
Bos Bappenas: Mau Tak Mau RI Harus 'Dancing With Covid-19'

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional (PPN)/Kepala Bappenas Suharso Monoarfa mengatakan, mau tidak mau semua negara harus mulai melakukan pelonggaran pembatasan sosial ataupun lockdown yang dilakukan sejak adanya pandemi Covid19. Sebab, perekonomian harus mulai kembali berputar agar tidak semakin tertekan.
Hal ini tak terkecuali untuk Indonesia yang memang sejak awal bulan ini telah dilakukan pelonggaran pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Namun, tetap harus memperhatikan protokol kesehatan yang ditetapkan atau standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Apalagi, tidak ada satupun yang mengetahui dan bisa memastikan kapan pandemi ini akan berakhir. Padahal perekonomian sudah sangat tertekan.
"Maka dari itu kita harus tetap produktif, tapi tetap aman dan tetap sehat. Seperti hari ini, bukan lagi new normal tetapi sebuah kelaziman yang kita kerjakan hari ini," ujarnya di Ruang Rapat Komisi XI, Rabu (24/6/2020).
Menurutnya, saat ini pemerintah melakukan kebijakan pelonggaran agar perekonomian tidak semakin terkontraksi. Ia menggambarkan, saat ini pemerintah tengah menekan tingkat penyebaran Covid seperti memalu tumpukan tanah agar melandai.
Tapi, saat melandai dia tidak akan berjalan mulus dan pasti bergelombang. Sehingga mau tidak mau, kita harus terus berjalan diatas tumpukan tanah yang melandai namun tidak rata tersebut untuk bisa maju ke depan.
"Pada saat ini kita lakukan hammering, memalu, menekan puncak-puncak Covid-19 supaya turun, ketika turun jadi melandai, tapi belum tentu melandai rata tapi naik turun, makanya kita mem-pick up nya dancing with Covid-19," jelasnya.
Lanjutnya, pembatasan sosial yang dilakukan sejak Maret lalu hingga awal Juni kemarin yaitu sekitar 10 minggu saja, daya beli masyarakat yang hilang sangat besar. Jika tetap melakukan pembatasan dan perekonomian tidak bergerak maka bisa lebih dalam lagi jatuhnya.
"Ketika kita hammering, dia turun, kita lakukan dancing. Kenapa? seperti saya sampaikan, 10 minggu saja kita berhenti Rp 368 triliun daya beli hilang. Kala kepanjangan sampai 30 minggu ke depan. Bisa dibayangkan berapa kerugiannya," kata dia.
Oleh karenanya, tetap produktif bukan lagi menjadi pilihan tetapi keharusan. Namun, ia menegaskan untuk tetap memperhatikan protokol kesehatan.
(dru)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Data Baru Sebut China Sudah Kaji Covid Sebelum Pandemi Meledak