
Memaknai Kata-kata Jokowi : Ngeri, Bahaya, Krisis

Jakarta, CNBC Indonesia - "Kita harus ganti channel. Dari ordinary, pindah ke extraordinary. Dari cara-cara yang sebelumnya rumit, ganti channel ke cara-cara yang cepat dan cara yang sederhanal. Karena saya merasakan ini mengerikan lho. Bukan hal yang biasa, ini mengerikan."
Itulah sepenggal pernyataan yang disampaikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam rapat terbatas pada Selasa (7/7/2020). Rapat tersebut bersifat tertutup dari media massa. Sekretariat Presiden kemudian baru mengunggah pidato Jokowi, (8/7/2020).
Pidato yang disampaikan Jokowi sejatinya tidak seperti pidato pada sidang kabinet paripurna pada 18 Juni 2020 lalu. Kala itu, Jokowi tak segan meluapkan amarahnya di depan jajaran kabinet Indonesia Maju. Bahkan, kepala negara sampai mengancam untuk melakukan reshuffle.
Dalam pidatonya kali ini, tidak ada nada tinggi atau raut muka kesal. Namun, ada sejumlah perkataan Jokowi yang tersirat makna cukup dalam dan seharusnya menjadi tamparan keras bagi jajaran menteri yang masih saja bekerja biasa-biasa saja dalam situasi krisis.
![]() |
Jokowi menyebut, Indonesia saat ini tak hanya menghadapi krisis kesehatan, melainkan juga krisis ekonomi. Jokowi menyatakan bahwa apabila jajarannya masih bekerja biasa saja, ada kekhawatiran ekonomi di kuartal ketiga akan mengalami kejadian serupa seperti di kuartal sebelumnya.
"Ngeri saya, terus terang ngeri di kuartal III ini. Kuncinya di kuartal III. Saya melihat setelah rapat kabinet, ada pergerakan yang lumayan. Sudah bergerak lebih baik, tapi belum," kata Jokowi.
CNBC Indonesia pun berbincang dengan kalangan analis mengenai makna dari pernyataan Jokowi. Perkataan Jokowi, dianggap sebagai sebuah lecutan semangat bagi para menteri di tengah situasi yang benar-benar tidak menentu saat ini.
"Presiden ingin mendorong, memberikan semangat kepada menteri dan pemerintah daerah bahwa harus ada sense of crisis. Karena Covid-19 memiliki dampak yang cukup berat," kata Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede kepada CNBC Indonesia, Kamis (9/7/2020).
Josua memahami perkataan yang diucapkan Jokowi. Menurutnya, kecemasan kepala negara tak lepas dari adanya kemungkinan Indonesia mengalami resesi, di mana pertumbuhan ekonomi yang tumbuh negatif dalam dua kuartal berturut-turut.
"Ini sebuah kengerian yang wajar. Karena kemarin Covid-19 rekor lagi. Kasus bertambah, dampak ke ekonomi di new normal tidak bergerak signifikan. Ini adalah situasi yang tidak pernah kita pikirkan semua, semua negara berpotensi mengalami resesi. Bisa dibayangkan kondisinya," katanya.
Josua melihat bahwa belanja pemerintah memegang peranan penting sebagai upaya menjaga daya beli masyarakat yang terhantam Covid-19. Jokowi, kata dia, sudah jelas tak ingin stimulus yang diberikan kepada masyarakat terlambat.
"Karena kalau tidak, ini akan memengaruhi pengangguran, kemiskinan, gini ratio berpotensi meningkat. itu risiko yang terjadi kalau tidak ada gerak cepat dari para menteri. Jadi mungkin itu yang dimaksud ngeri dan bahaya," tegasnya.
Peneliti INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara menilai bahwa masih ada jajaran menteri yang tidak memiliki sense of crisis. Meskipun tidak secara gamblang menyebutkan siapa yang dimaksud, namun itu menjadi alasan kenapa Jokowi masih kerap kali mengulang pernyataannya.
"Menteri, khususnya di bidang ekonomi dan kesehatan tidak memiliki sense of crisis. Pak Jokowi wajib kesal dan marah. Bukan hanya pada realisasi, tapi yang lebih parah lagi pada program yang ada," katanya.
"Misalnya, Menteri Pertanian. Kerja nyatanya kalung anti corona. Itu baru pemborosan anggaran. Program ini sama sekali tidak menunjukkan adanya antisipasi krisis," tegasnya.
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Covid Meledak, Pengakuan Jokowi Pilih Kesehatan atau Ekonomi?