Kisah Seporsi Big Mac & Fakta Ekonomi China yang Salip AS

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 July 2020 08:49
Chinese and U.S. flags flutter near The Bund, before U.S. trade delegation meet their Chinese counterparts for talks in Shanghai, China July 30, 2019.  REUTERS/Aly Song
Foto: Bendera Tiongkok dan AS berkibar di dekat Bund, jelang delegasi perdagangan AS bertemu dengan China di Shanghai, Cina 30 Juli 2019. REUTERS / Aly Song

Jakarta, CNBC Indonesia - Paman Sam boleh jadi negeri adikuasa selama berabad-abad lamanya. Namun kini tampaknya hegemoni itu mulai tergerus. Nyatanya, Amerika Serikat (AS) bukan lagi negara dengan ekonomi terbesar di planet bumi. Posisi nomor wahid itu kini diduduki oleh rivalnya, China.

Untuk menentukan ukuran ekonomi (size) suatu negara, biasanya digunakan indikator berupa Produk Domestik Bruto (PDB). PDB sejatinya mengukur output total barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara dalam kurun waktu tertentu. Biasanya dalam rentang waktu kuartalan dan tahunan. 

Jika mengacu pada data Bank Dunia, output perekonomian AS tercatat sebesar US$ 21,4 triliun tahun lalu. Dengan angka yang fantastis tersebut AS tetap menjadi raksasa ekonomi global. 

Di posisi kedua ada Negeri Tirai Bambu dengan output sebesar US$ 14,3 triliun. Kendati terpaut cukup jauh dengan sang rival, China tak bisa diremehkan.

Total populasi penduduk China mencapai 1,3 miliar, sementara penduduk AS hanya berjumlah kurang lebih 350 juta. Dari segi ukuran populasi jelas China hampir empat kali lipat AS. 

Negeri Panda juga memiliki 4,7 kali pekerja lebih banyak ketimbang AS. Jika dengan jumlah tersebut saja total barang dan jasa yang dihasilkan mencapai 99 triliun yuan, maka dengan peningkatan produktivitas sedikit saja China akan menyalip AS dari sisi economic size-nya. 

Kemunculan China sebagai raksasa ekonomi baru dari poros Asia dengan ideologi yang berbeda menjadi ancaman bagi Uncle Sam. Sampai saat ini Negeri Adidaya masih menglaim lebih superior ketimbang China. 

Secara PDB nominal yang diukur dengan pendekatan nilai tukar di pasar memang jelas AS lebih unggul. Jauh bahkan. Namun jika diukur dengan pendekatan lain, jawaban yang diperoleh justru sebaliknya. 

Pada 1986, majalah ekonomi terkemuka The Economist,  mengembangkan suatu metode yang mengukur output perekonomian dari suatu negara menggunakan pendekatan seberapa mahal/murah suatu barang di satu negara dibanding dengan negara lain. 

The Economist memilih Big Mac produksi perusahaan waralaba AS McDonald's sebagai acuannya. Alasannya simpel, Big Mac hampir tersedia di berbagai negara.

Dengan asumsi harga satu Big Mac adalah sama di setiap negara, maka dengan pendekatan ini dapat diketahui negara mana saja yang nilai tukarnya tergolong kemahalan atau kemurahan jika disandingkan dengan dollar greenback.

Jika mengacu pada metode tersebut maka ekonomi China telah berada di depan AS. Bagaimana bisa? Mari lakukan kalkulasi bersama. Untuk satu porsi Big Mac di AS harganya dibanderol di US$ 5,71. Sementara itu di China satu porsi burger tersebut dipatok sebesar 21,7 yuan. 

Dengan asumsi bahwa harga Big Mac di semua negara akan sama, maka nilai wajar mata uang yuan di hadapan dolar AS yang asli adalah 3,8. Padahal harga di pasar tahun lalu, 1 US$ dipatok di 6,9 yuan. Artinya yuan kemurahan 44% dibandingkan dolar. 

Sekarang kita bisa menggunakan 3,8 yuan per 1 US$ sebagai harga wajar untuk mengukur ekonomi China. Hasil pembagian dari total output (barang dan jasa) senilai 99 triliun yuan dengan rate wajar berdasarkan harga satu porsi Big Mac maka PDB China sudah mencapai US$ 26 triliun. Lebih besar dari output AS!

Metode pengukuran ini juga dikenal dengan Purchasing-power parity (PPP). Harga Big Mac yang lebih murah di China sebenarnya menunjukkan bahwa ukuran ekonomi China saat ini bisa dibilang lebih kecil dari realitanya. 

Penggunaan metode PPP untuk mengukur economic size suatu negara juga dilakukan oleh Bank Dunia. Namun pendekatannya sedikit berbeda. Jika The Economist menggunakan Big Mac sebagai acuan, Bank Dunia menggunakan metode yang lebih sistematis lagi dengan barang acuan yang lebih banyak dan beragam.

Perhitungan PDB berdasarkan PPP pertama kali diluncurkan oleh Bank Dunia pada 2011 silam. Kala itu output perekonomian AS masih di angka US$ 17 triliun berdasarkan PPP. Meski berada di nomor dua, China sudah berada di US$ 14 triliun. 

Namun jika mengacu pada data terbaru Bank Dunia tahun 2017, PDB China tercatat mencapai US$ 19,6 triliun sementara AS mencapai US$ 19,5 triliun. Sampai di sini sudah terlihat bahwa China telah menyalip AS sejak tiga tahun silam.

Hasil ini bukan tak menimbulkan kontroversi. Banyak yang juga skeptis terhadap metode pengukuran PPP terutama jika hanya menggunakan acuan Big Mac saja.

Bagaimanapun juga penggunaan acuan yang terlalu banyak juga dapat menimbulkan hasil yang tidak konklusif lantaran harga hingga kultur konsumsi suatu barang di berbagai negara berbeda-beda.  

Terlepas dari pro dan kontra yang ada, ekonomi China memang tengah disorot dunia. Transformasi ekonomi yang diinisiasi sejak 40 tahun silam kini mulai membuahkan hasil. Tak tanggung-tanggung, China yang pada tahun 1970an masih kumuh kini telah menjadi raksasa ekonomi global sampai jadi ancaman hegemoni AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(twg/twg)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ada Corona-Perang Ukraina, Target PDB AS Dipangkas

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular