
Alasan Defisit APBN 2021 Masih di Atas 3% dari PDB

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah melalui Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mengusulkan agar defisit APBN Tahun Anggaran 2021 mencapai 3,21% - 4,17% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kepala BKF Febrio Kacaribu mengatakan berdasarkan postur APBN 2020 sesuai dengan Perpres No. 72 Tahun 2020 tentang Revisi Kedua APBN 2020 , maka kebijakan fiksal pada APBN 2021 masih menganut kebijakan ekspansif konsolidatif.
Febrio memastikan dalam tahun fiskal 2021, APBN masih akan defisit. Karena dalam rangka pemulihan ekonomi nasional, negara harus dapat hadir.
"Ekspansif artinya kita tetap harus defisit. Artinya pemerintah harus tetap hadir di perekonomian karena 2020 adalah tahun id mana kita berusaha hindari krisis," kata Febrio di ruang rapat Banggar, Selasa (30/6/2020).
"Untuk bisa recovery, pemerintah itu tetap harus hadir. Dengan demikian tidak mungkin kita tidak defisit," ujar Febrio melanjutkan.
Kendati demikian, Febrio memastikan bahwa kebijakan defisit yang ekspansif tersebut akan sangat produktif untuk dijalankan oleh pemerintah.
Oleh karena itu pemerintah mengusulkan bahwa defisit pada RAPBN 2021 antara 3,21% - 4,17% dari PDB.
"Pemerintah mengusulkan range-nya antara 3,21% sampai 4,17% dari PDB. Kami sadari ini adalah bentuk displin fiskal. Mengingat kondisi di tahun 2021 kita masih berusaha untuk recovery dari krisis yang cukup dalam dari yang dihadapi 2020," jelas Febrio.
Dalam kesempatan yang sama, Ketua Banggar DPR Said Abdullah mengatakan, bahwa dengan mematok defisit dengan range 3,21% - 4,17%, rasanya cukup mustahil untuk bisa merealisasi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2021 yang diproyeksikan 4,5% - 5,5%.
Pasalnya, melihat postur APBN 2020 saja, yang defisitnya mencapai 6,3% dari PDB saja, pertumbuhan ekonomi sampai akhir tahun masih berusaha untuk bisa mengejar pertumbuhan ekonomi dengan range -0,4% sampai 1%.
"Dengan defisit hingga 4,17%, defisit kita ekspansif, tapi tidak akan tercapai pertumbuhan ekonomi sampai 4,5% [pada 2021]. Kenapa pemerintah kalau ingin cepat pulih, pada kondisi normal 2021, kenapa tidak 4,7% defisitnya," kata Said memberikan usul.
Said memandang, defisit yang semakin lebar itu sangat wajar untuk dilakukan, tapi defisit sebesar usulannya 4,7% tersebut bisa tetap produktif, misalnya saja untuk membangun infrastruktur.
Lagi pula di mata said, tidak ada negara berkembang di dunia ini yang tidak mengalami defisit APBN-nya. Oleh karena itu menurut Said sangat wajar apabila defisit bisa diperlebar dari yang diproyeksikan saat ini.
"Negara mana di dunia ini yang tidak punya utang. Kalau AS jangan jadi benchmark kita, Jepang juga. Semua negara berhutang, yang penting catatan kami utang untuk belanja yang produktif."
"Infrastruktur kita masih lemah, biaya logistik masih tinggi, kita tidak bisa bersaing. Tidak perlu takut utang. Walaupun catatan kami, kalau bisa ngutang ke rakyat. SBN kalau bisa 90% porsi rakyat Indonesia yang beli," kata Said.
Kendati demikian, kebijakan yang diusulkan pemerintah saat ini dengan defisit dengan range 3,21% - 4,17% tersebut untuk sementara waktu disetujui oleh Banggar. Sementara usulan yang disampaikan Banggar agar bisa dijawab pada pidato kepresidenan dan Nota Keuangan Negara pada Agustus 2020 mendatang.
"Yang disampaikan Banggar, saya ingin responnya dalam Nota Keuangan 16 Agustus 2020. Karena itu yang kita butuhkan dan itu yang akan kita bahas bersama. Oleh karena itu, asumsi makro yang sudah disahkan bersama, defisit, dan pembiayaan fiskal kita setujui dan di dalam nota keuangan tergambar keinginan Banggar," jelas Said.
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kemenkeu Jelaskan Alasan Defisit APBN Bisa Bengkak ke 6,34%