
Karyawan Dapat BLT Rp 600 Ribu, Ampuhkah Dongkrak Ekonomi?

Jakarta, CNBC Indonesia - Untuk menjaga daya beli masyarakat, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) berencana untuk memberikan bantuan sosial bagi para pekerja di sektor swasta dengan gaji di bawah Rp 5 juta per bulan.
Besaran uang yang akan didapat mencapai Rp 600 ribu per bulannya selama empat bulan. Kini rencana tersebut tengah difinalisasi. Skema bantuan sosial ini merupakan bagian dari program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN).
Menurut penuturan Menteri Keuangan Sri Mulyani, saat ini ada 13 juta pekerja yang ditargetkan untuk mendapat santunan ini. Sehingga total anggaran yang harus dikeluarkan mencapai Rp 31,2 triliun.
Sementara itu, Menteri BUMN Erick Thohir selaku Ketua Pelaksana Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional mengatakan pemberian santunan ini akan dilakukan dengan periode dua bulan sekali.
Di tengah merebaknya pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) seperti sekarang ini, bantuan sosial (bansos) mutlak diperlukan untuk menjaga daya beli masyarakat. Apalagi untuk ekonomi seperti Indonesia yang tulang punggungnya ada di konsumsi domestik.
Dalam dua kuartal terakhir, anjloknya konsumsi rumah tangga telah membuat output perekonomian Indonesia mengalami perlambatan bahkan kontraksi. Pada kuartal pertama, ketika konsumsi melambat ke angka 2,84% (yoy) PDB Indonesia masih mampu tumbuh, tetapi sangat minimalis di angka 2,97% (yoy).
Lebih miris lagi di kuartal kedua saat Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diterapkan di berbagai wilayah Tanah Air, konsumsi masyarakat mengalami kontraksi 5,51% (yoy). Akibatnya output ekonomi Indonesia menyusut 5,32% (yoy).
Maklum, dengan populasi mencapai 268 juta jiwa, konsumsi domestik menyumbang porsi terbesar PDB hingga 55-60%. Oleh karena itu bansos mutlak diperlukan. Tak hanya untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS) saja, tetapi juga pegawai swasta dan sektor informal juga butuh santunan mengingat jumlahnya yang jauh lebih banyak.
Memang ada perdebatan seputar alokasi bansos ini dalam bentuk tunai atau non-tunai. Namun terlepas dari itu, pemerintah memutuskan untuk memberikan dalam bentuk keduanya.
Dari total Rp 405,1 triliun stimulus fiskal yang digelontorkan pemerintah, sebanyak Rp 110 triliun disalurkan untuk implementasi program jaring pengaman sosial (Social Safety Net Program) yang kemudian diberikan untuk Program Keluarga Harapan, Kartu Prakerja hingga Paket Sembako.
Sebelum menjawab apakah bansos yang diberikan kepada pegawai swasta ini mampu mendongkrak konsumsi domestik atau tidak ada beberapa catatan dan evaluasi untuk pemerintah terhadap implementasi bansos yang sudah terjadi seperti kartu sembako misalnya.
Masalah muncul di setiap lini, mulai hulu hingga ke hilir. Dari hulu terlebih dulu, isu seputar validitas data menjadi masalah yang membuat distribusi sembako menjadi tidak tepat sasaran. Pemutakhiran dan update data jelas dibutuhkan sebelum mendistribusikan bansos agar bisa diterima oleh masyarakat yang memang benar-benar butuh.
Dari sisi distribusi juga perlu mendapat kontrol yang ketat agar tidak ada celah untuk berbuat kecurangan bagi para vendor-vendor yang ditunjuk untuk membantu pendistribusian sembako.
Masalah ini memang pelik. Namun sangatlah krusial untuk diselesaikan agar bansos benar-benar tepat sasaran. Selain dua permasalahan tersebut ada faktor lain yang juga perlu mendapat perhatian lebih yaitu durasi pandemi.
Hingga kemarin saja, jumlah kasus infeksi baru Covid-19 di dalam negeri masih bertambah di atas angka 1.000 per hari. Puncak wabah masih belum terlihat. Kasus baru bertambah secara fluktuatif dengan tren yang meningkat.
Angka reproduksi efektif (Rt) kebanyakan daerah masih di atas 1, artinya potensi penularan Covid-19 dari satu pasien ke satu orang lain masih terbuka lebar. Dengan begitu, maka durasi empat bulan pemberian bantuan belum bisa dipastikan cukup atau tidaknya.
Durasi pandemi juga sangat menentukan seberapa yakin masyarakat Indonesia akan perekonomian. Ketika durasi semakin lama bukan tak mungkin masyarakat masih akan cenderung menahan pengeluarannya dan hanya fokus pada kebutuhan pokok saja.
Untuk mendongkrak daya beli masyarakat juga tak sekedar mengandalkan bansos saja. Belanja pemerintah yang diharapkan membawa dampak spill over juga harus ditingkatkan.
Namun bukannya meningkat, serapan anggaran kementerian dan lembaga malah rendah. Data BPS menunjukkan bahwa pertumbuhan konsumsi kolektif pemerintah justru malah turun 6,9% (yoy).
Saat pandemi seperti sekarang ini, angka pengangguran meningkat. Pendapatan masyarakat pun menurun. Daya beli akhirnya tergerus. Kenaikan angka kemiskinan merupakan suatu keniscayaan.
Sebelum wabah merebak dengan ganas saja, angka kemiskinan di Tanah Air meningkat. Apalagi setelah pandemi, tingkat kemiskinan kemungkinan besar akan kembali ke dobel digit. Pasalnya penduduk miskin di Indonesia memang berada di angka 20-an juta, tetapi yang rentan miskin jumlahnya ada sebanyak 115 juta menurut Bank Dunia.
Proyeksi Badan Kebijakan Fiskal (BKF) menunjukkan kemungkinan akan ada tambahan penduduk miskin sebanyak 1,16 juta hingga 3,78 juta. Sementara itu menurut Bank Dunia dan SMERU kenaikan angka kimiskinan di Tanah Air berpotensi bertambah sebanyak masing-masing 5,6-9,6 juta dan 1,3-8,6 juta orang.
Sebenarnya bansos yang dialokasikan untuk pegawai swasta ini memang harus ada. Namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah agar programnya terlaksana dan tepat sasaran.
Faktor-faktor tersebut tentunya seperti validitas data, skema pendistribusian, serapan anggaran pemerintah hingga penanganan pandemi itu sendiri. Aspek-aspek inilah yang pada akhirnya akan menentukan seberapa efektif pemberian bansos untuk mendongkrak konsumsi sebagai penopang utama ekonomi RI.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Makin Landai, Kasus Covid-19 Bertambah 227