
BPK Soroti Dana Pemulihan Ekonomi Nasional Rp 667 T
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
08 June 2020 15:00
![[THUMBNAIL] UTANG](https://awsimages.detik.net.id/visual/2018/08/27/e14e67b8-9188-4e91-81ca-8c0947e596f8_169.jpeg?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti adanya penambahan dana yang dianggarkan oleh pemerintah dalam pemulihan ekonomi nasional (PEN). Hal ini membuat defisit APBN 2020 terkoreksi menjadi Rp 1.220,3 triliun atau 6,34% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengatakan, BPK akan selalu mengawasi efektivitas alokasi penggunaan anggaran PEN yang bertambah dari sebelumnya Rp 405,1 triliun menjadi Rp 667,2 triliun.
"Karena memang ini kalau kita bicara, ini kan kejadian luar biasa. Artinya silahkan Kementerian Keuangan menganggarkan, karena mandatnya ada di Kementerian Keuangan. Cuma alokasinya juga harus tetap sesuai dengan prioritas yang sudah disampaikan. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan," jelas Achasanul kepada CNBC Indonesia, Senin (8/6/2020).
Achasanul memastikan, bahwa apabila nanti dalam melakukan audit, BPK menemukan adanya penyelewengan penggunaan anggaran PEN pasca covid-19, akan dinilai BPK sebagai kerugian negara.
"Kalau semisalnya dalam pelaksanaannya ada di luar dari konsep-konsep [Penanganan PEN 2020 pasca covid], atau misalnya terjadi mark up, terjadi fiktif, dan terjadi kemahalan harga, itu tetap kita akan anggap sebagai kerugian negara," kata dia.
"[Pemerintah] tidak bisa semena-mena, dan itu tetap sebagai tindakan korupsi atau pidana. Kalau misalnya ada niat jelek atau niat melakukan pidana, BPK akan menganggap itu sebagai pidana," kata Achsanul melanjutkan.
Terpisah, Anggota Komisi XI DPR Ramson Siagian menilai bahwa perubahan PEN berlangsung sangat cepat atau kurang dari satu bulan.
Ramson mengaku tidak sependapat dengan penggunaan istilah dana PEN 2020. Menurut dia, istilah PEN 2020 yang didengungkan pemerintah saat ini lebih baik menggunakan istilah 'Stimulus Fiskal Keempat'.
"Saya kurang sependapat dengan istilahnya, karena program pemulihan itu sama saja seperti stimulus fiskal ketiga atau keempat yang ditambah anggarannya. Saya lebih sepakat dengan istilah stimulus, kalau PEN seakan-akan ekonomi kita sudah berat dan bisa diselesaikan dengan program pemulihan. Padahal situasinya sekarang masih belum pasti, kalau pakai stimulus bisa lebih dinamis bergerak," ujarnya seperti dilansir dari laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat, dikutip CNBC Indonesia, Senin (8/6/2020).
Untuk diketahui, saat ini biaya PEN 2020 pasca covid-19 menjadi Rp 667,2 triliun. Secara rinci, besaran anggaran dari PEN tersebut terdiri atas alokasi anggaran untuk bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun, alokasi anggaran program social safety net sebesar Rp 203,9 triliun, alokasi dukungan UMKM dengan nilai mencapai Rp 123,46 triliun, alokasi stimulus dan insentif perpajakan Rp 120,61 triliun, hingga dana talangan BUMN sebesar Rp 44,57 triliun dan dukungan kementerian/lembaga mencapai Rp 97,11 triliun.
Dari kebutuhan tersebut, terjadi perubahan target baik penerimaan maupun belanja negara dalam APBN 2020. Di mana, target penerimaan menjadi Rp 1.699,1 triliun dari yang sebelumnya Rp 1.760,9 triliun. Sedangkan belanja negara menjadi Rp 2.738, 4 triliun dari yang sebelumnya Rp 2.613,8 triliun.
(dru) Next Article BPK Khawatir Utang Tak Mampu Dibayar, Ini Jawaban Pemerintah!
Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Achsanul Qosasi mengatakan, BPK akan selalu mengawasi efektivitas alokasi penggunaan anggaran PEN yang bertambah dari sebelumnya Rp 405,1 triliun menjadi Rp 667,2 triliun.
"Karena memang ini kalau kita bicara, ini kan kejadian luar biasa. Artinya silahkan Kementerian Keuangan menganggarkan, karena mandatnya ada di Kementerian Keuangan. Cuma alokasinya juga harus tetap sesuai dengan prioritas yang sudah disampaikan. Mereka juga harus mempertanggungjawabkan," jelas Achasanul kepada CNBC Indonesia, Senin (8/6/2020).
"Kalau semisalnya dalam pelaksanaannya ada di luar dari konsep-konsep [Penanganan PEN 2020 pasca covid], atau misalnya terjadi mark up, terjadi fiktif, dan terjadi kemahalan harga, itu tetap kita akan anggap sebagai kerugian negara," kata dia.
"[Pemerintah] tidak bisa semena-mena, dan itu tetap sebagai tindakan korupsi atau pidana. Kalau misalnya ada niat jelek atau niat melakukan pidana, BPK akan menganggap itu sebagai pidana," kata Achsanul melanjutkan.
Terpisah, Anggota Komisi XI DPR Ramson Siagian menilai bahwa perubahan PEN berlangsung sangat cepat atau kurang dari satu bulan.
Ramson mengaku tidak sependapat dengan penggunaan istilah dana PEN 2020. Menurut dia, istilah PEN 2020 yang didengungkan pemerintah saat ini lebih baik menggunakan istilah 'Stimulus Fiskal Keempat'.
"Saya kurang sependapat dengan istilahnya, karena program pemulihan itu sama saja seperti stimulus fiskal ketiga atau keempat yang ditambah anggarannya. Saya lebih sepakat dengan istilah stimulus, kalau PEN seakan-akan ekonomi kita sudah berat dan bisa diselesaikan dengan program pemulihan. Padahal situasinya sekarang masih belum pasti, kalau pakai stimulus bisa lebih dinamis bergerak," ujarnya seperti dilansir dari laman resmi Dewan Perwakilan Rakyat, dikutip CNBC Indonesia, Senin (8/6/2020).
Untuk diketahui, saat ini biaya PEN 2020 pasca covid-19 menjadi Rp 667,2 triliun. Secara rinci, besaran anggaran dari PEN tersebut terdiri atas alokasi anggaran untuk bidang kesehatan sebesar Rp 87,55 triliun, alokasi anggaran program social safety net sebesar Rp 203,9 triliun, alokasi dukungan UMKM dengan nilai mencapai Rp 123,46 triliun, alokasi stimulus dan insentif perpajakan Rp 120,61 triliun, hingga dana talangan BUMN sebesar Rp 44,57 triliun dan dukungan kementerian/lembaga mencapai Rp 97,11 triliun.
Dari kebutuhan tersebut, terjadi perubahan target baik penerimaan maupun belanja negara dalam APBN 2020. Di mana, target penerimaan menjadi Rp 1.699,1 triliun dari yang sebelumnya Rp 1.760,9 triliun. Sedangkan belanja negara menjadi Rp 2.738, 4 triliun dari yang sebelumnya Rp 2.613,8 triliun.
(dru) Next Article BPK Khawatir Utang Tak Mampu Dibayar, Ini Jawaban Pemerintah!
Most Popular