Aturan Baru ESDM: KKKS tak Lagi Wajib Pakai Skema Gross Split

Anisatul Umah, CNBC Indonesia
03 August 2020 14:40
Minyak Bumi
Foto: Ilustrasi eksplorasi minyak (Reuters)

Jakarta, CNBC IndonesiaMenteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif menerbitkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 12 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Menteri ESDM Nomor 08 Tahun 2017 tentang Kontrak Bagi Hasil Gross Split.

Salah satu poin penting dalam beleid yang diundangkan pada 16 Juli 2020 itu adalah Kementerian ESDM tidak lagi mewajibkan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) minyak dan gas menggunakan skema gross split alias bisa juga menggunakan skema cost recovery.

Aturan yang diteken Arifin pada 15 Juli 2020 itu mengubah dan menghapus sejumlah pasal. Misalnya pada Pasal 2 ayat 1 yang diubah menjadi:

"Menteri (ESDM) menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama yang akan diberlakukan untuk suatu wilayah kerja dengan mempertimbangkan tingkat risiko, iklim investasi dan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara."

Kemudian, Pasal 2 ayat 2 menyatakan, penetapan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama dapat menggunakan bentuk:
a. Kontrak bagi hasil gross split
b. Kontrak bagi hasil dengan mekanisme pengembalian biaya operasi, atau
c. Kontrak kerja sama lainnya.

Selanjutnya, dalam Pasal 2 ayat 3, dalam hal Menteri (ESDM) menetapkan bentuk dan ketentuan pokok kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat 2, paling sedikit memuat persyaratan, yaitu kepemilikan sumber daya alam tetap di tangan pemerintah sampai pada titik penyerahan, pengendalian manajemen operasi berada pada SKK Migas dan modal dan resiko seluruhnya ditanggung Kontraktor.

"Kontrak Bagi Hasil Gross Split sebagaimana dalam Pasal 2 ayat 2 huruf a, menggunakan mekanisme bagi hasil awal (base split) yang dapat disesuaikan berdasarkan komponen variabel dan komponen progresif," demikian bunyi Pasal 4.

Aturan baru ini juga menghapus ketentuan Pasal 24 yang mengatur mengenai pemberlakuan kontrak bagi hasil Gross Split bagi pengelolaan terhadap wilayah kerja yang akan berakhir jangka waktu kontraknya dan tidak diperpanjang, serta wilayah kerja yang akan berakhir dan diperpanjang.



Selain itu, permen ini menghapus Pasal 25 huruf b, mengubah huruf d dan menambahkan satu huruf, yaitu e. Dengan demikian, pasal 25 berbunyi:

a. Kontrak kerja sama yang telah ditandatangani sebelum permen ini ditetapkan, dinyatakan tetap berlaku sampai dengan tanggal berakhirnya kontrak yang bersangkutan;
b. Dihapus;
c. Kontraktor yang kontrak kerja samanya telah ditandatangani sebelum permen ini ditetapkan, dapat mengusulkan perubahan bentuk kontrak kerja samanya menjadi kontrak bagi hasil gross split;
d. Dalam hal kontraktor mengusulkan perubahan bentuk kontrak kerja sama sebagaimana dimaksud dalam huruf c, biaya operasi dapat diperhitungkan menjadi tambahan split bagian kontraktor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1;
e. Terhadap penunjukan PT Pertamina (Persero) atau afiliasinya sebagai pengelola wilayah kerja baru yang kontrak kerja samanya belum ditandatangani, Menteri menetapkan bentuk kontrak kerja samanya.

Penerbitan Permen No.12/2020 merupakan wujud dari pernyataan Arifin terkait kontrak bagi hasil migas yang disampaikannya dalam sejumlah kesempatan. Misalnya saat ditemui di kantor Kementerian ESDM, Jumat (10/1/2020).

"Sudah bisa dua (dua skema dalam kontrak bagi hasil migas yaitu gross split dan cost recovery)," kata Arifin.

Meskipun demikian, Ia mengatakan akan dilakukan pembenahan terhadap skema cost recovery. Sebab, skema itu dianggap masih memiliki beberapa kekurangan.

"Tapi kita benahin dulu cost recovery. Ya kita lihat yang kurang-kurang pas gitu," ujar Arifin.



Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Migas Nasional (Aspermigas) John S. Karamoy angkat suara perihal penerbitan Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2020. Ia mengatakan Production Sharing Contract (PSC) Cost Recovery dan PSC Gross Split itu sebenarnya sama saja. Penghasilan dari kedua PSC System tersebut dinyatakan dalam pembagian produksi migas.

Ia menyebut, pada umumnya pembagian, produksi minyak bumi adalah 60% untuk pemerintah dan 40% untuk investor. Dalam PSC Cost Recovery, bagian investor terdiri dari Cost Recovery Oil (dalam barel - berkisar di 25% produksi) dan Profit Oil (dalam barel - berkisar di 15% produksi).

"Dalam PSC Gross Split, pembagian produksi sudah dapat dihitung sebelum melakukan eksplorasi. Yang mana yang menguntungkan Pemerintah dan yang menguntungkan investor itulah yang harus menjadi pilihan. Jika investor memilih salah satu dari dua PSC system tersebut, apakah pemerintah mau mendukung penuh dengan pilihan tersebut?," ungkapnya, Senin (03/08/2020).

Lebih lanjut, John mengatakan yang dibutuhkan demi menjaga investasi, yakni, apapun kebijakan yang berubah, hasil akhir bagian investor tidak berubah. Inilah yang disebut kepastian hukum dari pandangan investor.

Masalah yang dihadapi investor saat ini adalah kenyataan proses persetujuan pengembangan (POD) dari penemuan migas yang telah mereka peroleh sebagai hasil dari eksplorasi masih bertele-tele, apalagi dibebani dengan biaya-biaya tambahan.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Mau Hapus Premium & Pertalite? Ini Penjelasan Menteri ESDM

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular