
Pengusaha Bilang New Normal Memang Harus Dijalankan, Asal...
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
30 May 2020 16:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Kebijakan Publik Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Pengusaha Indonesia Sutrisno Iwantono buka suara perihal new normal yang didengungkan pemerintah pusat dan pemerintah daerah di tengah pandemi Covid-19. Menurut dia, PSBB dengan konsep kenormalan baru (new normal) mau tidak mau harus dijalankan.
"Sebab tidak mungkin semua orang terus-terusan di rumah, mau makan apa nanti rakyat, kecuali kalau pemerintah bisa memberi makan rakyat yang tinggal di rumah tanpa kerja. Jangan dikira rakyat itu hidupnya dari sektor formal saja. Sekitar 97% angkatan kerja hidupnya di usaha mikro, kecil, dan menengah yang umumnya sektor informal dengan penghasilan harian. Kalau mereka di rumah terus, bisa menimbulkan bencana kelaparan," kata Sutrisno, Sabtu (30/5/2020).
Kendati begitu, Ia mengingatkan agar aspek kehati-hatian diperhatikan. Pelonggaran, menurut Sutrisno, harus didahulukan berdasarkan zona, bukan berdasarkan sektor. Itu artinya, protokol produktif dan aman Covid-19 teramat penting.
"Tapi nyusunnya mesti bersama-sama dengan dunia usaha dan masyarakat. Sekarang itu banyak sekali lembaga kementerian yang sedang susun. Jadi bisa bikin bingung kita, yang mana yang mau diikuti. Kalau hanya lembaga dan kementerian yang susun pasti nanti kesulitan dijalankan di lapangan. Yang bakal menjalankan adalah masyarakat dan pelaku usaha," ujar Sutrisno.
Ia lantas menceritakan Apindo kerap diundang dalam rapat. Namun, Sutrisno menilai undangan itu hanya formalitas semata.
"Kemarin rapat di Kementerian Pariwisata lewat zoom, saya minta klarifikasi point-point tertentu, tapi ya tidak juga ditanggapi secara memadai. Disuruh nanti buat tertulis. Sebelum tertulis kita kan ingin konfirmasi tentang point-point tertentu, apa maksud dan tujuannya. Jadi yang banyak bicara adalah orang-orang kementerian aja. Ya udah silahkan aja," katanya.
Sutrisno bilang, salah satu isu yang memberatkan adalah sanksi hukum. Sebagai perwakilan dari asosiasi, Ia ingin mengetahui dimensi dan cakupan sanksi hukum tersebut. Sebab, hal itu akan menjadi pegangan aparati di lapangan.
"Kalau ada beda praktek dari isi surat edaran bisa-bisa kita jadi objek pemerasan oknum di lapangan. Ini kondisi sudah susah jangan pula ada urusan-urusan moral hazard begitu. Ada beberapa point lagi yang perlu diklarifikasi," ujar Sutrisno.
"Intinya adalah bahwa ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan di lapangan marilah kita diskusikan secara bersama secara transparan, agar pelaksanaan di lapangan bisa jalan. Pelaku usaha kalau pertimbangannya memang tidak mungkin dijalankan, akhirnya mereka gak mau buka, yang rugi pasti semua pihak," lanjutnya.
Salah satu contoh kebijakan yang dinilai Sutrisno memberatkan pengusaha adalah kewajiban melakukan rapid test bagi seluruh karyawan. Ia mempertanyakan kesanggupan pelaku usaha, terutama UMKM, melakukan hal tersebut.
"Misalkan warung padang pegawai 10 orang, rapid test biaya swasta di rumah sakit sekitar Rp 500 ribu, tes-nya dua kali, berarti Rp 1 juta per pegawai. Ada 10 pegawai total Rp 10 juta. Ya gak sangguplah. Demikian juga hotel-hotel kecil, restoran kecil dan yang sejenisnya," kata Sutrisno.
"Kalau pabrik-pabrik besar mungkin sanggup mungkin juga tidak. Apa gak bisa yang begini ini didukung oleh pemerintah, kemarin itu kan impor banyak banget. Kemudian juga ada keharusan menyediakan pengawas bagi pelaksanaan protokol Covid-19. Kalau UMKM, ya kan gak bisa bayar untuk tenaga yang demikian ini. Ini kan perlu didiskusikan dan dicarikan jalan keluar," lanjutnya.
(miq/miq) Next Article Kasus Harian Covid di Indonesia Meroket, Tambah 802 Hari ini
"Sebab tidak mungkin semua orang terus-terusan di rumah, mau makan apa nanti rakyat, kecuali kalau pemerintah bisa memberi makan rakyat yang tinggal di rumah tanpa kerja. Jangan dikira rakyat itu hidupnya dari sektor formal saja. Sekitar 97% angkatan kerja hidupnya di usaha mikro, kecil, dan menengah yang umumnya sektor informal dengan penghasilan harian. Kalau mereka di rumah terus, bisa menimbulkan bencana kelaparan," kata Sutrisno, Sabtu (30/5/2020).
Kendati begitu, Ia mengingatkan agar aspek kehati-hatian diperhatikan. Pelonggaran, menurut Sutrisno, harus didahulukan berdasarkan zona, bukan berdasarkan sektor. Itu artinya, protokol produktif dan aman Covid-19 teramat penting.
Ia lantas menceritakan Apindo kerap diundang dalam rapat. Namun, Sutrisno menilai undangan itu hanya formalitas semata.
"Kemarin rapat di Kementerian Pariwisata lewat zoom, saya minta klarifikasi point-point tertentu, tapi ya tidak juga ditanggapi secara memadai. Disuruh nanti buat tertulis. Sebelum tertulis kita kan ingin konfirmasi tentang point-point tertentu, apa maksud dan tujuannya. Jadi yang banyak bicara adalah orang-orang kementerian aja. Ya udah silahkan aja," katanya.
Sutrisno bilang, salah satu isu yang memberatkan adalah sanksi hukum. Sebagai perwakilan dari asosiasi, Ia ingin mengetahui dimensi dan cakupan sanksi hukum tersebut. Sebab, hal itu akan menjadi pegangan aparati di lapangan.
"Kalau ada beda praktek dari isi surat edaran bisa-bisa kita jadi objek pemerasan oknum di lapangan. Ini kondisi sudah susah jangan pula ada urusan-urusan moral hazard begitu. Ada beberapa point lagi yang perlu diklarifikasi," ujar Sutrisno.
"Intinya adalah bahwa ketentuan-ketentuan yang akan dijalankan di lapangan marilah kita diskusikan secara bersama secara transparan, agar pelaksanaan di lapangan bisa jalan. Pelaku usaha kalau pertimbangannya memang tidak mungkin dijalankan, akhirnya mereka gak mau buka, yang rugi pasti semua pihak," lanjutnya.
Salah satu contoh kebijakan yang dinilai Sutrisno memberatkan pengusaha adalah kewajiban melakukan rapid test bagi seluruh karyawan. Ia mempertanyakan kesanggupan pelaku usaha, terutama UMKM, melakukan hal tersebut.
"Misalkan warung padang pegawai 10 orang, rapid test biaya swasta di rumah sakit sekitar Rp 500 ribu, tes-nya dua kali, berarti Rp 1 juta per pegawai. Ada 10 pegawai total Rp 10 juta. Ya gak sangguplah. Demikian juga hotel-hotel kecil, restoran kecil dan yang sejenisnya," kata Sutrisno.
"Kalau pabrik-pabrik besar mungkin sanggup mungkin juga tidak. Apa gak bisa yang begini ini didukung oleh pemerintah, kemarin itu kan impor banyak banget. Kemudian juga ada keharusan menyediakan pengawas bagi pelaksanaan protokol Covid-19. Kalau UMKM, ya kan gak bisa bayar untuk tenaga yang demikian ini. Ini kan perlu didiskusikan dan dicarikan jalan keluar," lanjutnya.
(miq/miq) Next Article Kasus Harian Covid di Indonesia Meroket, Tambah 802 Hari ini
Most Popular