Sri Mulyani Sebut APBN Goyang Saat Krisis Era SBY, Sekarang?

Lidya Julita Sembiring, CNBC Indonesia
05 July 2020 11:45
INFOGRAFIS, Daftar 7 Bumn Yang Masih Merugi
Foto: Ilustrasi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati (CNBC Indonesia/Edward Ricardo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuangkan pengalaman saat menjadi menkeu dua pemerintahan presiden yakni era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).

Sri Mulyani menduduki jabatan menkeu era SBY pada 7 Desember 2005-20 Mei 2010 dan menkeu era Jokowi sejak 27 Juli 2016 hingga saat ini. Semua itu dituangkan dalam buku berjudul 'Terobosan Baru Atas Perlambatan Ekonomi', Sabtu (4/7/2020). Dalam buku itu, Ia menceritakan pula mengenai pandemi Covid-19 yang membuat semua negara bisa menuju krisis.

"Pada saat kita sibuk menjalankan institusi dan menjalankan undang-undang, jangan lupa at the end fiscal policy is about economic policy. Dan ekonomi itu nggak jalan linier dan mulus. Seperti yang terjadi hari ini," kata Sri Mulyani dalam acara peluncuran buku itu.

Dalam periode 2004-2009 misalnya, dia menyebut harga minyak dunia melonjak drastis dari yang tadinya US$ 30 per barel jadi US$ 100 per barel. Alhasil, subsidi minyak yang tadinya dipatok Rp 90 triliun bengkak menjadi Rp 350 triliun setahun.

"APBN kita goyang, bagaimana kita mengolahnya dan mengelolanya. Kalau kita harus membuat reform di bidang subsidi berarti masyarakat harus menanggung harga BBM yang lebih tinggi," ujar Sri Mulyani.

Namun di sisi lain, dia menegaskan pemerintah saat itu berupaya agar angka kemiskinan tidak naik. Karenanya, pilihan-pilihan tersebut menurutnya jadi kesulitan yang luar biasa dalam menentukan kebijakan fiskal.

"Lalu jangan lupa kita terkena tsunami Aceh [26 Desember 2004] waktu itu, dan berbagai episode waktu itu 2008 terjadinya global financial crisis. Bagian itulah bagaimana fiskal bisa tegar tetap menjadi apa yang disebut tempat atau policy untuk negara melakukan adjusment [penyesuaian] pada saat shock itu terjadi, baik dari dalam, dari luar, maupun dari natural disaster seperti tsunami. Itu peran fiskal menjadi luar biasa," katanya.



Kini, di era Jokowi, Sri Mulyani dihadapkan dengan tantangan berbeda. Dia menjelaskan pemerintah tengah sibuk-sibuknya menggencarkan industrialisasi 4.0.

"Waktu saya kembali semua orang excited untuk berbicara tentang ekonomi digital, digitalisasi, transformasi terhadap artificial intelligence. Kita sedang sibuk untuk membangun pilar-pilar SDM-nya harus diperbaiki, lingkungan investasi harus dipermudah, kebijakan perdagangan harus kompetitif, produktivitas harus naik, infrastruktur harus dikejar," ujar Sri Mulyani.

Namun lagi-lagi, semua kesibukan tersebut dikejutkan dengan munculnya pandemi Covid-19. Praktis, kebijakan fiskal juga mau tak mau mengalami perubahan.

"Lagi kita sibuk begitu kita tiba-tiba kena shock Covid-19 ini. Ini juga mengubah dan me-reset semuanya," kata Sri Mulyani.

Apalagi, situasi pandemi seperti saat ini, menurut dia, belum ada contoh di masa sebelumnya. Pun demikian mengenai skema penentuan kebijakan fiskal yang terbaik.

"Even dengan pengalaman yang banyak pun kita akan dihadapkan dengan tantangan-tantangan yang kadang-kadang tidak pernah ada presedennya," ujar Sri Mulyani.

"Covid bisa dikatakan extraordinary dan unprecedented [belum pernah terjadi sebelumnya]. Karena presedennya adalah 100 tahun yang lalu. Dan saya enggak tahu kebijakan fiskal 100 tahun yang lalu. Yang jelas Indonesia 100 tahun yang lalu masih dalam penjajahan Belanda," lanjut mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia tersebut.


(miq/miq)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Era Presiden SBY & Jokowi, Berat Mana Bu Sri Mulyani?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular