
Rombak Struktur, Langkah Awal Pertamina Susul Petronas Cs!

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) belum lama ini melakukan perubahan manajerial. Posisi direksi mengalami perubahan dengan mengerucutkan personel dari 11 menjadi enam.
Keputusan Menteri BUMN nomor SK-198/MBU/06/2020 menyebutkan bahwa direksi Pertamina yang baru terdiri dari :
Nicke Widyawati (Direktur Utama)
Koesharnanto (Direktur Sumber Daya Manusia)
Emma Sri Hartini (Direktur Keuangan)
M Haryo Yunianto (Direktur Penunjang Bisnis)
Mulyono (Direktur Logistik dan Infrastruktur)
Iman Rachman (Direktur Strategi, Portofolio, dan Pengembangan Usaha).
Sedangkan direktorat operasional yang sebelumnya ada di Pertamina akan masuk ke beberapa sub-holding yang telah dibentuk yaitu Upstream, Refinery & Petrochemical, Commercial Trading, Power & New and Renewable Energy, serta Shipping Company. Semua sub-holding tersebut akan menjalankan bisnis bersama dengan sub-holding gas yang sebelumnya telah terbentuk di bawah Pertamina melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS) sejak 2018.
Tugas Pertamina sebagai holding akan diarahkan pada pengelolaan portofolio dan sinergi bisnis di seluruh Pertamina Grup, mempercepat pengembangan bisnis baru, serta menjalankan program-program nasional. Sementara sub-holding akan menjalankan peran untuk mendorong operational excellence. Melalui struktur baru ini, diharapkan Pertamina dapat menjadi lebih lincah, fokus, dan cepat dalam pengembangan kapabilitas kelas dunia di bisnisnya masing-masing sehingga dapat mengakselerasi pertumbuhan skala bisnis untuk menjadi perusahaan energi terdepan dengan nilai pasar U$ 100 miliar serta menjadi penggerak pengembangan sosial pada 2024.
Hikmahanto Juwana, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, mengatakan restrukturisasi postur direksi di Pertamina tidak menyalahi aturan perundangan yang berlaku. Demikian pula rencana penawaran saham perdana (Initial Public Offering/IPO) dari sub-holding Pertamina.
Berdasarkan Undang-undang No.22 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, misalnya, Pertamina merupakan operator yang menjalankan usaha. Kondisi Pertamina saat ini berbeda dengan sebelumnya yang berdasarkan UU Nomor 8 tahun 1971. Ketika berdasarkan UU sebelumnya, Pertamina adalah perusahaan negara yang mewakili negara.
"Sebagai operator, tentu saja Pertamina boleh mencari untung. Namun, keuntungan tersebut, selain untuk pengembangan Pertamina sendiri, juga masuk sebagai dividen kepada negara," kata Hikmahanto.
Dikaitkan dengan restrukturisasi dan IPO sub-holding, lanjut Hikmahanto, tujuannya memang untuk mencari keuntungan. Nantinya keuntungan sub-holding tersebut akhirnya akan disetorkan juga kepada Pertamina dan pada gilirannya Pertamina akan menyetorkan ke negara.
Demikian juga dengan rencana IPO di level sub-holding, Hikmahanto menilai tidak melanggar aturan. Ini berbeda jika dilakukan di level holding, karena harus melalui persetujuan DPR. "Aturan di sub-holding, tentu lebih fleksibel dibandingkan aturan di level holding," ujarnya.
Hikmahanto juga mengatakan bahwa restrukturisasi dan rencana IPO sub-holding, justru akan membuat Pertamina menjadi lincah dan efisien. Kalau sebelumnya perintah direktur holding harus melewati jenjang yang panjang, sekarang perintah tersebut tinggal dijalankan sub-holding. Panjangnya rentang perintah pada struktur sebelumnya, karena selain Pertamina memiliki jajaran direksi di tingkat holding, juga terdapat direksi lain pada anak perusahaan.
"Jadi ada redudansi, pengulangan. Saya melihat dari perspektif hukumnya. Supaya tidak ada redudansi, maka di holding memang untuk penentuan kebijakan yang strategis. Sedangkan operasional dilakukan oleh perusahaan-perusahaan sub-holding," urai Hikmahanto.
Dengan demikian, pembentukan subholding memang membuat rentang kendali lebih mudah. Sementara dari sisi hukum. tanggung jawab juga lebih mudah. Ini terjadi karena berbeda dengan luar negeri, di mana holding hanya memegang saham, holding di Indonesia juga harus melakukan operasi.Dengan sub-holding, maka yang melakukan operasi adalah perusahaan-perusahaan di bawahnya, yaitu melalui sub-holding.
Pembentukan sub-hloding, demikian Hikmahanto, juga membuat BUMN tersebut lebih leluasa mendapatkan pendanaan. Apalagi, ke depan sub-holding tersebut akan memasuki pasar modal.
"Dengan IPO seperti itu (melalui sub-holding), maka saham negara tetap 100%. Namun sub-holding ini, yang operasional, bisa mendapatkan uang dari pasar modal," tutur Hikmahanto.