
'Hilal' Kebangkitan Ekonomi Kian Telihat
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
04 June 2020 15:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa indikator ekonomi mulai menunjukkan bahwa ekonomi mulai kembali bergeliat seiring dengan ekonomi China yang terus melaju dan pelonggaran lockdown di berbagai negara. Namun mengingat krisis ini belum pernah terjadi sebelumnya, maka kecepatan pemulihan ekonomi masih menghadapi tantangan besar yaitu ketidakpastian.
Indikator yang mencerminkan bahwa ekonomi mulai membaik secara perlahan adalah Purchasing Manager's Index (PMI). Angka PMI manufaktur di negara-negara dengan kontribusi PDB terbesar di dunia yakni G20 pada bulan Mei mengalami peningkatan.
Namun angka PMI manufaktur mayoritas negara-negara anggota G20 masih di bawah 50 yang mengindikasikan bahwa sektor manufaktur masih dalam keadaan terkontraksi. Hanya China dan Afrika Selatan saja yang tercatat angka PMI manufakturnya sudah mencapai level 50.
India dan Indonesia tercatat mengalami kontraksi di sektor manufaktur yang sangat parah jika dibandingkan dengan negara-negara anggota G20 lainnya. Angka PMI manufaktur India dan Indonesia masing-masing berada di 27,4 dan 27,5 di bulan April.
Beralih ke sektor jasa, angka PMI jasa bulan Mei 2020 di negara-negara G20 juga sudah mengindikasikan adanya perbaikan. Kebanyakan negara masih menunjukkan adanya kontraksi karena angkanya masih di bawah 50. Hanya China yang sektor jasanya sudah mengalami ekspansi.
China saat ini memang memimpin pemulihan ekonomi. Maklum sebagai negara yang terjangkit pertama, China juga menjadi negara pertama yang mendeklarasikan diri terbebas dari belenggu wabah.
Memasuki bulan Maret jumlah kasus baru di China telah menurun drastis. Hal ini membuat China menjadi lebih leluasa untuk mencabut lockdown terutama di Provinsi Hubei, China bagian tengah yang jadi pusat wabah.
Banyak negara yang terjangkit wabah memilih opsi karantina wilayah mengikuti langkah China. Tak kurang dari 3 miliar orang di dunia atau hampir separuh penduduk bumi mobilitasnya dibatasi. Saking besarnya skala pembatasan, Dana Moneter Internasional (IMF) sampai menyebutnya The Great Lockdown.
Dengan pembatasan yang skalanya masif ini, perekonomian global akhirnya menderita parah mengingat rodanya digerakkan oleh mobilitas orang, barang, modal dan tenaga kerja. Krisis kesehatan yang meluas ini membuat perekonomian global mengalami kontraksi yang dalam.
Dalam laporan World Economic Outlook April 2020, IMF memperkirakan ekonomi global mengalami kontraksi sebesar 3% pada 2020 dengan asumsi bahwa wabah mulai mereda pada paruh kedua tahun 2020.
Nilai kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat pandemi abad ini ditaksir mencapai US$ 9 triliun. Sangat fantastis tentunya karena angkanya masih lebih besar dari output perekonomian Jepang digabung dengan Jerman menurut IMF.
Untuk menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan pemerintah dan bank sentral global memberikan bantuan kepada masyarakat, pengusaha hingga sektor keuangan. Namun jelas dengan skala yang berbeda-beda tergantung kapasitas masing-masing.
IMF menilai perekonomian global akan tumbuh 5,8% pada tahun 2021 setelah mengalami kontraksi tahun ini. Namun ingat, kalkulasi ini mengacu pada asumsi bahwa wabah sudah mereda di semester kedua 2020. Jika sampai dengan paruh kedua wabah masih terus merebak atau terjadi gelombang kedua maka aktivitas ekonomi bisa kembali anjlok.
Kecepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi kini menjadi sorotan. Apakah ekonomi pulih dengan cepat dan membentuk kurva 'V', sedikit lebih lambat 'U', bergelombang 'W' atau swoosh masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Ketidakpastian datang dari pengembangan vaksin dan faktor-faktor lain. Selagi vaksin yang efektif belum ditemukan maka masih ada risiko yang patut diwaspadai yakni terjadinya gelombang kedua seiring dengan pembukaan ekonomi. Jika hal ini terjadi maka recovery membentuk U-shaped akan gagal tercapai.
Kecepatan pemulihan ekonomi kemungkinan tak berjalan seragam mengingat setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk negara-negara yang memiliki diversifikasi ekonomi yang baik, ukuran populasi yang besar serta eksposur terhadap resesi relatif rendah akan pulih dengan relatif lebih cepat dibanding dengan negara lainnya.
Untuk negara-negara yang ekonominya bertumpu pada sektor transportasi dan pariwisata, tergantung pada komoditas serta porsi ekspornya besar kemungkinan besar akan menjadi negara yang pulih paling akhir.
Di samping itu faktor lain yang juga sangat menentukan seberapa cepat ekonomi pulih adalah kebijakan yang diambil oleh negara itu sendiri. Bagi negara-negara dengan intervensi sektor kesehatan yang baik serta koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang efektif berpotensi mampu meredam dampak dari pandemi.
Pada akhirnya memang pemulihan tak mungkin berjalan seragam. Namun yang pasti krisis yang terjadi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Skalanya yang sangat besar bahkan membuat resesi yang dihadapi sekarang merupakan yang terbesar sejak The Great Depression 1930.
Negara-negara maju maupun berkembang kompak mencatatkan pertumbuhan ekonomi di teritori negatif, puluhan juta orang kehilangan pekerjaannya dan angka kemiskinan melonjak.
Untuk saat ini tema besar yang diambil saat pandemi adalah 'whatever it takes'. Artinya apapun akan dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian. Sementara tema utama ketika pandemi telah berakhir adalah membangun perekonomian yang resilien baik melalui rantai pasok global, kebijakan-kebijakan yang mendorong sustainabilitas seperti penggunaan energi ramah lingkungan dan perbaikan di sektor kesehatan publik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article PMI Manufaktur RI 'Tiarap' Hingga China Siap 'Buang" Dolar AS
Indikator yang mencerminkan bahwa ekonomi mulai membaik secara perlahan adalah Purchasing Manager's Index (PMI). Angka PMI manufaktur di negara-negara dengan kontribusi PDB terbesar di dunia yakni G20 pada bulan Mei mengalami peningkatan.
Namun angka PMI manufaktur mayoritas negara-negara anggota G20 masih di bawah 50 yang mengindikasikan bahwa sektor manufaktur masih dalam keadaan terkontraksi. Hanya China dan Afrika Selatan saja yang tercatat angka PMI manufakturnya sudah mencapai level 50.
Beralih ke sektor jasa, angka PMI jasa bulan Mei 2020 di negara-negara G20 juga sudah mengindikasikan adanya perbaikan. Kebanyakan negara masih menunjukkan adanya kontraksi karena angkanya masih di bawah 50. Hanya China yang sektor jasanya sudah mengalami ekspansi.
China saat ini memang memimpin pemulihan ekonomi. Maklum sebagai negara yang terjangkit pertama, China juga menjadi negara pertama yang mendeklarasikan diri terbebas dari belenggu wabah.
Memasuki bulan Maret jumlah kasus baru di China telah menurun drastis. Hal ini membuat China menjadi lebih leluasa untuk mencabut lockdown terutama di Provinsi Hubei, China bagian tengah yang jadi pusat wabah.
Banyak negara yang terjangkit wabah memilih opsi karantina wilayah mengikuti langkah China. Tak kurang dari 3 miliar orang di dunia atau hampir separuh penduduk bumi mobilitasnya dibatasi. Saking besarnya skala pembatasan, Dana Moneter Internasional (IMF) sampai menyebutnya The Great Lockdown.
