
Trump Restui AS Obral Drone ke Militer Asing, Sinyal Apa Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Presiden AS Donald Trump bakal merevisi perjanjian senjata di era Perang Dingin dengan 34 negara untuk memungkinkan kontraktor pertahanan AS bisa menjual lebih banyak drone atau pesawat tanpa awak kepada sekutu, termasuk kepada militer asing.
Hal itu disampaikan seorang pejabat Departemen Luar Negeri AS, pada Jumat lalu (24/7/2020) sebagaimana dilansir CNBC International.
Kabar revisi kebijakan ini akan membuka penjualan drone bersenjata AS ke pemerintah asing yang sebelumnya dilarang di bawah rezim kontrol teknologi rudal (Missile Technology Control Regime/MTCR) yang ditandatangani tiga dekade lalu oleh 35 negara anggota.
MTCR adalah perjanjian politik informal di antara 35 negara anggota yang berupaya membatasi proliferasi (pertumbuhan sangat cepat) dari teknologi misil dan rudal. Rezim dibentuk pada tahun 1987 oleh negara-negara industri G-7.
![]() Drone MQ-9B SkyGuardian (Dok. General Atomics Aeronautical Systems) |
MTCR mengklasifikasikan drone besar yang mirip dengan rudal jelajah, yang membuat penjualan senjata semacam itu tunduk pada aturan pembatasan ekspor yang tinggi.
Dengan kebijakan yang akan diperbarui, nantinya AS tidak lagi mengendalikan drone yang terbang di bawah 800 kilometer per jam - seperti Reaper yang dibuat oleh General Atomics dan Global Hawks yang dibuat oleh Northrop Grumman - karena kategori ini akan masuk dalam kriteria yang lebih rendah yang berada di luar yuridiksi MTCR.
Clarke Cooper, asisten sekretaris untuk urusan politik-militer di Departemen Luar Negeri AS, mengatakan kebijakan baru itu akan membantu sekutu dan mitra AS dalam "memenuhi kebutuhan keamanan nasional dan komersial yang mendesak."
Kebijakan ekspor drone AS yang dimodifikasi sebagian besar dipandang sebagai upaya administrasi Trump untuk menjual lebih banyak senjata di luar negeri.
Cooper mengulangi bahwa penjualan drone secara bebas oleh AS masih akan ditahan dulu di tengah kekhawatiran bahwa penjualan lebih banyak drone akan menyebabkan pelanggaran hak asasi manusia. Sebelumnya memang ada keberatan dari para pembela hak asasi manusia yang memperingatkan risiko memicu ketidakstabilan, termasuk Timur Tengah dan Asia Selatan.
"Ini semua adalah penentuan kasus per kasus berdasarkan tidak hanya apa yang menjadi persyaratan mitra tetapi juga bagaimana hal itu sejalan dengan minat AS," katanya.
Sekretaris Pers Gedung Putih Kayleigh McEnany mengatakan bahwa MTCR sudah ketinggalan zaman, melukai industri pertahanan AS dan "menghalangi kemampuan pencegahan di luar negeri dengan menghalangi mitra dan sekutu kami dengan teknologi di bawah standar."
"Menyetujui atau menolak penjualan [drone] ke negara mana pun adalah keputusan seluruh pemerintah dan memperhitungkan keamanan nasional, nonproliferasi, dan tujuan kebijakan luar negeri kami, serta kemampuan negara pembeli untuk menggunakan dan menjaga secara bertanggung jawab, teknologi asal negara, "kata McEnany dalam sebuah pernyataan.
(tas/tas)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Heboh Rumah Donald Trump Digerebek FBI, Ada Apa?
