
Duh, Obat Corona Trump Malah Tingkatkan Risiko Kematian
Daniel Wiguna, CNBC Indonesia
23 May 2020 15:58

Jakarta, CNBC Indonesia - Sebuah penelitian besar di Amerika Serikat menunjukkan obat anti-malaria hydroxychloroquine, justru dapat meningkatkan risiko kematian pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit.
Obat ini sebelumnya ramai dibicarakan publik setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan telah menggunakannya sebagai obat pencegahan dan mendesak orang lain untuk menggunakannya.
Permintaan untuk hydroxychloroquine yang telah berusia puluhan tahun pun melonjak ketika Trump berulang kali mempromosikan penggunaannya terhadap virus corona. Trump mengatakan minggu ini dirinya telah menggunakan hydroxychloroquine sebagai obat pencegahan meskipun kurangnya bukti ilmiah.
Seperti dikutip dari Reuters, Sabtu (23/5), adapun penelitian ilmiah yang dilakukan sebelumnya adalah dengan mengamati lebih dari 96.000 orang yang mengalami penyakit pernapasan yang dirawat di rumah sakit karena terinfeksi COVID-19. Hasil menunjukkan, mereka yang diobati dengan hydroxychloroquine atau chloroquine memiliki risiko kematian dan masalah irama jantung yang lebih tinggi daripada pasien yang tidak diberikan obat tersebut.
Studi ini dipublikasikan dalam jurnal medis Lancet, yang secara tegas menunjukkan tidak ada manfaat bagi pasien Corona yang memakai hydroxychloroquine. Para penulis studi Lancet menyarankan bahwa hydroxychloroquine dan chloroquine tidak boleh digunakan untuk mengobati COVID-19 di luar uji klinis sampai studi selanjutnya mengkonfirmasi keamanan dan kemanjuran obat pada pasien.
Selain itu, Studi Lancet melihat data dari 671 rumah sakit di mana 14.888 pasien diberikan hydroxychloroquine atau chloroquine, dengan atau tanpa antibiotik, dan 81.144 pasien tidak diberi perawatan seperti itu. Hasilnya, kedua obat telah menunjukkan bukti efektif terhadap virus corona dalam "pengaturan laboratorium", namun penelitian pada pasien terbukti tidak meyakinkan.
Hal serupa juga terjadi pada beberapa penelitian kecil di Eropa dan Cina yang mendorong penggunaan hydroxychloroquine terhadap COVID-19, namun dikritik karena kurangnya bukti ilmiah. Beberapa penelitian terbaru pun belum menunjukkan obat ini sebagai pengobatan COVID-19 yang efektif.
Pekan lalu, dua penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis BMJ menunjukkan bahwa kesehatan pasien yang diberi hydroxychloroquine tidak meningkat secara signifikan dibandingkan mereka yang tidak diberi obat tersebut.
Perlombaan Obat COVID-19
Semenjak virus corona mulai menyebar secara global, para dokter dan peneliti berlomba untuk mencari obat-obatan untuk mengatasi COVID-19. Hal ini dilakukan di waktu yang sama ketika beberapa tim peneliti berupaya menciptakan vaksin yang aman dan efektif untuk memerangi patogen yang telah menewaskan lebih dari 335.000 orang di seluruh dunia dan menginfeksi nyaris 5 juta orang secara global.
Menindaklanjuti hal tersebut, FDA (departemen makanan dan obat-obatan AS) mengizinkan penyedia layanan kesehatan untuk menggunakan obat-obatan untuk COVID-19 namun pada protokol otorisasi "penggunaan darurat". Sedangkan penggunaan hydroxychloroquine untuk tujuan pengobatan biasa belum mendapatkan persetujuan.
Dr Mandeep Mehra, salah satu penulis pada studi Lancet mengatakan penelitiannya menunjukkan bahwa FDA harus menarik otorisasi itu. Ia menegaskan dengan menarik otorisasi tersebut, maka hydroxychloroquine hanya dapat digunakan dalam uji coba terkontrol. "Itu akan menjadi keputusan yang sangat bijaksana" ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan media.
Sebelumnya, FDA telah mengatakan bahwa untuk alasan keamanan hydroxychloroquine harus digunakan hanya untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit atau mereka yang dalam uji klinis.
FDA mengakui bahwa berdasarkan beberapa penelitian, obat tersebut telah terkait dengan masalah irama jantung yang berbahaya. Namun demikian, terdapat kelompok yang mendukung penggunaan obat-obatan pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Mereka berpendapat pasien yang di rawat di rumah sakit cenderung terinfeksi pada kondisi yang lebih parah sehingga obat seperti hydroxychloroquine perlu diberikan sebelum pasien mencapai tahap tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat uji klinis acak terkontrol yang sedang berlangsung untuk mempelajari efektivitas obat dalam mencegah infeksi virus corona serta mengobati COVID-19 ringan hingga sedang. Beberapa dari mereka dapat memberikan hasil dalam beberapa minggu.
(hoi/hoi) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Obat ini sebelumnya ramai dibicarakan publik setelah Presiden AS Donald Trump menyatakan telah menggunakannya sebagai obat pencegahan dan mendesak orang lain untuk menggunakannya.
Permintaan untuk hydroxychloroquine yang telah berusia puluhan tahun pun melonjak ketika Trump berulang kali mempromosikan penggunaannya terhadap virus corona. Trump mengatakan minggu ini dirinya telah menggunakan hydroxychloroquine sebagai obat pencegahan meskipun kurangnya bukti ilmiah.
Studi ini dipublikasikan dalam jurnal medis Lancet, yang secara tegas menunjukkan tidak ada manfaat bagi pasien Corona yang memakai hydroxychloroquine. Para penulis studi Lancet menyarankan bahwa hydroxychloroquine dan chloroquine tidak boleh digunakan untuk mengobati COVID-19 di luar uji klinis sampai studi selanjutnya mengkonfirmasi keamanan dan kemanjuran obat pada pasien.
Selain itu, Studi Lancet melihat data dari 671 rumah sakit di mana 14.888 pasien diberikan hydroxychloroquine atau chloroquine, dengan atau tanpa antibiotik, dan 81.144 pasien tidak diberi perawatan seperti itu. Hasilnya, kedua obat telah menunjukkan bukti efektif terhadap virus corona dalam "pengaturan laboratorium", namun penelitian pada pasien terbukti tidak meyakinkan.
Hal serupa juga terjadi pada beberapa penelitian kecil di Eropa dan Cina yang mendorong penggunaan hydroxychloroquine terhadap COVID-19, namun dikritik karena kurangnya bukti ilmiah. Beberapa penelitian terbaru pun belum menunjukkan obat ini sebagai pengobatan COVID-19 yang efektif.
Pekan lalu, dua penelitian yang diterbitkan dalam jurnal medis BMJ menunjukkan bahwa kesehatan pasien yang diberi hydroxychloroquine tidak meningkat secara signifikan dibandingkan mereka yang tidak diberi obat tersebut.
Perlombaan Obat COVID-19
Semenjak virus corona mulai menyebar secara global, para dokter dan peneliti berlomba untuk mencari obat-obatan untuk mengatasi COVID-19. Hal ini dilakukan di waktu yang sama ketika beberapa tim peneliti berupaya menciptakan vaksin yang aman dan efektif untuk memerangi patogen yang telah menewaskan lebih dari 335.000 orang di seluruh dunia dan menginfeksi nyaris 5 juta orang secara global.
Menindaklanjuti hal tersebut, FDA (departemen makanan dan obat-obatan AS) mengizinkan penyedia layanan kesehatan untuk menggunakan obat-obatan untuk COVID-19 namun pada protokol otorisasi "penggunaan darurat". Sedangkan penggunaan hydroxychloroquine untuk tujuan pengobatan biasa belum mendapatkan persetujuan.
Dr Mandeep Mehra, salah satu penulis pada studi Lancet mengatakan penelitiannya menunjukkan bahwa FDA harus menarik otorisasi itu. Ia menegaskan dengan menarik otorisasi tersebut, maka hydroxychloroquine hanya dapat digunakan dalam uji coba terkontrol. "Itu akan menjadi keputusan yang sangat bijaksana" ungkapnya dalam sebuah wawancara dengan media.
Sebelumnya, FDA telah mengatakan bahwa untuk alasan keamanan hydroxychloroquine harus digunakan hanya untuk pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit atau mereka yang dalam uji klinis.
FDA mengakui bahwa berdasarkan beberapa penelitian, obat tersebut telah terkait dengan masalah irama jantung yang berbahaya. Namun demikian, terdapat kelompok yang mendukung penggunaan obat-obatan pada pasien COVID-19 yang dirawat di rumah sakit. Mereka berpendapat pasien yang di rawat di rumah sakit cenderung terinfeksi pada kondisi yang lebih parah sehingga obat seperti hydroxychloroquine perlu diberikan sebelum pasien mencapai tahap tersebut.
Berkaitan dengan hal tersebut, terdapat uji klinis acak terkontrol yang sedang berlangsung untuk mempelajari efektivitas obat dalam mencegah infeksi virus corona serta mengobati COVID-19 ringan hingga sedang. Beberapa dari mereka dapat memberikan hasil dalam beberapa minggu.
(hoi/hoi) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI
Most Popular