Dengan pembatasan yang skalanya masif ini, perekonomian global akhirnya menderita parah mengingat rodanya digerakkan oleh mobilitas orang, barang, modal dan tenaga kerja. Krisis kesehatan yang meluas ini membuat perekonomian global mengalami kontraksi yang dalam.
Dalam laporan World Economic Outlook April 2020, IMF memperkirakan ekonomi global mengalami kontraksi sebesar 3% pada 2020 dengan asumsi bahwa wabah mulai mereda pada paruh kedua tahun 2020.
Nilai kerugian ekonomi yang harus ditanggung akibat pandemi abad ini ditaksir mencapai US$ 9 triliun. Sangat fantastis tentunya karena angkanya masih lebih besar dari output perekonomian Jepang digabung dengan Jerman menurut IMF.
Untuk menyelamatkan perekonomian dari keterpurukan pemerintah dan bank sentral global memberikan bantuan kepada masyarakat, pengusaha hingga sektor keuangan. Namun jelas dengan skala yang berbeda-beda tergantung kapasitas masing-masing.
IMF menilai perekonomian global akan tumbuh 5,8% pada tahun 2021 setelah mengalami kontraksi tahun ini. Namun ingat, kalkulasi ini mengacu pada asumsi bahwa wabah sudah mereda di semester kedua 2020. Jika sampai dengan paruh kedua wabah masih terus merebak atau terjadi gelombang kedua maka aktivitas ekonomi bisa kembali anjlok.
Kecepatan pemulihan ekonomi pasca pandemi kini menjadi sorotan. Apakah ekonomi pulih dengan cepat dan membentuk kurva 'V', sedikit lebih lambat 'U', bergelombang 'W' atau swoosh masih belum bisa diketahui dengan pasti.
Ketidakpastian datang dari pengembangan vaksin dan faktor-faktor lain. Selagi vaksin yang efektif belum ditemukan maka masih ada risiko yang patut diwaspadai yakni terjadinya gelombang kedua seiring dengan pembukaan ekonomi. Jika hal ini terjadi maka recovery membentuk U-shaped akan gagal tercapai.
Kecepatan pemulihan ekonomi kemungkinan tak berjalan seragam mengingat setiap negara memiliki karakteristik yang berbeda. Untuk negara-negara yang memiliki diversifikasi ekonomi yang baik, ukuran populasi yang besar serta eksposur terhadap resesi relatif rendah akan pulih dengan relatif lebih cepat dibanding dengan negara lainnya.
Untuk negara-negara yang ekonominya bertumpu pada sektor transportasi dan pariwisata, tergantung pada komoditas serta porsi ekspornya besar kemungkinan besar akan menjadi negara yang pulih paling akhir.
Di samping itu faktor lain yang juga sangat menentukan seberapa cepat ekonomi pulih adalah kebijakan yang diambil oleh negara itu sendiri. Bagi negara-negara dengan intervensi sektor kesehatan yang baik serta koordinasi kebijakan fiskal dan moneter yang efektif berpotensi mampu meredam dampak dari pandemi.
Pada akhirnya memang pemulihan tak mungkin berjalan seragam. Namun yang pasti krisis yang terjadi saat ini belum pernah terjadi sebelumnya. Skalanya yang sangat besar bahkan membuat resesi yang dihadapi sekarang merupakan yang terbesar sejak The Great Depression 1930.
Negara-negara maju maupun berkembang kompak mencatatkan pertumbuhan ekonomi di teritori negatif, puluhan juta orang kehilangan pekerjaannya dan angka kemiskinan melonjak.
Untuk saat ini tema besar yang diambil saat pandemi adalah 'whatever it takes'. Artinya apapun akan dilakukan untuk menyelamatkan perekonomian. Sementara tema utama ketika pandemi telah berakhir adalah membangun perekonomian yang resilien baik melalui rantai pasok global, kebijakan-kebijakan yang mendorong sustainabilitas seperti penggunaan energi ramah lingkungan dan perbaikan di sektor kesehatan publik.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article PMI Manufaktur RI 'Tiarap' Hingga China Siap 'Buang" Dolar AS
Most Popular