
Modus Ajaib Impor Tekstil: Dibeking, Kloning, 'Sulap' Dokumen

Jakarta, CNBC Indonesia - Serbuan tekstil dan garmen impor ke Indonesia kala pandemi corona menjadi tanda tanya. Selama ini Indonesia sudah menerapkan safeguard sebagai tarif tambahan impor agar membendung TPTĀ impor khususnya dari China.
Lonjakan impor ini diduga ada permainan aparat dengan pengusaha, seperti yang diungkap oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), hingga pemalsuan dokumen dan membentuk banyak PT.
Kejagung sudah menetapkan lima orang tersangka dalam kasus dugaan korupsi importasi tekstil pada Direktorat Jenderal (Ditjen) Bea dan Cukai tahun 2018-2020. Empat dari pegawai Ditjen Bea Cukai dan satu orang dari kalangan pelaku usaha.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wiraswasta menilai potensi aparat penegak hukum untuk menemukan nama-nama lain dalam kasus ini kian terbuka lebar.
"(Pengusaha) itu hanya 2 perusahaan dan 1 orang. Padahal 1 orang itu bisa punya 10 perusahaan," kata Redma kepada CNBC Indonesia, Senin (20/7/2020).
Pengusaha ini seolah melakukan 'kloning' perusahaan dengan membuat banyak nama PT. Berdasarkan data yang dirilis Kejaksaan Agung (Kejagung) ada nama Perusahaan dan nama pemilik, antara lain pemilik PT FIB dan PT GP berinisial "I". Ia diduga terlibat dalam masuknya 27 kontainer tekstil dan produk tekstil (TPT) ke Indonesia.
Dalam temuan Bidang Penindakan dan Penyidikan KPU Bea Cukai Tanjung Priok, didapati ketidaksesuaian mengenai jumlah dan jenis barang antara dokumen PPFTZ-01 keluar dan isi muatan hasil pemeriksaan fisik barang. Setelah dihitung, terdapat kelebihan fisik barang masing-masing untuk PT PGP sebanyak 5.075 rol dan PT FIB sebanyak 3.075 rol.
Selain itu, di dalam dokumen pengiriman disebutkan kain tersebut berasal dari Shanti Park, Myra Road, India, dan kapal pengangkut berangkat dari Pelabuhan Nhava Sheva di Timur Mumbai, India. Namun, faktanya, kapal pengangkut tersebut tak pernah singgah di India dan kain-kain tersebut ternyata berasal dari China.
Redma menilai modus sejenis sudah biasa dilakukan dengan pengalihan kode HS (harmonized system) dan pemalsuan COO (Certificate origin). Cara-cara ini dilakukan oleh trader impor yang sebenarnya jumlahnya sangat kecil dibandingkan pengusaha tekstil lokal impor.
"Sekitar 20-25 perusahaan yang dipunyai 5 orang doang. Satu orang bisa punya 5-10 perusahaan. Jadi modusnya macam-macam," jelasnya.
Demi meminimalisir masuknya barang impor, utamanya dari China yang masuk ke Indonesia, pemerintah sebenarnya sudah menerapkan safeguard atau tarif tambahan impor untuk menekan impor.
Sayangnya, penerapan di lapangan dinilai masih banyak permainan, maka akan sulit untuk membendungnya. Produsen dalam negeri pun kian terhimpit oleh sejumlah trader yang tidak mengikuti aturan.
"Kalau pabrik ada rekomendasi Kementerian Perindustrian, ada tenaga kerja ada, tiap bulan bayar listrik, BPJS, itu jangan dihambat. Ini ada perusahaan alamat nggak jelas, dicek alamat ruko doang tapi kapasitas izin sangat besar. Kuota impor gede, masih pemalsuan COO masih under volume masih under value. Ini yang menghancurkan pasar," jelas Redma.
Namun, hingga kini Direktur Jenderal Bea dan Cukai Heru Pambudi belum merespon pertanyaan CNBC Indonesia soal berbagai dugaan pelanggaran di atas.
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Duh! 4 Pejabat Bea Cukai Jadi Tersangka Kasus Impor Tekstil