Vaksin Corona Dikebut, Bisakah jadi Penangkal Maut?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 May 2020 14:14
cover topik/dunia berlomba mencari vaksin virus corona dalam/Aristya Rahadian Krisabella
Foto: cover topik/dunia berlomba mencari vaksin virus corona dalam/Aristya Rahadian Krisabella
Jakarta, CNBC Indonesia - Pengembangan vaksin penangkal virus corona terus dikebut. Muncul harapan dan optimisme vaksin akan segera tersedia dan hidup akan kembali normal seperti sediakala. Walau perkembangannya terbilang pesat, mewujudkan cita-cita vaksinasi Covid-19 secara global memiliki berbagai tantangan besar yang harus dilalui.

Dalam beberapa pekan terakhir, semua mata tertuju pada kabar pengembangan vaksin corona. Berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) sampai dengan 22 Mei 2020 sudah ada 10 kandidat vaksin yang sedang diuji klinis. Sementara itu, ada 114 kandidat vaksin yang masih berada pada tahap pre klinis. 

Dari kesepuluh vaksin tersebut setidaknya ada empat kandidat yang tak luput dari pemberitaan. Empat kandidat vaksin tersebut adalah mRNA-1273 (Moderna), Ad5-nCoV (Cansino Biologics & Beijing Institute of Biotechnology), AZD1222 (Oxfod University & AstraZeneca) dan yang terbaru ada NVX-CoV2373 (Novavax). Masing-masing kandidat vaksin yang dikembangkan menggunakan teknologi yang berbeda-beda.

Nama VaksinPengembangTipe VaksinProgres
mRNA-1273ModernamRNAUji Klinis
AZD1222Oxford Uni & Astra ZeneccaEngineered VirusUji Klinis
Ad5-nCoVCansino BiologicsEngineered VirusUji Klinis
NVX-CoV2373NovavaxProtein RekombinanUji Klinis

Sumber : WHO

Senin 18 Mei 2020Moderna mengumumkan kabar baik terkait data sementara uji klinis tahap 1 untuk kandidat vaksin mRNA-1273  yang dipimpin oleh NIAID. "Data sementara menunjukkan bahwa vaksinasi dengan mRNA-1273 memunculkan respons kekebalan tubuh yang cukup signifikan untuk pasien yang terinfeksi virus  secara alami dimulai dengan dosis serendah 25 μg," kata Tal Zaks, MD, Ph.D., selaku Ketua petugas medis.

Kamis 21 Mei 2020, AstraZeneca telah menerima lebih dari US$ 1 miliar dari Otoritas Penelitian dan Pengembangan Biomedis Lanjutan AS untuk mengembangkan vaksin dari Universitas Oxford bernama AZD1222.

AstraZeneca setuju untuk memasok setidaknya 400 juta dosis vaksin dan memastikan total kapasitas produksi dapat menghasilkan 1 miliar dosis, dengan pengiriman pertama pada bulan September. Sehari setelahnya Oxford University telah melakukan perekrutan sukarelawan untuk uji klinis kandidat vaksin.

Jumat 22 Mei 2020, Beijing Institute of Biotechnology juga mengumumkan kabar gembira terkait pengembangan vaksin corona miliknya. "Hasil ini merupakan tonggak penting. Percobaan ini menunjukkan bahwa dosis tunggal dari vaksin baru adenovirus tipe 5 vektor COVID-19 (Ad5-nCoV) menghasilkan antibodi spesifik virus dan sel T dalam 14 hari, menjadikannya kandidat potensial untuk selanjutnya investigasi ", kata Profesor Wei Chen dari Institut Bioteknologi Beijing di Beijing, China.

Senin 25 Mei 2020, Novavax, Inc. mengumumkan pendaftaran peserta pertama dalam uji klinis fase 1/2 untuk kandidat vaksin miliknya, NVX-CoV2373, sebuah protein rekombinan yang dibuat menggunakan teknologi partikel nano miliknya. Hasil imunogenisitas dan keamanan awal dari bagian Fase 1 dari uji coba ini diharapkan rilis pada bulan Juli 2020.

Dalam kurun waktu empat bulan, kandidat vaksin sudah banyak yang menjalani fase uji klinis. Perkembangannya memang tergolong pesat mengingat timeline umum untuk riset vaksin saja membutuhkan waktu berbulan-bulan. 

Pada keadaan normal, pengembangan vaksin membutuhkan waktu 5-8 tahun, bahkan bisa lebih. Namun di dalam kondisi genting seperti sekarang ini di tengah tingginya tuntutan pemerintah dan publik, pengembangan vaksin dikebut.

Timeline dipadatkan menjadi 12-18 bulan. Berbeda dengan pengembangan yang sudah-sudah, berbagai tahap dan proses pengembangan vaksin corona dilakukan secara paralel. 

TahapanWaktu NormalAkselerasi*
Total/Keseluruhan8-15 tahun12-18 bulan
Riset2-4 tahun6 bulan
Persiapan preklinis2 tahun6 bulan
Uji klinis5 tahun1,5 tahun
Persetujuan1 tahun6 bulan
Produksi/Manufacturing2 tahun3-6 bulan
Distribusi2-6 bulan1 bulan

Sumber : New York Times, John Hopkins University, Council on Foreign Relation, CNBC Indonesia Research.

Skema Pengembangan Vaksin Corona dilakukan Secara Paralel

Skema Pengembangan Vaksin Corona dilakukan Secara ParalelSumber : Lurie, et al. (2020) Developing Covid-19 Vaccines at Pandemic Speed. The New England Journal of Medicine

Berbagai platform sedang dikembangkan. Namun yang paling menjanjikan sejauh ini memang platform yang berbasis DNA & RNA dan teknologi protein rekombinan. Vaksin RNA dan DNA dapat dibuat dengan cepat karena tidak memerlukan teknik kultur atau fermentasi. Sebagai gantinya menggunakan proses sintetis. Namun hingga saat ini belum ada vaksin RNA yang disetujui oleh regulator.

Walau progresnya cepat, pengembangan vaksin corona menemui berbagai tantangan mulai dari yang sifatnya teknis hingga ekonomis. Itu artinya mengembangkan vaksin corona bukanlah hal yang mudah. Berikut adalah tujuh tantangan yang dihadapi dalam pengembangan vaksin:

Pertama, desain vaksin berbasis DNA maupun RNA masih menuai pro-kontra. Walau banyak yang sepakat menggunakan struktur protein Spike virus sebagai kandidat untuk mendesain vaksin, para ilmuwan masih memperdebatkan apakah desain vaksin harus menggunakan sekuens gen utuh atau bisa parsial saja. Pasalnya desain vaksin memainkan peranan penting dalam efektivitas vaksin.

Kedua, tahap uji preklinis maupun klinis yang panjang dan lama. Proses uji klinis dilakukan dalam beberapa tahap dan menggunakan pendekatan ilmiah serta seringkali melibatkan hewan model agar uji yang dilakukan benar-benar dapat memastikan kandidat vaksin teruji ampuh.

Mengutip kajian Lurie, dkk yang dipublikasikan dalam The New England Journal of Medicine, melakukan uji klinis selama pandemi menimbulkan berbagai tantangan baru. Sulit untuk memprediksi di mana dan kapan wabah akan terjadi dan untuk mempersiapkan lokasi percobaan juga membutuhkan kesiapan vaksin untuk pengujian.

Selain itu, jika beberapa vaksin siap untuk diuji pada paruh kedua tahun 2020, penting untuk tidak memadati suatu lokasi uji coba atau membebani negara dan otoritas etik dan peraturan mereka dengan berbagai uji coba, seperti yang terjadi dengan terapi Ebola selama wabah 2013-2016.

Selain itu, dalam situasi dengan tingkat mortalitas yang tinggi, keberterimaan uji coba dengan metode acak, terkontrol dan kelompok plasebo mungkin akan rendah. Meskipun ada pendekatan lain yang dapat mengatasi masalah tersebut mungkin secara ilmiah layak, tetapi metode pengganti tersebut biasanya tidak cepat dan hasilnya bisa lebih sulit untuk ditafsirkan.

Ketiga, walau virus penyebab Covid-19 masih satu jenis dengan penyebab epidemi SARS & MERS, tingkat imunitas populasi dan seberapa lama populasi kebal terhadap infeksi virus masih belum diketahui. Sehingga akan sangat sulit menentukan apakah dosis tunggal vaksinasi sudah cukup untuk membuat orang kebal terhadap virus.

Keempat, Pengembangan vaksin adalah proses yang panjang dan mahal. Pengembangan vaksin biasanya melibatkan banyak kandidat dan butuh bertahun-tahun untuk menghasilkan vaksin berlisensi.

Mengingat biaya dan tingkat kegagalan yang tinggi, pengembang biasanya mengikuti tahapan pengembangan yang linear, dengan beberapa jeda untuk analisis data atau pemeriksaan proses manufaktur.

Mengembangkan vaksin dengan cepat membutuhkan paradigma baru. Banyak tahap yang dilakukan secara paralel sebelum memastikan hasil yang sukses dari langkah lain, sehingga mengakibatkan peningkatan risiko keuangan. 

Kelima, Masih jauh dari pasti bahwa platform pengembangan vaksin yang baru akan dapat diproduksi skala besar atau dengan kapasitas produksi vaksin yang cukup cepat. Karenanya sangat penting bahwa vaksin juga dikembangkan dengan menggunakan metode yang sudah terbukti sahih, bahkan jika metode tersebut mungkin membutuhkan waktu lebih lama untuk memasuki uji klinis atau untuk menghasilkan sejumlah besar dosis.

Keenam, lagipula kalaupun sudah ditemukan dan disetujui pertanyaan selanjutnya adalah apakah suplai vaksin dapat memenuhi kebutuhan global. Rasanya ini akan sangat sulit. Untuk melakukan vaksinasi terhadap tenaga medis satu kali saja setidaknya butuh miliaran dosis.

Sehingga kapasitas produksi vaksin di berbagai produsen sangat menentukan kecukupan suplai vaksin. Kalau pun tidak cukup maka vaksin akan lebih diprioritaskan untuk negara yang menemukan dan harganya pun mahal. Akhirnya akses setiap negara terhadap vaksin pun jadi tak merata.

Ketujuh, tantangan lain yang juga paling penting adalah menciptakan vaksin yang efektif. Namun efektivitas vaksin juga sangat tergantung dari karakteristik patogen itu sendiri. Apakah patogennya mudah lolos atau tidak. Jika laju mutasi virus tinggi dan patogen berevolusi dengan cepat maka efektivitas suatu vaksin cenderung rendah.

Virus corona merupakan virus yang tergolong ke dalam RNA virus karena memiliki materi genetik berupa RNA. Menurut berbagai publikasi yang dimuat di Journal Plos One dan kajian yang dilakukan oleh John Hopkins University virus RNA memiliki laju mutasi yang tinggi dan berevolusi dengan cepat. Hal ini membuat pengembangan vaksin yang efektif jadi pekerjaan yang sangat menantang.

Dengan adanya kemajuan teknologi memang membuat pengembangan vaksin terjadi dengan pesat. Sampai saat ini belum ada vaksin corona yang efektif dan pengembangan vaksin masih terus dilakukan.

Namun tantangan besar untuk mewujudkan vaksinasi global menanti di depan mata untuk dihadapi dan dicari solusinya. Artinya walau pengembangan sang penangkal maut terus digeber, kita harus tetap sabar untuk benar-benar mendapatkannya. 


TIM RISET CNBC INDONESIA



(twg/twg) Next Article Jokowi Mau RI Bikin Vaksin Corona Sendiri? Bisa!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular