'Persoalan Bank Bukan Likuiditas, tapi Sektor Riil yang Lesu'

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
20 July 2020 17:11
Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri  (CNBC Indonesia/Cantika Adinda Putri)
Foto: Wakil Komisaris Utama Bank Mandiri, Chatib Basri (CNBC Indonesia/Cantika Adinda Putri)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Universitas Indonesia (UI) Chatib Basri menilai melakukan penempatan dana di perbankan sebagai upaya injeksi likuiditas dinilai tidak efektif.

Seperti diketahui, pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 70/PMK.05/2020 tentang Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dalam Rangka Percepatan Pemulihan Ekonomi Nasional.

Menurut Menteri Keuangan (periode 2013-2014) ini, permasalahan perbankan bukanlah persoalan likuiditas, tapi karena sektor riil yang lesu. Karena tidak ada gunanya apabila likuiditas ditambah, tapi permintaan kredit nihil atau tidak ada.

"Loan to deposit ratio masih menurun, likuiditas ample. Upaya mendorong perbankan dengan likuiditas mungkin tidak akan terlalu efektif [...] belajar dari krisis 2008, tidak ada bank satu pun di dunia yang mau memberikan pinjaman kepada eksportir," jelas Chatib dalam diskusi virtual, Senin (20/7/2020).

Chatib bercerita saat 2008 saat itu, dirinya menjadi Deputi Finance Minister untuk G20. Saat itu kata dia global trade collapse dan karena tidak ada satu pun bank di dunia memberikan pinjaman, maka multilateral development bank memutuskan untuk menyuntik kepada dunia usaha hingga US$ 250 miliar.

Asal tahu saja, krisis keuangan global pada 2008 berdampak pada dunia perbankan, terutama dalam melakukukan kebijakan kredit. Bank melakukan kebijakan kredit yang lebih selektif sehingga hal tersebut memunculkan fenomena credit crunch. Credit crunch adalah keengganan bank dan penghematan pinjaman yang dilakukan oleh bank.

"Multilateral development bank untuk memasukkan [ke dunia usaha] US$ 250 billion di dalam dua tahun untuk memberikan credit guarantee. Karena persoalan perbankan adalah credit crunch [krisis kredit] bukan likuiditas," jelas Chatib.

Oleh karena itu, Chatib menyarankan kepada pemerintah untuk bisa mengantisipasi agar tidak credit crunch di tengah pandemi saat ini. Pun, jika saat ini ada perbankan yang likuiditasnya bermasalah, menurut Chatib hal itu dikarenakan adanya masalah yang sebenarnya sudah terjadi pada sebelum covid-19.

Dari kacamata Chatib, restrukturisasi kredit yang diberikan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) akan berdampak ke sektor riil di tahun depan.

"Persoalan sektor rill kita akan muncul di 2021, kenapa? Karena sekarang itu kredit direlaksasi, di mana kolektibilitas 1 dan 2 dianggap lancar. Sampai nanti OJK mengakhiri relaksasi kreditnya, sehingga nanti kita akan tahu, apakah itu kreditnya akan macet betulan atau tidak," tuturnya.

Sehingga menurut Chatib, yang paling penting untuk memulihkan ekonomi adalah dengan menciptakan permintaan kredit.

Sehingga kebijakan suku bunga acuan juga akan efektif untuk mendorong permintaan kredit.

"BI turunkan suku bunga itu sesuatu yang useful. Tapi kalau pun bunga diturunkan, orang enggak akan minta kredit kalau permintaannya tidak ada. Jadi yang harus pertama kali dilakukan adalah menciptakan permintaannya," kata Chatib.

Pada saat yang sama, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Destry Damayanti mengkonfirmasi, meski saat ini suku bunga acuan BI7DRR sudah dengan level 4%. Namun penurunan bunga acuan tersebut belum direspon cepat oleh perbankan.

Di tengah pandemi saat ini, perbankan lebih berpikir dua kali untuk memberikan penyaluran kredit. Padahal likuiditas perbankan masih sangat mencukupi.

Longgarnya kondisi likuiditas tercermin pada rendahnya suku bunga pasar uang antarbank (PUAB), yaitu di sekitar 4 persen pada Juni 2020, serta rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) tetap besar yakni 24,33 persen pada Mei 2020.

"Tapi memang transmisi di perbankannya masih lambat. Suku bunga kredit baru turun sekitar 74 basis poin. Bank juga masih keberatan untuk memberikan pinjaman, karena melihat risiko," ungkapnya.

Sejalan dengan penurunan suku bunga PUAB, rerata tertimbang suku bunga deposito dan kredit modal kerja pada Juni 2020 menurun dari 5,85% dan 9,60% pada Mei 2020, menjadi 5,74% dan 9,48%.

Pertumbuhan besaran moneter M1 dan M2 pada Mei 2020 juga meningkat menjadi 9,7% (yoy) dan 10,4% (yoy).

Selain itu, Rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio/CAR) perbankan Mei 2020 tetap tinggi yakni 22,14%, dan rasio kredit bermasalah (Non Performing Loan/NPL) tetap rendah yakni 3% (bruto) dan 1,17% (neto).


(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Eks Menkeu Ungkap Kebangkitan China Jadi Malapetaka RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular