Kebijakan Pemulihan Ekonomi Nasional: The Next BLBI?

Lidya Julita S, CNBC Indonesia
13 May 2020 09:50
Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Foto: Dollar AS - Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali mengeluarkan aturan dalam rangka mendukung pemulihan ekonomi nasional akibat dampak negatif dari Pandemi Virus Corona (COVID-19).

Aturan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23/2020 Tentang Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional dalam Rangka Mendukung Kebijakan Keuangan negara untuk Penanganan Pandemi COVID-19 dan/atau Menghadapi Ancaman yang membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan serta Penyelamatan Ekonomi Nasional.

Dalam aturan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) ini pemerintah mengalokasikan anggaran sebesar Rp 150 triliun. Di mana, ada 4 fokus yang akan dilakukan yakni penyertaan modal negara (PMN), penempatan dana, investasi pemerintah, dan/atau penjaminan.

Untuk penempatan dana dalam PEN ini, nantinya pemerintah akan mendorong peran perbankan dalam menyalurkan kredit. Dan untuk memberikan suntikan likuiditas kepada perbankan agar penyaluran kredit tetap berjalan, pemerintah harus mencari sumber dana dari penerbitan obligasi. Nantinya obligasi itu akan dibeli oleh Bank Indonesia (BI) dengan suku bunga khusus.



Sekilas program Penyelamatan Ekonomi Nasional agak mirip dengan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) saat krisis multi-dimensi pada 1997-1998. Kala itu, pemerintah menerbitkan obligasi rekapitalisasi untuk meningkatkan permodalan perbankan.

Semua tahu sejarah kelam dan trauma yang diakibatkan oleh BLBI. Uang ratusan triliun rupiah digelapkan oleh para pemilik bank, dibawa kabur, dan bank tetap tidak sehat. Masalah hukum dan ekonominya masih terasa sampai saat ini, pemerintah masih membayar bunga obligasi rekapitalisasi ke BI.

Oleh karena itu, PEN harus diawasi dengan ketat agar pengalaman buruk itu tidak terulang lagi. Pasal 24 ayat (1) PP No 23/2020 mengamanatkan menteri melakukan pengawasan dan evaluasi atas pelaksanaan PEN. Ayat (2) menambahkan, pengawasan dan evaluasi itu mencakup pemantauan, evaluasi, dan pengendalian.

"Hasil evaluasi atas pelaksanaan Program PEN sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaporkan oleh Menteri kepada Presiden," sebut pasal 24 ayat (3).



Pengawasan juga dibuat berlapis dengan melibatkan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) sebagai auditor internal pemerintah. BPKP akan melakukan pengawasan intern terhadap pelaksanaan program PEN.

Ekonom Senior CORE Piter Abdulah menekankan, penyelamatan ekonomi Jokowi saat ini berbeda dengan BLBI. Sebab, saat ini ada pemerintah dan bank jangkar yang akan menjembatani dari BI hingga dana ke masyarakat.

"Beda. Kalau BLBI dulu yang pertama diselamatkan adalah dana masyarakat. Jadi bantuan likuiditas dari BI langsung diberikan ke perbankan karena saat dilakukan memangagi darurat dan belum ada protokol/SOP. Itu mendesak dan harus dilakukan karena masyarakat melakukan penarikan dana secara massal," ujarnya kepada CNBC Indonesia, Rabu (13/5/2020).

Menurutnya, saat BLBI terjadi, Bank Indonesia (BI) langsung memberikan suntikan likuiditas ke perbankan dan bank ke masyarakat. Ia mencontohkan, misalnya satu masyarakat menarik dana Rp 1 miliar dan perbankan berbohong dan minta ke BI 2-3 miliar. Lalu saat keadaan kembali normal, perbankan tidak mampu mengembalikan dananya ke BI.



"Kondisi seperti itu dulu yang membuat adanya moral hazard," kata dia.

Sedangkan saat ini, bantuan likuiditas dari BI melalui pembelian surat utang akan masuk ke pemerintah. Dari pemerintah uang ditempatkan ke bank jangkar. Lalu perbankan yang butuh likuiditas akan meminjam ke bank jangkar.

"Dengan cara ini, maka antar bank bisa pahami risiko," jelasnya.

Ekonom INDEF Tauhid Ahmad juga sependapat dengan Piter bahwa penyelamatan ekonomi kali ini berbeda dengan BLBI dulu. Sebab, dengan penempatan dana dari pemerintah di bank jangkar yakni bank himbara maka komandonya dinilai ada di Meteri BUMN Erick Thohir.

"Saya lihat agak berbeda karena kendali berada di bawah BUMN, meski demikian kita belum tahu seberapa jauh kinerja BUMN sendiri pada masa pandemi, apakah memang semuanya mengalami masalah besar atau tidak. Kemungkinan, BUMN perbankan masih relatif baik namun BUMN non bank memang lagi mengalami shock yang cukup banyak," jelasnya kepada CNBC Indonesia.


[Gambas:Video CNBC]





(dru) Next Article 2019 Jadi Tahun Berat Bagi Bisnis Logistik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular