Internasional

Kasus Corona Eropa Diramal Melonjak Lagi, Kenapa?

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
12 June 2020 12:06
People take part in a Black Lives Matter protest rally in Manchester, England, Sunday, June 7, 2020, in response to the recent killing of George Floyd by police officers in Minneapolis, USA, that has led to protests in many countries and across the US. (Danny Lawson/PA via AP)
Foto: Demonstrasi protes Black Lives Matter di Manchester, Inggris, Minggu, 7 Juni 2020, sebagai tanggapan atas pembunuhan baru-baru ini oleh George Floyd oleh petugas polisi di Minneapolis, AS, yang telah menyebabkan protes di banyak negara dan di seluruh dunia. (Danny Lawson / PA via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Wilayah Eropa diprediksi akan menghadapi lonjakan infeksi COVID-19 dalam beberapa minggu mendatang. Hal ini disebabkan oleh protes massal gerakan 'Black Lives Matter' di benua tersebut dalam beberapa hari terakhir.

Puluhan ribu pengunjuk rasa berkumpul di kota-kota besar Eropa untuk berdemonstrasi menentang rasisme setelah terjadinya peristiwa pembunuhan di Amerika Serikat, melibatkan George Floyd, warga Afrika-Amerika. Floyd tewas usai lehernya ditekan oleh lutut Derek Chauvin, salah satu dari empat polisi Minneapolis kulit putih yang menahannya.


"Jika Anda menyarankan semua orang untuk menjaga jarak satu setengah meter, tapi mereka hanya berdiri di samping satu sama lain dan berpegangan satu sama lain, maka saya tidak memiliki perasaan yang baik tentang itu," ujar Jozef Kesecioglu, ketua Kedokteran Perawatan Intensif Masyarakat Eropa dalam sebuah konferensi.

Saat ditanya apakah mungkin ada lonjakan infeksi dalam dua minggu mendatang, Kesecioglu berkata: "Ya, tapi mudah-mudahan saya salah."

Menteri Kesehatan Inggris Matt Hancock mengatakan orang tidak boleh menghadiri pertemuan besar lebih dari enam orang, termasuk demonstrasi.



"Saya mengerti bahwa orang ingin menunjukkan jika mereka peduli (dengan gerakan ini). Tapi ini adalah virus yang tumbuh subur di kontak sosial, apapun penyebabnya," kata Hancock pada konferensi pers harian.

Sebagian besar negara-negara Eropa telah melewati puncak gelombang pertama wabah dan secara bertahap membuka kembali bisnis dan aturan perbatasan karena angka infeksi yang kian menyusut dalam beberapa pekan terakhir.

Sebelum munculnya gerakan unjuk rasa ini, para ilmuwan memperkirakan gelombang kedua akan muncul setelah musim panas. Sayangnya perkiraan itu akan meleset karena adanya pertemuan massal yang mungkin berdampak pada angka kasus positif nantinya.

"Adapun penyakit pernapasan infeksius, peristiwa massal bisa menjadi rute utama penularan," papar Martin Seychell, pejabat kesehatan di Komisi Uni Eropa mengatakan kepada Reuters ketika ditanya tentang kemungkinan gelombang kedua sebelumnya yang disebabkan oleh kegiatan unjuk rasa tersebut.

Virus corona memang masih beredar, meskipun pada tingkat yang lebih rendah daripada beberapa minggu yang lalu, tambah Seychell.

Munculnya gelombang kedua COVID-19 akan tergantung dengan seberapa taatnya masyarakat untuk menegakkan aturan jarak sosial dan lainnya.

Menteri Kesehatan Italia Roberto Speranza juga memberikan peringatan. "Gelombang kedua atau kekambuhan tidak pasti tetapi mungkin," katanya.

Wilayah Eropa sendiri sudah memiliki total 2.156.146 kasus positif, 181.458 kasus kematian, dan 1.134.490 pasien berhasil sembuh per Jumat (12/6/2020). Menurut data Worldometers, Rusia, Inggris, Spanyol, Italia, Jerman, dan Prancis merupakan negara dengan kasus infeksi terbanyak di benua tersebut.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ancaman Gelombang 2 Covid-19 Hantui Eropa Pasca Demo Rasisme

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular