
Stafsus Sri Mulyani: Kenaikan Iuran BPJS Gak Asal Naikin
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
17 May 2020 21:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengeluarkan aturan terbaru guna menyelesaikan permasalahan keuangan di BPJS Kesehatan pada pekan lalu. Aturan tersebut adalah Peraturan Presiden Nomor 64/2020 tentang Perubahan Kedua Atas Perpres Nomor 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Aturan itu disebut-sebut menjadi landasan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Itu dikarenakan besaran iuran yang ditetapkan Perpres 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perpres 75/2019 yang pada Maret 2020 lalu ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya pada beberapa bulan yang lalu, MA telah mengabulkan gugatan untuk membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan yang berisi tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Namun, kini pemerintah telah memutuskan untuk kembali menaikkan nilai iuran. Perubahan yang mendadak dan terjadi di tengah merebaknya wabah virus corona (COVID-19) ini telah memicu berbagai tanggapan dari kalangan masyarakat, di mana tak sedikit yang menentangnya.
Menanggapi hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, mengatakan jalannya BPJS sudah sesuai mandat jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) yang berada di bawah pengawasan PBB.
"Mandat ini lalu dijalankan oleh BPJS Kesehatan melalui UU 24/2011. Meski berat, komitmen ini harus diwujudkan demi memenuhi pencapaian tujuan bernegara. UHC sendiri setidaknya memperhitungkan aspek kepesertaan, anggaran, dan pelayanan. Tiga hal yang vital tapi kompleks," ujar Yustinus seperti dikutip dari akun Twitter resminya, Minggu (17/5/2020).
Selain itu, menurut dia, BPJS saat ini juga telah dijalankan di bawah pilar gotong royong, di mana yang mampu membayar lebih besar, sedangkan yang tidak mampu ditanggung pemerintah.
"Ini wujud spirit Pancasila. Jangan sampai ada orang miskin yang sakit dan tidak terurus, lalu menderita dan meninggal tak terawat," kata Yustinus.
Lebih lanjut, dia membeberkan mengenai profil kepesertaan BPJS Kesehatan dan kinerja keuangan BPJS Kesehatan. Menurut Yustinus, saat ini kondisi BPJS Kesehatan memiliki beban yang melebihi iuran, sehingga wajar jika dilakukan penyesuaian. Ia juga mengatakan ada hal bagus di Perpres 64/2020, yaitu syarat pengaktifan kembali diperlonggar.
"Sebelumnya harus bayar tunggakan 24 bulan. Sekarang, untuk dukungan di masa pandemi, pelunasan cukup sampai enam bulan aja. Pelunasan juga boleh sampai 2021. Pripun, enak njih?. Lalu penurunan denda. Pembayaran denda atas pelayanan sebesar 5% dari perkiraan paket INA CBG. Namun untuk dukungan di masa COVID-19, tahun 2020 hanya dikenakan denda 2,5%. Pesannya jelas: naikin iuran gak asal naikin, ada pertimbangan masa pandemi juga. Adil dan bijak?," kata Yustinus.
"Itulah gambaran utuh Jaminan Kesehatan kita. Masih perlu banyak perbaikan, tapi terus berbenah demi memastikan pelayanan terbaik buat seluruh warga. Pemerintah justru patuh pada rekomendasi MA, maka inilah yang dilakukan. Semoga cukup jelas dan mari bersyukur alhamdulilah!."
(miq/miq) Next Article Sri Mulyani Siram Rp4,78 T ke BPJS Ketenagakerjaan, Buat Apa?
Aturan itu disebut-sebut menjadi landasan kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Itu dikarenakan besaran iuran yang ditetapkan Perpres 64/2020 tidak jauh berbeda dengan Perpres 75/2019 yang pada Maret 2020 lalu ditolak oleh Mahkamah Agung (MA).
Sebelumnya pada beberapa bulan yang lalu, MA telah mengabulkan gugatan untuk membatalkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75/2019 tentang Jaminan Kesehatan yang berisi tentang kenaikan iuran BPJS Kesehatan.
Menanggapi hal ini, Staf Khusus Menteri Keuangan Yustinus Prastowo, mengatakan jalannya BPJS sudah sesuai mandat jaminan kesehatan semesta (Universal Health Coverage) yang berada di bawah pengawasan PBB.
"Mandat ini lalu dijalankan oleh BPJS Kesehatan melalui UU 24/2011. Meski berat, komitmen ini harus diwujudkan demi memenuhi pencapaian tujuan bernegara. UHC sendiri setidaknya memperhitungkan aspek kepesertaan, anggaran, dan pelayanan. Tiga hal yang vital tapi kompleks," ujar Yustinus seperti dikutip dari akun Twitter resminya, Minggu (17/5/2020).
Selain itu, menurut dia, BPJS saat ini juga telah dijalankan di bawah pilar gotong royong, di mana yang mampu membayar lebih besar, sedangkan yang tidak mampu ditanggung pemerintah.
"Ini wujud spirit Pancasila. Jangan sampai ada orang miskin yang sakit dan tidak terurus, lalu menderita dan meninggal tak terawat," kata Yustinus.
Lebih lanjut, dia membeberkan mengenai profil kepesertaan BPJS Kesehatan dan kinerja keuangan BPJS Kesehatan. Menurut Yustinus, saat ini kondisi BPJS Kesehatan memiliki beban yang melebihi iuran, sehingga wajar jika dilakukan penyesuaian. Ia juga mengatakan ada hal bagus di Perpres 64/2020, yaitu syarat pengaktifan kembali diperlonggar.
"Sebelumnya harus bayar tunggakan 24 bulan. Sekarang, untuk dukungan di masa pandemi, pelunasan cukup sampai enam bulan aja. Pelunasan juga boleh sampai 2021. Pripun, enak njih?. Lalu penurunan denda. Pembayaran denda atas pelayanan sebesar 5% dari perkiraan paket INA CBG. Namun untuk dukungan di masa COVID-19, tahun 2020 hanya dikenakan denda 2,5%. Pesannya jelas: naikin iuran gak asal naikin, ada pertimbangan masa pandemi juga. Adil dan bijak?," kata Yustinus.
"Itulah gambaran utuh Jaminan Kesehatan kita. Masih perlu banyak perbaikan, tapi terus berbenah demi memastikan pelayanan terbaik buat seluruh warga. Pemerintah justru patuh pada rekomendasi MA, maka inilah yang dilakukan. Semoga cukup jelas dan mari bersyukur alhamdulilah!."
(miq/miq) Next Article Sri Mulyani Siram Rp4,78 T ke BPJS Ketenagakerjaan, Buat Apa?
Most Popular