Internasional

Soal Kampanye Anti Sawit, Malaysia Gugat Eropa ke WTO

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
02 July 2020 09:41
Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). Badan Pusat Statistik BPS  mengumumkan neraca Perdagangan (Ekspor-impor) Pada bulan Februari, nilai ekspor mencapai US$ 12,53 miliar, atau turun 11,33% dari tahun sebelumnya (YoY). Nilai ekspor minyak sawit sepanjang Januari-Februari 2019 hanya mencapai US$ 2,94 miliar, yang artinya turun 15,06% dibandingkan periode yang sama pada tahun 2018.  (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Pekerja mengangkut hasil panen kelapa Sawit di kebun Cimulang, Bogor, Jawa Barat, Jumat (15/3). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC IndonesiaMalaysia berencana untuk mengambil tindakan hukum terhadap "kampanye anti minyak kelapa sawit" Uni Eropa (UE) yang diduga diskriminatif, melalui mekanisme penyelesaian sengketa di bawah Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Datuk Dr Mohd Khairuddin Aman Razali mengatakan tindakan hukum didasarkan pada landasan dan justifikasi dan sejalan dengan prinsip-prinsip perdagangan yang digarisbawahi oleh WTO.

Mohd Khairuddin mengatakan kebijakan Uni Eropa di bawah aturan European Union Renewable Energy Directive II (EU RED II) telah menciptakan larangan yang tidak masuk akal pada upaya keberlanjutan yang telah dan sedang dilaksanakan oleh Malaysia terkait dengan minyak kelapa sawit.

Peraturan delegasi itu membatasi praktik perdagangan bebas, katanya.

"Diskriminasi oleh UE ini akan berdampak negatif pada lebih dari tiga juta warga Malaysia yang terlibat dalam industri kelapa sawit, serta lebih dari setengah juta petani kelapa sawit," katanya dalam press release yang diterima CNBC Indonesia, Rabu (1/7/2020).

UE telah menyetujui EU RED II pada Desember 2018. Peraturan yang didelegasikan, antara lain, menjelaskan kriteria atau metodologi yang digunakan untuk memutuskan apakah sumber-sumber dalam pembuatan biofuel dapat mengarah pada tingkat perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC) tinggi atau rendah, serta dampaknya pada emisi rumah kaca.

Dalam hal ini, berdasarkan peraturan yang didelegasikan, minyak sawit dikategorikan memiliki tingkat ILUC yang tinggi. Hal ini diperkirakan akan mempengaruhi jumlah ekspor minyak sawit ke negara-negara UE karena biofuel dengan tingkat ILUC yang tinggi tidak akan diperhitungkan dalam target energi terbarukannya.

Lebih lanjut, Mohd Khairuddin mengatakan peraturan yang didelegasikan memiliki sejumlah masalah dalam hal transparansi dan kredibilitas ilmiah, dengan berbagai anggapan dibuat untuk menyajikan citra yang salah tentang keberlanjutan industri kelapa sawit Malaysia.

"Itu juga dilihat sebagai satu sisi ketika hanya minyak sawit yang dikategorikan memiliki tingkat ILUC tingkat tinggi di antara minyak nabati dalam hal sumber biofuel," tegasnya.

Ia juga mengatakan bahwa Malaysia juga akan bertindak sebagai pihak ketiga dalam kasus WTO Indonesia melawan UE.

"Keterlibatan Malaysia dipandang sebagai tanda dukungan dan solidaritas serta komitmennya sebagai sesama produsen minyak sawit dengan Indonesia untuk mengatasi masalah anti-minyak sawit," katanya.


(res)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Potret Industri Sawit di Saat Tarif Pungutan Ekspor Berubah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular