Konsumsi Listrik 2019 Melambat, Laba PLN Terdampak

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
19 May 2020 17:23
Dok: PLN
Foto: Dok: PLN

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah perlambatan pertumbuhan konsumsi listrik sepanjang tahun lalu akibat perang dagang, PT PLN (Persero) masih menorehkan laba bersih berkat kuatnya dukungan pemerintah dan menurunkan konsumsi minyak dalam pembangkitan listrik.

Perusahaan pelat merah ini pada 2019 meraih laba bersih Rp 4,32 triliun, atau turun 62,69% dari periode sebelumnya. Penurunan ini mengonfirmasi data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mencatat konsumsi listrik nasional tahun lalu tumbuh hanya 1,9%.

// ]]>

Ini merupakan tingkat pertumbuhan konsumsi terendah dalam setidaknya lima tahun mundur. Konsumsi melambat di tengah turunnya konsumsi listrik industri akibat perang dagang Amerika Serikat (AS) dan China yang memicu perlambatan ekonomi dunia pada 2019.

Harap diingat, perang dagang telah memicu perlambatan di setidaknya 70 negara tujuan ekspor Indonesia pada tahun lalu, mengacu pada data PT Bank Mandiri Tbk. Hal ini pun menekan kinerja manufaktur dan industri nasional sehingga menekan tingkat operasi mereka.

Sebagai gambaran, per semester I-2019, konsumsi listrik industri besar pada tegangan tinggi (30.000 kilovolt ampere/kVA), alias pelanggan golongan I-4, turun 4,58% ke 396.131 kWh/pelanggan/hari. Pada Juni 2018, konsumsi di golongan itu mencapai 426.367 kWh/pelanggan/hari.

Di tengah situasi demikian, PLN masih berhasil membukukan peningkatan pendapatan usaha, yakni sebesar 4,67% mencapai Rp 285,64 triliun. Penjualan tenaga listrik meningkat 4,78% atau sekitar Rp 12 triliun, dari Rp 263,48 triliun (2018) menjadi Rp 276,1 triliun.

Kenaikan ini disumbangkan oleh semua lini, baik dari pengguna listrik instansi pemerintah, BUMN, TNI/Polri, maupun masyarakat umum masing-masing sebesar 5,3%, 3,6%, 7,7% dan 4,7%.

Namun demikian, nilai pendapatan dari penyambungan pelanggan turun 5,5% menjadi Rp 6,9 triliun, yang mengindikasikan jumlah pelanggan listrik baru secara nasional pada tahun lalu cenderung turun. Ini bukan kabar bagus bagi PLN yang pertumbuhan pemasukannya ke depan dipengaruhi jumlah sambungan baru.

Dari sisi operasional, PLN sebenarnya masih merugi meski membaik, dengan nilai rugi usaha senilai Rp 29,8 triliun. Angka ini lebih rendah dari rugi usaha tahun sebelumnya sebesar Rp 35,3 triliun.

Hal ini wajar terjadi karena PLN memang tak boleh menaikkan tarif listrik secara komersial, terkait dengan fungsi public service obligation (PSO) yang dijalankannya. Padahal dari sisi pembelian listrik dari pemasok swasta, PLN wajib memakai pendekatan bisnis seperti biasa.

Oleh karena itu, pemerintah memberikan subsidi listrik untuk menalangi beban yang seharusnya dibayarkan oleh pelanggan listrik subsidi (kelas 450 watt). Di luar itu, pemerintah juga memberikan kompensasi sehingga PLN kembali beroleh laba.

Pada 2019, subsidi listrik yang dibayarkan pemerintah kepada PLN mencapai Rp 51,7 triliun, atau naik 7,5% dari pembayaran serupa pada tahun 2018 senilai Rp 48,1 triliun. Sementara itu, pendapatan kompensasi senilai Rp 22,3 triliun, turun 3,97% dari posisi 2018 (Rp 23,2 triliun).

Sayangnya, pos penghasilan lain-lain yang pada 2018 masih hijau dengan nilai Rp 15,7 triliun, justru berbalik menjadi beban lain-lain Rp 3,7 triliun (2019). Pemicunya adalah penyesuaian harga pembelian bahan bakar dan pelumas yang berujung pada beban Rp 6,7 triliun.

Pos beban, baik beban usaha maupun beban keuangan tercatat naik. Beban usaha PLN naik 2,35% dari Rp 308 triliun menjadi Rp 315,4 triliun. Beban usaha ini terdiri dari pembelian bahan bakar, pembelian listrik dari pihak swasta, sewa, pemeliharaan, penyusutan, dan kepegawaian.

Dari sisi biaya bahan bakar, PLN sepanjang tahun lalu masih bisa memperkecil pos bahan bakar minyak (BBM) dalam bauran pembangkitan listriknya. Secara total, energi non-BBM mencapai Rp 111,1 triliun, naik dari setahun sebelumnya Rp 105,3 triliun.

Angka itu setara dengan 81,6%, menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap BBM makin berkurang menjadi hanya 19,4%, atau kurang dari seperlimanya. Pada 2018, porsi bahan bakar non-BBM adalah 76,7%.

Di antara bahan bakar pembangkit listrik tersebut, batu bara menjadi yang paling dominan dengan porsi 36,5%. Pada 2018, porsi batu bara hanya 33,9%. Nilai beban pembelian batu bara tahun lalu senilai Rp 49,4 trilun, naik 6,7% dari posisi 2018 (Rp46,3 triliun).

Siapa pemasok utama batu bara PLN? Jawabannya tak lain PT Bukit Asam Tbk, dengan suplai batu bara 16,7 juta ton/tahun. PT Kaltim Prima Coal (KPC) di posisi kedua (7,8 juta ton/tahun), disusul PT Berau Coal (3,5 juta ton/tahun) dan PT Arutmin Indonesia (2,4 juta ton/tahun).

Di sisi lain, beban keuangan meningkat 13,9% dari Rp 21,6 triliun menjadi Rp 24,6 triliun, terkait dengan kenaikan pembayaran utang baik dari perbankan, obligasi, sewa pembiayaan, maupun utang pada mitra swasta.

Bisa dibilang, tahun 2019 merupakan tahun yang tak mudah bagi PLN. Namun demikian, BUMN tersebut masih bisa menjaga amanat PSO sembari menurunkan alokasi BBM, yang mayoritas diimpor dan membebani neraca transaksi berjalan, dari bauran pembangkitan listriknya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/ags) Next Article Stimulus Listrik untuk Siapa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular