Sri Mulyani Sebut Anies Tak Ada Uang, APBD DKI Rp 93 T Lho...

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
07 May 2020 13:33
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi keterangan pers
Foto: Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan memberi keterangan pers
Jakarta, CNBC Indonesia - Pandemi virus corona (Coronavirus Disease-2019/Covid-19) membuat pemerintah mau tidak mau harus merogoh kantong dalam-dalam. Sebab, tba-tiba muncul kebutuhan mendesak yang tidak direncakan sebelumnya.

Serangan virus corona memang sangat cepat dan luas. Dalam waktu kurang dari lima bulan, virus yang bermula dari Kota Wuhan, Provinsi Hubei, Republik Rakyat China ini sudah menyerang lebih dari 3 juta orang di seluruh dunia. Korban jiwa mencapai tak kurang dari 200.000 orang.


Pada 2019, saat pemerintah menyusun anggaran 2020, belum ada yang namanya virus corona. Anggaran 2020 didesain sebagai pendorong pemulihan ekonomi usai berakhirnya perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China.

Namun takdir berkata lain. Penyebaran virus corona membuat pemerintah pontang-panting menyediakan anggaran yang belum direncanakan sebelumnya, baik itu untuk pengadaan alat-alat kesehatan, peningkatan fasilitas kesehatan, sampai bantuan sosial (bansos) bagi masyarakat yang terdampak oleh pandemi virus corona.

Kebutuhan untuk yang disebut terakhir itu yang membikin pening. Pasalnya, bantuan harus diberikan kepada mereka yang mengalami dampak ekonomi akibat kebijakan pembatasan sosial (social distancing) yang ditempuh untuk membatasi ruang gerak penyebaran virus.


Di Indonesia, Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 awalnya mengalokasikan belanja perlindungan sosial sebesar Rp 226,42 triliun. Namun gara-gara pandemi virus corona, jumlahnya bertambah Rp 110 triliun untuk penambahan anggaran Kartu Sembako, Kartu Pra-Kerja, dan subsidi listrik.

Tidak hanya di level pusat, pemerintah daerah pun dibikin pusing karena tiba-tiba muncul kebutuhan yang tidak direncanakan sebelumnya. Termasuk di provinsi dengan anggaran terbesar se-Indonesia Raya, DKI Jakarta.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan pemerintah provinsi DKI Jakarta tidak punya anggaran untuk program bantuan sosial. Akhirnya anggaran tersebut terpaksa harus ditalangi oleh pemerintah pusat.

"PMK (Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan) cover 1,1 juta warga. DKI nggak punya anggaran, minta pemerintah pusat covering untuk 1,1 juta warganya," kata Sri Mulyani.


Kalau dari sisi nominal, sebenarnya APBD DKI Jakarta sangat besar, terbesar di Indonesia. Pada 2020, nilai APBD Jakarta mencapai Rp 93,05 triliun. Naik dibandingkan 2019 yaitu Rp 89,09 triliun.



Meski punya anggaran jumbo, tetapi pengeluarannya tidak bisa seenak udel. Sudah ada pos-pos belanja yang disepakati pemerintah dan DPRD, itu yang harus dibelanjakan.

Masalahnya, pandemi virus corona belum ada kala pemerintahan Gubernur Anies Rasyid Baswedan membahas APBD 2020 bersama DPRD tahun lalu. Sekarang ujug-ujug ada tambahan belanja yang harus dicarikan sumber pendanaannya.

Misalnya, Keputusan Gubernur DKI Jakarta No 386/2020 tentang Penerimaan Bantuan Sosial Selama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) mengamanatkan pemerintah provinsi DKI untuk memberi bantuan sembako kepada 1.194.633 kepala keluarga (KK) senilai Rp 149.500 per bulan. Berarti dalam sebulan, pemerintah provinsi Jakarta harus menganggarkan duit Rp 178,59 miliar per bulan. Sepanjang PSBB masih berlaku, anggaran ini tidak boleh putus.

Sementara sumber penerimaan dari pajak sulit diandalkan. Dunia usaha juga dipusingkan oleh pandemi virus corona yang membuat penjualan anjlok sehingga gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sulit dihindari. Boro-boro mendapat laba (yang sebagian masuk ke kas daerah), bertahan hidup saja sudah sulit.


Oleh karena itu, wajar jika Anies berpaling ke pemerintah pusat. Sebab bagaimanapun bantuan harus terus diberikan sementara alokasi anggarannya belum ada.

Namun masalahnya ada di koordinasi. Menteri Sosial Julari Batubara mengungkapkan, penyaluran bansos di Jakarta tidak berdasarkan data yang bisa diandalkan.

Menurut Juliari, ada warga yang menerima bansos dari pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Padahal semestinya pemerintah pusat hanya memberikan bansos kepada keluarga yang tidak bisa tersentuh oleh pemerintah provinsi.

"Sekarang problemnya data, belum lagi sinkronisasi dan koordinasi,. Misalnya kami dengan DKI ini agak sedang tarik-menarik, cocok-cocokan data. Bahkan kemarin saya dengan Pak Gubernur agak tegang, agak saya tegur keras," tegas Muhadjir Effendy, Menko PMK.



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular