yang parah ini tetap merasa yakin bisa menyelesaikannya, tidak ada perasaan bersalah, "confidence" naif. Kebijakan tidak berubah, tetap seperti biasanya sehingga tidak ada tanda-tanda kasus harian Covid-19 akan menurun. Dengan kegagalan yang kasat mata dalam kebijakan mengatasi pandemi ini, maka pemerintah selayaknya meminta maaf kepada rakyat Indonesia," ujar Didik.

"Pidato kenegaraan presiden tidak memperhatikan aspek kegagalan ini dan masih menganggap kebijakan pemerintah berada pada jalur yang benar ("on the right track"), sudah dianggap efektif berhasil, lebih hebat pertumbuhannya dibandingkan Singapura, Vietnam dan lainnya," lanjutnya.

Eks Anggota DPR RI dari Fraksi Partai Amanat Nasional ini bilang sumber masalah pokok dari ekonomi tidak bisa dikendalikan karena pemerintah mengabaikan kebijakan pengendalian pandemi Covid-19. Dengan keyakinan, pandemi akan beres dengan sendirinya, maka kebijakan pemerintah lebih memilih mendorong ekonomi dengan kucuran dana yang jauh melebihi anggaran kesehatan.

Strategi kebijakan ini, lanjut Didik, seperti mengisi ember bocor karena masalah dasar kebocorannya tidak diatasi dengan baik. Pilihan kebijakan ini terjadi karena pengaruh bisikan yang tidak bertganggung jawab dengan mengabaikan pilihan kebijakan yang rasional.

Didik pun menyoroti proyeksi pemerintah terkait pertumbuhan ekonomi tahun depan yang bahkan bisa mencapai 5,5 persen. Angka patokan ini, menurut dia, diambil dari mimpi yang tidak rasional karena tidak mungkin dicapai dengan kondisi ember bocor seperti sekarang ini.

"Masalah Covid-19 di Indonesia jauh panggang dari api, sama parahnya dengan Filipina. Tidak ada tanda-tanda kasus harian Covid-19 di Indonesia akan menurun. Kebijakan yang tidak sistematis, serabutan seperti ini memperlihatkan ketidakpastian, kapan kasus Covid-19 di Indonesia akan melandai," kata Didik.

Tabel Refleksi Kemerdekaan  bidang Ekonomi PolitikFoto: Ist



Dalam poin terakhir, dia mengungkapkan, sejak awal pemerintah pusat menyerahkan kebijakan dan implementasi pengendalian Covid-19, PSBB atau pelonggaran PSBB lebih banyak diserahkan kepada pemerintah daerah. Pemerintah pusat hanya memberi atau tidak memberi persetujuan PSBB kepada pemerintah daerah.

Seperti diketahui, lanjut Didik, pemerintah daerah mempunyai sumber daya dan dana yang sangat terbatas. Anggaran Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada umumnya 80-90 persen habis untuk rutin. Dana ini, secara sembrono bahkan oleh satgas diakui juga sebagai dana dalam rangka Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).

"Peranan pemerintah pusat yang kecil di lapangan adalah sumber kegagalan dalam kebijakan mengatasi pandemi covid-19 ini, seperti terlihat pada kasus harian terjangkit Covid-19 yang terus meningkat.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article DPR 'Ngarep' RI Merdeka dari Covid-19 Saat 17 Agustusan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular