
Kasus Corona di RI 8.000-an, Singapura 13.000-an, Kok Bisa?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
27 April 2020 14:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia saat ini masih berada di peringkat kedua di klasemen negara-negara kawasan Asia Tenggara, dengan jumlah kasus infeksi virus corona (COVID-19) terbanyak. Walau berada di bawah Singapura, tetapi ada yang harus dicermati dari perkembangan kasus di dalam negeri.
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, jumlah kasus COVID-19 di Tanah Air mencapai 8.842 orang per kemarin. Sebanyak 1.107 orang dinyatakan sembuh dan 743 orang meninggal dunia. Sementara sisanya masih dalam perawatan.
Jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia masih kalah jauh dari angka jumlah kasus. Sampai kemarin jumlah kasus COVID-19 di Singapura sudah mencapai angka 13.624. Namun dalam sepekan terakhir pertambahan kasus baru di Singapura cenderung menurun dari 1.000 kasus per hari menjadi 600 kasus saja.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, pertambahan jumlah kasus per harinya masih di rentang 400-an kasus. Kalau dilihat secara sekilas seolah tampak Indonesia berhasil menekan jumlah kasus baru di level tersebut.
Namun terlalu dini untuk mengambil kesimpulan tersebut. Pasalnya tes corona yang dilakukan di dalam negeri masih tertinggal jauh dengan negara lain. Selain itu tingkat kematian akibat COVID-19 juga termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara dan bahkan dunia.
Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan total penduduk mencapai 268 juta jiwa pada 2018. Dengan jumlah penduduk yang sebanyak itu, jumlah tes corona yang dilakukan di Tanah Air baru untuk 72.099 orang. Artinya per 1 juta populasi penduduk hanya 264 orang yang dites.
Angka ini jelas sangat kecil jika dibandingkan dengan Singapura yang penduduknya bahkan tak sebanyak DKI Jakarta. Dengan penduduk hanya 5,64 juta jiwa Singapura telah melakukan tes corona terhadap 121.774 orang. Artinya per 1 juta penduduk Singapura tes corona telah dilakukan terhadap 20.815 orang.
Indonesia menjadi negara di kawasan Asia Tenggara yang melakukan tes corona paling sedikit dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. Padahal deteksi dini dan masal sangat berperan signifikan dalam meminimalisir kemungkinan semakin merebaknya wabah.
Jika orang yang terinfeksi tetapi tak menunjukkan gejala dapat dideteksi sedini mungkin. Maka masih ada kesempatan orang tersebut untuk diisolasi, sehingga hal ini dapat memutus mata rantai penyebaran virus. Strategi ini terbukti efektif di Korea Selatan sebagai negara yang jadi pionir tes corona massal.
Awalnya wabah COVID-19 merebak dengan sangat mengerikan di Korea Selatan. Pada 18 Februari 2020, kasus di Korea Selatan melonjak signifikan dan menjadi negara di luar China yang paling parah terdampak. Namun sejak 6 Maret 2020, Korsel telah berhasil mengendalikan wabah dengan jumlah kasus baru per hari di bawah 10.
Ketika episentrum penyebaran virus mulai bergeser ke Eropa dan AS dan memicu banyak negara seperti Italia, Spanyol, dan Perancis memilih lockdown, roda perekonomian Korea Selatan tetap berjalan. Korea Selatan adalah salah satu negara yang dinilai berhasil mengendalikan wabah tanpa harus mengorbankan perekonomiannya dengan signifikan seperti negara lain yang mengambil opsi lockdown.
Apa yang membuat Korea Selatan terlihat sukses dalam penanganan pandemi ada dua. Pertama belajar dari pengalaman dan kedua memberikan respons yang cepat juga tepat.
Melansir Nikkei Aisan Review, Korsel menyebut strategi yang dilakukannya sebagai TRUST yang kepanjangannya adalah Transparency, Robust Screening & Quarantine, Unique & universally Applicable Testing, Strict Control & Treatment.
Korea Selatan belajar pentingnya kesiapan dalam menangani wabah pada 2015 lalu, ketika Negeri Ginseng juga terjangkiti MERS yang juga disebabkan oleh virus corona. Satu kasus MERS yang diimpor mendorong rantai transmisi yang menginfeksi 186 dan membunuh 36 jiwa. Hampir 17.000 orang dikarantina, dan pemerintah dikritik keras karena responsnya yang lambat.
Ketika COVID-19 muncul di Tiongkok akhir tahun lalu, Korea Selatan mulai memobilisasi sumber daya untuk wabah. Negara ini mulai melakukan tes COVID-19 secara masif dan cepat.
Korsel juga menjadi pelopor tes COVID-19 melalui drive thru yang memungkinkan petugas kesehatan untuk mengambil swab untuk menguji virus tanpa orang meninggalkan mobil mereka. Sekarang strategi ini juga diikuti oleh negara-negara lain, termasuk Kanada, Jerman, dan AS.
Upaya yang dilakukan oleh Korsel ini terbilang membuahkan hasil. Kasus COVID-19 di Korea Selatan bisa ditekan di level 10 ribu. Padahal melesat tajam paling awal. Selain itu tingkat mortalitas juga termasuk rendah di bawah rata-rata global yang mencapai 6,8%.
Selain Korea Selatan, sebenarnya ada negara lain di kawasan Asia Tenggara yang juga dinilai berhasil menangani wabah yang saat ini merebak ke lebih dari 185 negara dan teritori di penjuru dunia ini. Negara tersebut adalah Vietnam.
Sudah dalam sepekan terakhir Vietnam tak melaporkan satu kasus baru COVID-19. Walau akhirnya hari ini dilaporkan ada dua kasus baru, jumlah kumulatif kasus di Vietnam tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia Tenggara lainnya.
Berdasarkan data kompilasi John Hopkins University CSSE, jumlah penderita COVID-19 di Vietnam per hari ini mencapai 270 orang saja. Namun yang lebih mengejutkan adalah korban jiwa akibat COVID-19 di negara tersebut berjumlah nol. Tidak ada yang meninggal akibat COVID-19 di Vietnam. Hebat bukan?
Lantas bagaimana sebenarnya penanganan COVID-19 di Vietnam? Mari kita runut terlebih dahulu mulai dari awal mula kasus terjadi di Vietnam.
Vietnam melaporkan dua kasus pertamanya pada 23 Januari 2020, bertepatan dengan hari di mana sebagian besar kota di Provinsi Hubei termasuk Wuhan dikarantina. The ASEAN Post melaporkan, dua orang penderita COVID-19 tersebut adalah seorang ayah dan anak yang datang dari Wuhan ke Hanoi.
Vietnam bahkan dikabarkan telah menyiapkan berbagai upaya mengantisipasi wabah itu akan muncul di negaranya jauh sebelum terkonfirmasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa saat Wuhan baru melaporkan 27 kasus, Vietnam sudah ambil ancang-ancang.
Sebuah rapat penting antara Kementerian Kesehatan Vietnam, WHO dan Center for Disease Control & Prevention (CDC) dari AS dihelat pada 15 Januari. Rapat tersebut digelar membahas strategi penanganan wabah.
Empat hari sebelum rapat itu diselenggarakan tepatnya pada 11 Januari 2020 ketika kasus kematian pertama di China dilaporkan, Vietnam bersiap siaga dengan mengetatkan pengawasan medis serta menutup seluruh perbatasan hingga bandara yang berpotensi menjadi titik penyebaran wabah.
Strategi yang paling awal dilakukan Vietnam dalam menangani wabah ini adalah dengan melakukan pelacakan kontak (contact tracing) sehingga orang yang diduga penyebar maupun yang terinfeksi bisa segera diisolasi. Menurut WHO, proses penelusuran kontak memiliki tiga langkah berikut: identifikasi kontak, daftar kontak, dan tindak lanjut kontak.
