
Ketika Mimpi Indah BUMN Gugur di RUU Minerba, Ya Sudahlah...
Arif Gunawan & Gustidha Budiartie, CNBC Indonesia
14 May 2020 10:44
![[THUMB] Rebutan Tambang Batu Bara Swasta vs BUMN di Revisi PP 23/2010](https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/05/20/38735640-8db9-4047-8739-d817c7da6945_169.png?w=900&q=80)
Jakarta, CNBC Indonesia - Revisi Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) resmi diketok palu. Walhasil, sektor ini bakal semakin menarik untuk investasi, tetapi kiprah perusahaan negara terkepras.
UU Minerba yang baru saja disahkan pada Senin (11/5/2020) memberikan kenyataan getir bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahwa sektor ini ternyata berbeda dari sektor energi saudaranya, yakni minyak dan gas (migas).
Jika di sektor migas terdapat prinsip 'right of first refusal' yakni hak bagi BUMN untuk memperoleh penawaran terlebih dahulu atas aset-aset tambang, di sektor minerba keekslusifan itu dihapuskan untuk aset tambang raksasa.
Kita berbicara mengenai perusahaan tambang pemegang Kontrak Karya (KK) dan Perjanjan Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B). Contoh pemegang KK adalah PT Freeport Indonesia (sebelum berganti IUPK), sedangkan PKP2B saat ini dipegang tujuh perusahaan batu bara swasta terbesar nasional.
Revisi UU ini memberikan jaminan perpanjangan untuk pemegang KK dan PKP2B yang bakal selesai masa berlakunya. Semula, ada pandangan bahwa mereka harus mengembalikan asetnya kepada negara sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sesuai yang tertuang di UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan PP 23 Tahun 2010.
Lalu, jika pemerintah memutuskan untuk mengeksploitasi WPN, maka pemerintah akan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan status wilayah tambangnya menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Di sinilah BUMN mendapat karpet merah untuk mengelolanya (atas nama negara) sebagaimana bunyi pasal 27 ayat 3 sebelum direvisi: "Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK."
Soal urusan ini, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno bahkan mati-matian mempertahankan hak BUMN. Salah satu pertimbangannya, toh banyak dari PKP2B yang memiliki luas lahan puluhan ribu hektar belum dioptimalkan sepenuhnya, jadi bisa dimanfaatkan sebagian untuk BUMN tambang agar bisa lebih berkembang.
"Perebutan" hak ini sempat memanas di tahun lalu saat wacana revisi PP 23 Tahun 2010 digeber lebih dulu untuk 'amankan' perpanjangan PKP2B. Rini Soemarno sampai bersurat kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 1 Maret 2019 lalu, bocor ke publik.
Dalam surat tersebut, Rini menekankan sejatinya dalam revisi PP 23 Tahun 2010 ditekankan kembali amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yakni kekayaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batu bara merupakan kekayaan negara yang pengusahaannya harus dilakukan secara optimal untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
"Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Rini tergeser, surat itu pun seakan-akan dianggap tak pernah ada. Jangankan surat, informasi yang diterima oleh CNBC Indonesia bahkan pembahasan RUU Minerba baru ini tidak melibatkan BUMN pertambangan mineral dan batu bara.
Alur Pengertian Hukum IUPK Diubah
Revisi UU Minerba mengubah alur yang menggugurkan mimpi indah pelat merah tersebut. Memang benar, BUMN masih mendapatkan prioritas dalam IUPK. Namun itu untuk IUPK yang umum, bukan yang khusus. Pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan distingsi untuk IUPK peralihan pemegang KK & PKP2B.
Hal ini diatur di pasal 35 ayat 3 versi revisi dengan nama resmi "IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian". Dalam ketentuan sebelumnya, hanya ada 1 jenis IUPK--yang diprioritaskan kepada BUMN.
Nah, dengan pengecualian tersebut, maka muncul aturan tambahan untuk menjamin perpanjangan izin mereka, menjadi IUPK khusus tersebut, dengan lama perpanjangan dua kali 10 tahun, alias 20 tahun. Hal ini diatur di pasal 169A, yang berbunyi:
"KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan."
Tak hanya untuk pengelolaan aset minerba raksasa, peran penting BUMN dalam divestasi pun mengalami degradasi. Jika semula mereka menjadi pemain kunci untuk mewakili pemerintah membeli 51% saham perusahaan tambang asing, posisi itu kini mengabur dalam dua hal.
Pertama, tidak ada lagi kewajiban divestasi setelah lima tahun. Ketentuan mengenai jangka waktu itu digeser ke ranah eksekutif, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Bisa 20 tahun, bisa 50 tahun tergantung pemerintah.
Kedua, penjualan saham pun bisa dilakukan dengan mekanisme bursa. Semula, mekanisme divestasi hanya melalui private placement (penjualan langsung) dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD.
Jika mereka tak berminat, maka swasta diundang masuk. Cukup sampai di situ. Dengan mekanisme ini, maka BUMN mau tidak mau menjadi tulang-punggung agar amanat kewajiban divestasi itu terlaksana, baik dengan membeli sendirian atau berkongsi dengan swasta.
Namun kini, ada opsi tambahan yakni divestasi lewat mekanisme bursa. Dengan pelepasan saham perdana (initial public offering/IPO), maka investor pemilik IUPK yang terkena kewajiban divestasi pun berpeluang membeli lagi sahamnya melalui mekanisme pasar (baik di pasar primer maupun sekunder).
Tentu saja, semua itu dilakukan dengan perusahaan cangkang alias special purpose vehicle (SPV). BUMN tak lagi menjadi konsideran utama dalam mekanisme ini. Ia hanya menjadi opsi. Kalau BUMN dan swasta tak bisa menggalang dana untuk membeli 51% saham divestasi, maka opsi IPO otomatis berjalan.
Direktur Eksekutif Pushep Bisman Bhaktiar mengatakan pembahasan RUU Minerba sangat dipaksakan di tengah pandemi Covid-19, yang seharusnya fokus pada penanganan Covid-19. "Tidak ada yang mendesak dengan RUU Minerba ini, kecuali soal perpanjangan PKP2B," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (12/05/2020).
Ia mengatakan jaminan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK terlalu berlebihan. Seharusnya terhadap KK dan PKP2B yang akan habis jangka waktunya, maka wilayahnya harus dikembalikan kepada negara.
Hal ini sesuai amanat konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 pasal 33 ayat (2) mengatur bahwa cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Setelah kembali ke negara, pengelolaannya diserahkan kepada BUMN.
"BUMN merupakan kepanjangan tangan negara untuk menjalankan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak."
Kemudian, di dalam kondisi tertentu diberikan opsi kepada BUMN untuk dapat melakukan pengusahaan bersama dengan perusahaan pemegang KK dan PKP2B eksisting maupun dengan perusahaan lain.
Dalam konteks ini lebih adil dan proporsional, di satu sisi menjalankan amanat konstitusi penguasaan oleh negara yang dilakukan oleh BUMN, namun tetap memberikan kesempatan (berbagi pengelolaan bersama) kepada pemegang KK dan PKP2B eksisting dan pelaku usaha lainnya.
(gus/gus) Next Article Dicatat! Faisal Basri Bongkar Pasal-pasal Rawan RUU Minerba
UU Minerba yang baru saja disahkan pada Senin (11/5/2020) memberikan kenyataan getir bagi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bahwa sektor ini ternyata berbeda dari sektor energi saudaranya, yakni minyak dan gas (migas).
Jika di sektor migas terdapat prinsip 'right of first refusal' yakni hak bagi BUMN untuk memperoleh penawaran terlebih dahulu atas aset-aset tambang, di sektor minerba keekslusifan itu dihapuskan untuk aset tambang raksasa.
Revisi UU ini memberikan jaminan perpanjangan untuk pemegang KK dan PKP2B yang bakal selesai masa berlakunya. Semula, ada pandangan bahwa mereka harus mengembalikan asetnya kepada negara sebagai Wilayah Pencadangan Negara (WPN) sesuai yang tertuang di UU Minerba Nomor 4 Tahun 2009 dan PP 23 Tahun 2010.
Lalu, jika pemerintah memutuskan untuk mengeksploitasi WPN, maka pemerintah akan mengeluarkan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) dan status wilayah tambangnya menjadi Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
Di sinilah BUMN mendapat karpet merah untuk mengelolanya (atas nama negara) sebagaimana bunyi pasal 27 ayat 3 sebelum direvisi: "Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mendapat prioritas dalam mendapatkan IUPK."
Soal urusan ini, mantan Menteri BUMN Rini Soemarno bahkan mati-matian mempertahankan hak BUMN. Salah satu pertimbangannya, toh banyak dari PKP2B yang memiliki luas lahan puluhan ribu hektar belum dioptimalkan sepenuhnya, jadi bisa dimanfaatkan sebagian untuk BUMN tambang agar bisa lebih berkembang.
"Perebutan" hak ini sempat memanas di tahun lalu saat wacana revisi PP 23 Tahun 2010 digeber lebih dulu untuk 'amankan' perpanjangan PKP2B. Rini Soemarno sampai bersurat kepada Menteri Sekretaris Negara Pratikno pada 1 Maret 2019 lalu, bocor ke publik.
Dalam surat tersebut, Rini menekankan sejatinya dalam revisi PP 23 Tahun 2010 ditekankan kembali amanat Undang-Undang Nomor 4 tahun 2009 yakni kekayaan sumber daya alam, termasuk mineral dan batu bara merupakan kekayaan negara yang pengusahaannya harus dilakukan secara optimal untuk mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat.
"Dalam hal ini, BUMN sebagai kepanjangtanganan negara perlu diberikan peran yang lebih besar sebagai bentuk penguasaan negara atas kekayaan sumber daya alam," tulis Rini dalam suratnya.
Rini tergeser, surat itu pun seakan-akan dianggap tak pernah ada. Jangankan surat, informasi yang diterima oleh CNBC Indonesia bahkan pembahasan RUU Minerba baru ini tidak melibatkan BUMN pertambangan mineral dan batu bara.
Alur Pengertian Hukum IUPK Diubah
Revisi UU Minerba mengubah alur yang menggugurkan mimpi indah pelat merah tersebut. Memang benar, BUMN masih mendapatkan prioritas dalam IUPK. Namun itu untuk IUPK yang umum, bukan yang khusus. Pemerintah dan DPR sepakat untuk memberikan distingsi untuk IUPK peralihan pemegang KK & PKP2B.
Hal ini diatur di pasal 35 ayat 3 versi revisi dengan nama resmi "IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian". Dalam ketentuan sebelumnya, hanya ada 1 jenis IUPK--yang diprioritaskan kepada BUMN.
Nah, dengan pengecualian tersebut, maka muncul aturan tambahan untuk menjamin perpanjangan izin mereka, menjadi IUPK khusus tersebut, dengan lama perpanjangan dua kali 10 tahun, alias 20 tahun. Hal ini diatur di pasal 169A, yang berbunyi:
"KK dan PKP2B sebagaimana dimaksud dalam Pasal 169 diberikan jaminan perpanjangan menjadi IUPK sebagai Kelanjutan Operasi Kontrak/Perjanjian setelah memenuhi persyaratan."
Tak hanya untuk pengelolaan aset minerba raksasa, peran penting BUMN dalam divestasi pun mengalami degradasi. Jika semula mereka menjadi pemain kunci untuk mewakili pemerintah membeli 51% saham perusahaan tambang asing, posisi itu kini mengabur dalam dua hal.
Pertama, tidak ada lagi kewajiban divestasi setelah lima tahun. Ketentuan mengenai jangka waktu itu digeser ke ranah eksekutif, diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP). Bisa 20 tahun, bisa 50 tahun tergantung pemerintah.
Kedua, penjualan saham pun bisa dilakukan dengan mekanisme bursa. Semula, mekanisme divestasi hanya melalui private placement (penjualan langsung) dengan pemerintah pusat, pemerintah daerah, BUMN, dan BUMD.
Jika mereka tak berminat, maka swasta diundang masuk. Cukup sampai di situ. Dengan mekanisme ini, maka BUMN mau tidak mau menjadi tulang-punggung agar amanat kewajiban divestasi itu terlaksana, baik dengan membeli sendirian atau berkongsi dengan swasta.
Namun kini, ada opsi tambahan yakni divestasi lewat mekanisme bursa. Dengan pelepasan saham perdana (initial public offering/IPO), maka investor pemilik IUPK yang terkena kewajiban divestasi pun berpeluang membeli lagi sahamnya melalui mekanisme pasar (baik di pasar primer maupun sekunder).
Tentu saja, semua itu dilakukan dengan perusahaan cangkang alias special purpose vehicle (SPV). BUMN tak lagi menjadi konsideran utama dalam mekanisme ini. Ia hanya menjadi opsi. Kalau BUMN dan swasta tak bisa menggalang dana untuk membeli 51% saham divestasi, maka opsi IPO otomatis berjalan.
Direktur Eksekutif Pushep Bisman Bhaktiar mengatakan pembahasan RUU Minerba sangat dipaksakan di tengah pandemi Covid-19, yang seharusnya fokus pada penanganan Covid-19. "Tidak ada yang mendesak dengan RUU Minerba ini, kecuali soal perpanjangan PKP2B," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Selasa, (12/05/2020).
Ia mengatakan jaminan perpanjangan PKP2B menjadi IUPK terlalu berlebihan. Seharusnya terhadap KK dan PKP2B yang akan habis jangka waktunya, maka wilayahnya harus dikembalikan kepada negara.
Hal ini sesuai amanat konstitusi UUD Negara RI Tahun 1945 pasal 33 ayat (2) mengatur bahwa cabang- cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Setelah kembali ke negara, pengelolaannya diserahkan kepada BUMN.
"BUMN merupakan kepanjangan tangan negara untuk menjalankan pengelolaan sumber daya alam yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak."
Kemudian, di dalam kondisi tertentu diberikan opsi kepada BUMN untuk dapat melakukan pengusahaan bersama dengan perusahaan pemegang KK dan PKP2B eksisting maupun dengan perusahaan lain.
Dalam konteks ini lebih adil dan proporsional, di satu sisi menjalankan amanat konstitusi penguasaan oleh negara yang dilakukan oleh BUMN, namun tetap memberikan kesempatan (berbagi pengelolaan bersama) kepada pemegang KK dan PKP2B eksisting dan pelaku usaha lainnya.
(gus/gus) Next Article Dicatat! Faisal Basri Bongkar Pasal-pasal Rawan RUU Minerba
Most Popular