
Hulu ke Hilir, Begini Beratnya Bisnis Migas Hadapi Pandemi

Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi corona (Covid-19) berdampak pada semua lini industri, termasuk migas. Pandemi ini merubah banyak hal dalam upaya pencegahannya. Pun demikian pada industri migas, banyak perubahan yang terjadi demi menjaga kesehatan dan keselamatan karyawan.
Human resource adalah aset utama bagi perusahaan untuk berkembang dan tetap bertahan dalam situasi yang sangat dinamis dan penuh tantangan ini. Mantan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar mengatakan, langkah ini adalah menjaga cash flow tetap positif.
"Ini adalah salah satu tantangan yang sangat berat mengingat sektor migas masih mengalami tekanan akibat jatuhnya harga minyak dan menurunnya konsumsi energi dunia akibat pandemi ini," ungkap Arcandra dalam akun instagramnya @arcandra.tahar yang diposting, Kamis, (11/06/2020).
Agar industri migas tetap bertahan di masa pandemi berbagai cara dilakukan seperti dengan merencanakan ulang belanja modal, efisiensi biaya operasi, bahkan melakukan PHK jika situasinya sudah sangat sulit. Namun di industri migas PHK bukanlah pilihan tepat mengingat untuk mendapatkan karyawan yang sesuai bukan sesuatu yang mudah pada saat pemulihan terjadi.
Lebih lanjut Arcandra mengatakan, di sektor hulu migas, konsolidasi akan massif terjadi. International Oil Company (IOC)/National Oil Company (NOC) yang beroperasi di wilayah kerja (WK) yang masih memberikan margin akan mengakuisisi perusahaan minyak yang kesulitan keuangan di sekitar WK tersebut atau di WK lain.
"Untuk menurunkan ongkos produksi, sinergi antar perusahaan minyak dan service company akan semakin intens. Contohnya melalui sinergi biaya produksi shale oil di Amerika Serikat diharapkan bisa turun US$ 10 per barel dari biaya sekarang. Inovasi akan menjadi kunci penurunan biaya produksi ini. IOC/NOC yang lamban dalam memanfaatan inovasi teknologi kemungkinan akan sulit untuk bertahan," jelasnya.
Sementara di sektor hilir kilang minyak yang tidak efisien, baik itu karena karena faktor usia, teknologi maupun supply chain akan semakin sulit untuk bersaing dan bertahan. Apalagi jika lokasi kilang tersebut jauh dari pasar.
Menurutnya sekarang ini adalah waktu yang tepat untuk melakukan upgrading dari kilang yang ada dan mendefinisikan ulang supply chain agar semakin efisien. Karena dalam situasi ini harga dari berbagai komponen utama kontruksi kilang akan terkoreksi, sehingga biaya kontruksi menjadi semakin kompetitif.
"Bagaimana sektor midstream? Selama kontrak jangka panjang yang dimiliki masih memberikan biaya yang optimal bagi end user atau pasar, situasinya mungkin tidak akan banyak berubah," tuturnya.
Lain hal bagi perusahaan yang memiliki kontrak jangka pendek. Persaingan untuk mendapatkan pasar dan kontrak baru akan semakin ketat. Lalu untuk sektor petrochemical, kilang yang terintegrasi dengan pabrik petrochemical menjadi pilihan yang sangat menguntungkan dalam rangka efisiensi dari sisi supply chain.
Setiap dollar yang bisa dihemat merupakan kunci bisnis petrochemical di masa datang, mengingat persaingan di sektor ini sangat ketat. Sementara bagi sektor jasa penunjang migas (service company), sejak tahun 2014 telah banyak yang tutup. Selain sudah terlalu banyak pelaku usahanya, tidak banyak juga pengembangan lapangan migas baru di seluruh dunia.
Oleh karena itu, restrukturisasi dan merger antar service company menjadi pilihan yang harus ditempuh untuk dapat bertahan. Kerjasama jangka panjang dengan perusahaan minyak melalui pengembangan teknologi bisa menjadi opsi untuk menjaga eksistensi perusahaan.
"Bahkan bisa melalui sistem kerjasama yang tidak populer : Hanya dibayar jika berhasil menemukan atau memproduksi migas (pay by performance)," ungkapnya.
(gus) Next Article Suramnya Migas RI: Force Majeure Sampai Puasa Lelang