“Vietnam telah berhasil melakukan penelusuran melalui identifikasi yang cepat klasifikasi Kementerian Kesehatan yang jelas mengenai kasus COVID-19 terutama bagi yang terinfeksi, diduga terinfeksi dan yang terpapar serta mobilisasi cepat para profesional kesehatan, personel keamanan publik, militer, dan pegawai negeri sipil untuk menerapkan penelusuran, ”catat Asia Pacific Foundation of Canada dalam laporannya, mengutip The ASEAN post.
Selain itu, Vietnam juga menerapkan pengawasan ketat terhadap orang yang dicurigai terinfeksi. Dilaporkan bahwa kementerian kesehatan negara tersebut telah bekerja dengan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem pelaporan online di mana dugaan dan konfirmasi kasus COVID-19, serta orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka, dimasukkan ke dalam basis data yang tersedia secara real time kepada pemerintah di Hanoi.
Selain itu, Kementerian Informasi dan Komunikasi (MIC) Vietnam juga telah memperkenalkan aplikasi seluler bernama NCOVI untuk memungkinkan masyarakat menyatakan keadaan kesehatan mereka setiap hari.
World Economic Forum (WEF) juga memuji Vietnam atas tanggapan cepatnya dalam menangani virus corona jenis baru ini. WEF juga mencatat bahwa Vietnam menjadi negara partai tunggal, dengan layanan militer dan keamanan yang besar dan terorganisir ... telah mampu membuat keputusan dengan cepat dan tepat.
Nah sekarang sudah tahu kan, bahwa kasus di Indonesia ini harus benar-benar diwaspadai. Fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia bagaikan puncak gunung es atau 'Tip of The Iceberg'.
Kebijakan yang saat ini dilakukan yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga rasanya tidak efektif lantaran tes yang dilakukan juga masih sangat sedikit, juga masih ada ketidaksinkronan antara pusat dan daerah. Kita semua butuh penanganan yang tepat. Jangan sudah telat, penanganan tak tepat pula. Ujung-ujungnya rugi buat semuanya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Kisah Jokowi di Awal Covid: Banyak Negara Lockdown, RI Tidak
Data Kementerian Kesehatan RI menunjukkan, jumlah kasus COVID-19 di Tanah Air mencapai 8.842 orang per kemarin. Sebanyak 1.107 orang dinyatakan sembuh dan 743 orang meninggal dunia. Sementara sisanya masih dalam perawatan.
Jika dibandingkan dengan Singapura, Indonesia masih kalah jauh dari angka jumlah kasus. Sampai kemarin jumlah kasus COVID-19 di Singapura sudah mencapai angka 13.624. Namun dalam sepekan terakhir pertambahan kasus baru di Singapura cenderung menurun dari 1.000 kasus per hari menjadi 600 kasus saja.
Jika dibandingkan dengan Indonesia, pertambahan jumlah kasus per harinya masih di rentang 400-an kasus. Kalau dilihat secara sekilas seolah tampak Indonesia berhasil menekan jumlah kasus baru di level tersebut.
Namun terlalu dini untuk mengambil kesimpulan tersebut. Pasalnya tes corona yang dilakukan di dalam negeri masih tertinggal jauh dengan negara lain. Selain itu tingkat kematian akibat COVID-19 juga termasuk yang tertinggi di Asia Tenggara dan bahkan dunia.
Indonesia merupakan negara dengan populasi terbesar di kawasan Asia Tenggara dengan total penduduk mencapai 268 juta jiwa pada 2018. Dengan jumlah penduduk yang sebanyak itu, jumlah tes corona yang dilakukan di Tanah Air baru untuk 72.099 orang. Artinya per 1 juta populasi penduduk hanya 264 orang yang dites.
Angka ini jelas sangat kecil jika dibandingkan dengan Singapura yang penduduknya bahkan tak sebanyak DKI Jakarta. Dengan penduduk hanya 5,64 juta jiwa Singapura telah melakukan tes corona terhadap 121.774 orang. Artinya per 1 juta penduduk Singapura tes corona telah dilakukan terhadap 20.815 orang.
Indonesia menjadi negara di kawasan Asia Tenggara yang melakukan tes corona paling sedikit dibandingkan Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina, bahkan Vietnam. Padahal deteksi dini dan masal sangat berperan signifikan dalam meminimalisir kemungkinan semakin merebaknya wabah.
Jika orang yang terinfeksi tetapi tak menunjukkan gejala dapat dideteksi sedini mungkin. Maka masih ada kesempatan orang tersebut untuk diisolasi, sehingga hal ini dapat memutus mata rantai penyebaran virus. Strategi ini terbukti efektif di Korea Selatan sebagai negara yang jadi pionir tes corona massal.
Awalnya wabah COVID-19 merebak dengan sangat mengerikan di Korea Selatan. Pada 18 Februari 2020, kasus di Korea Selatan melonjak signifikan dan menjadi negara di luar China yang paling parah terdampak. Namun sejak 6 Maret 2020, Korsel telah berhasil mengendalikan wabah dengan jumlah kasus baru per hari di bawah 10.
Ketika episentrum penyebaran virus mulai bergeser ke Eropa dan AS dan memicu banyak negara seperti Italia, Spanyol, dan Perancis memilih lockdown, roda perekonomian Korea Selatan tetap berjalan. Korea Selatan adalah salah satu negara yang dinilai berhasil mengendalikan wabah tanpa harus mengorbankan perekonomiannya dengan signifikan seperti negara lain yang mengambil opsi lockdown.
Apa yang membuat Korea Selatan terlihat sukses dalam penanganan pandemi ada dua. Pertama belajar dari pengalaman dan kedua memberikan respons yang cepat juga tepat.
Melansir Nikkei Aisan Review, Korsel menyebut strategi yang dilakukannya sebagai TRUST yang kepanjangannya adalah Transparency, Robust Screening & Quarantine, Unique & universally Applicable Testing, Strict Control & Treatment.
Korea Selatan belajar pentingnya kesiapan dalam menangani wabah pada 2015 lalu, ketika Negeri Ginseng juga terjangkiti MERS yang juga disebabkan oleh virus corona. Satu kasus MERS yang diimpor mendorong rantai transmisi yang menginfeksi 186 dan membunuh 36 jiwa. Hampir 17.000 orang dikarantina, dan pemerintah dikritik keras karena responsnya yang lambat.
Ketika COVID-19 muncul di Tiongkok akhir tahun lalu, Korea Selatan mulai memobilisasi sumber daya untuk wabah. Negara ini mulai melakukan tes COVID-19 secara masif dan cepat.
Korsel juga menjadi pelopor tes COVID-19 melalui drive thru yang memungkinkan petugas kesehatan untuk mengambil swab untuk menguji virus tanpa orang meninggalkan mobil mereka. Sekarang strategi ini juga diikuti oleh negara-negara lain, termasuk Kanada, Jerman, dan AS.
Upaya yang dilakukan oleh Korsel ini terbilang membuahkan hasil. Kasus COVID-19 di Korea Selatan bisa ditekan di level 10 ribu. Padahal melesat tajam paling awal. Selain itu tingkat mortalitas juga termasuk rendah di bawah rata-rata global yang mencapai 6,8%.
Selain Korea Selatan, sebenarnya ada negara lain di kawasan Asia Tenggara yang juga dinilai berhasil menangani wabah yang saat ini merebak ke lebih dari 185 negara dan teritori di penjuru dunia ini. Negara tersebut adalah Vietnam.
Sudah dalam sepekan terakhir Vietnam tak melaporkan satu kasus baru COVID-19. Walau akhirnya hari ini dilaporkan ada dua kasus baru, jumlah kumulatif kasus di Vietnam tergolong sangat rendah jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia Tenggara lainnya.
Berdasarkan data kompilasi John Hopkins University CSSE, jumlah penderita COVID-19 di Vietnam per hari ini mencapai 270 orang saja. Namun yang lebih mengejutkan adalah korban jiwa akibat COVID-19 di negara tersebut berjumlah nol. Tidak ada yang meninggal akibat COVID-19 di Vietnam. Hebat bukan?
Lantas bagaimana sebenarnya penanganan COVID-19 di Vietnam? Mari kita runut terlebih dahulu mulai dari awal mula kasus terjadi di Vietnam.
Vietnam melaporkan dua kasus pertamanya pada 23 Januari 2020, bertepatan dengan hari di mana sebagian besar kota di Provinsi Hubei termasuk Wuhan dikarantina. The ASEAN Post melaporkan, dua orang penderita COVID-19 tersebut adalah seorang ayah dan anak yang datang dari Wuhan ke Hanoi.
Vietnam bahkan dikabarkan telah menyiapkan berbagai upaya mengantisipasi wabah itu akan muncul di negaranya jauh sebelum terkonfirmasi. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa saat Wuhan baru melaporkan 27 kasus, Vietnam sudah ambil ancang-ancang.
Sebuah rapat penting antara Kementerian Kesehatan Vietnam, WHO dan Center for Disease Control & Prevention (CDC) dari AS dihelat pada 15 Januari. Rapat tersebut digelar membahas strategi penanganan wabah.
Empat hari sebelum rapat itu diselenggarakan tepatnya pada 11 Januari 2020 ketika kasus kematian pertama di China dilaporkan, Vietnam bersiap siaga dengan mengetatkan pengawasan medis serta menutup seluruh perbatasan hingga bandara yang berpotensi menjadi titik penyebaran wabah.
Strategi yang paling awal dilakukan Vietnam dalam menangani wabah ini adalah dengan melakukan pelacakan kontak (contact tracing) sehingga orang yang diduga penyebar maupun yang terinfeksi bisa segera diisolasi. Menurut WHO, proses penelusuran kontak memiliki tiga langkah berikut: identifikasi kontak, daftar kontak, dan tindak lanjut kontak.
“Vietnam telah berhasil melakukan penelusuran melalui identifikasi yang cepat klasifikasi Kementerian Kesehatan yang jelas mengenai kasus COVID-19 terutama bagi yang terinfeksi, diduga terinfeksi dan yang terpapar serta mobilisasi cepat para profesional kesehatan, personel keamanan publik, militer, dan pegawai negeri sipil untuk menerapkan penelusuran, ”catat Asia Pacific Foundation of Canada dalam laporannya, mengutip The ASEAN post.
Selain itu, Vietnam juga menerapkan pengawasan ketat terhadap orang yang dicurigai terinfeksi. Dilaporkan bahwa kementerian kesehatan negara tersebut telah bekerja dengan perusahaan teknologi untuk mengembangkan sistem pelaporan online di mana dugaan dan konfirmasi kasus COVID-19, serta orang-orang yang berhubungan dekat dengan mereka, dimasukkan ke dalam basis data yang tersedia secara real time kepada pemerintah di Hanoi.
Selain itu, Kementerian Informasi dan Komunikasi (MIC) Vietnam juga telah memperkenalkan aplikasi seluler bernama NCOVI untuk memungkinkan masyarakat menyatakan keadaan kesehatan mereka setiap hari.
World Economic Forum (WEF) juga memuji Vietnam atas tanggapan cepatnya dalam menangani virus corona jenis baru ini. WEF juga mencatat bahwa Vietnam menjadi negara partai tunggal, dengan layanan militer dan keamanan yang besar dan terorganisir ... telah mampu membuat keputusan dengan cepat dan tepat.
Nah sekarang sudah tahu kan, bahwa kasus di Indonesia ini harus benar-benar diwaspadai. Fenomena yang sekarang terjadi di Indonesia bagaikan puncak gunung es atau 'Tip of The Iceberg'.
Kebijakan yang saat ini dilakukan yakni Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) juga rasanya tidak efektif lantaran tes yang dilakukan juga masih sangat sedikit, juga masih ada ketidaksinkronan antara pusat dan daerah. Kita semua butuh penanganan yang tepat. Jangan sudah telat, penanganan tak tepat pula. Ujung-ujungnya rugi buat semuanya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Kisah Jokowi di Awal Covid: Banyak Negara Lockdown, RI Tidak
Most Popular