Harga Minyak Ambrol: Industri Migas & APBN RI Megap-megap

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
20 April 2020 18:00
Mengintip Kilang Minyak
Foto: CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah terus tergerus di tengah merebaknya pandemi corona (COVID-19). Anjloknya harga minyak memiliki sederet konsekuensi bagi industri migas Tanah Air hingga APBN.

Harga minyak mentah anjlok 65% pada kuartal pertama tahun 2020. Pemicunya ada dua perkara, pertama adalah ketegangan Arab-Rusia yang memicu perang harga serta perubahan strategi untuk kembali memperebutkan pangsa pasar minyak global.

Masih jelas teringat ketika Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak dan Koleganya (OPEC+) gagal capai konsensus pemangkasan produksi di tengah pandemi pada awal Maret lalu, harga minyak anjlok lebih dari 25% dalam sehari. Ini merupakan koreksi harian terdalam sejak 1991.

Ditolaknya proposal Arab Saudi oleh Rusia terkait pemangkasan produksi tambahan 1,5 juta barel per hari (bpd) hingga akhir tahun itu membuat Arab jengkel. Karena mutung Arab ambil manuver yang membuat semua orang terkejut.

Arab berjanji bakal genjot produksi minyak ke kapasitas maksimum 12 juta bpd pada April dan bakal beri diskon 10% untuk harga minyaknya. Kondisi ini semakin membuat harga minyak diobral murah di pasar.

Padahal pandemi COVID-19 sendiri sudah mengacaukan pasar minyak. Pasar energi fosil ini porak poranda lantaran pandemi menciptakan serangkaian larangan perjalanan, anjloknya penumpang pesawat terbang hingga lockdown yang ujung-ujungnya membuat anjlok permintaan minyak. Ini jadi perkara yang membuat harga minyak bagaikan jatuh tertimpa tangga.

Bagaimana tidak? Saat pasar dirundung bencana dan prospek permintaan suram, di saat yang sama pasar justru terancam kebanjiran pasokan.

Namun ketegangan antara Arab Saudi dan Rusia tak berlangsung lama. Rasanya industri minyak global pun sudah mulai merasa tercekik oleh harga yang sangat murah. Negeri Paman Sam yang menjadi produsen minyak terbesar di dunia pun pontang-panting dibuatnya sampai Presiden AS ke-45 Donald Trump turun tangan.

Awal April lalu, Trump dikabarkan menelepon Putera Mahkota Kerajaan Arab Saudi Mohamad bin Salman (MBS) dan Presiden Rusia Vladimir Putin. Dalam sambungan telepon itu Trump meminta keduanya untuk mengakhiri perseteruan dan kembali menjaga stabilitas pasar.

Maklum tiga poros itu (AS, Arab & Rusia) adalah dedengkotnya produksi minyak mentah global. Produksi minyak mentah global mencapai 100 juta barel per hari (bpd). Sementara produksi minyak mentah mereka bertiga menyumbang 30% dari output global.

Tepat pada 9 Maret lalu OPEC sepakat pangkas 9,7 juta bpd atau hampir setara 10% output global. Namun itu baru dilakukan pada Mei dan Juni nanti. Ditambah dengan pemangkasan produksi negara lain, maka kalau ditotal bisa mencapai 20 juta bpd.

Mendengar kabar tersebut, harga minyak yang sempat melesat harus anjlok lagi. Pasar masih diliputi nada skeptis bahwa pemangkasan produksi tersebut dapat menutup anjloknya permintaan pasar yang terlampau besar.

Bahkan harga minyak mentah acuan AS, West Texas Intermediate, hari ini ambles lebih dari 15% dalam sehari ke level di bawah US$ 15/barel. Pemicunya adalah kemungkinan banjir pasokan yang terjadi di Negeri Paman Sam.



Harga minyak mentah yang terlampau murah otomatis akan memaksa pengebor memangkas produksinya lantaran mulai tidak ekonomis lagi. Industri minyak mentah global benar-benar sedang digoyang dengan adanya fenomena ini.

Industri minyak RI juga tak luput dari dampaknya. Harga minyak mentah Indonesia atau Indoenesia Crude Price (ICP) juga anjlok lebih dari 30%. Anjloknya harga minyak ICP ini membuat Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) mulai kelimpungan.

Kepala SKK Migas Dwi Soetjipto mengatakan anjloknya harga rata-rata minyak mentah Indonesia (ICP) bulan Maret berdampak pada kontraktor migas yang ramai-ramai merevisi target produksi. "Di bawah ICP US$ 35, mulai banyak yang mereschedule program pengembangan," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Senin, (06/04/2020).

Hal ini berpotensi besar menyebabkan target lifting minyak RI gagal tercapai. Hal ini dibenarkan oleh Julia Wiratno selaku Deputi Operasi Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas)

Diperkirakan lifting akan lebih rendah 5% dari target. Seperti diketahui target lifting minyak tahun ini sebesar 755 ribu barel per hari.

Artinya jika lifting hanya 95% maka capaiannya sekitar 717,2 ribu barel per hari. "Mostl ikely akan ada dampak juga terhadap lifting. Perkiraan saya sekitar kurang lebih 5% (berkurangnya)," papar Julius.



Ia juga menyebut sebanyak 14 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) bakal merevisi program kerjanya tahun ini. "Sudah ada sekitar 14 KKKS sampai minggu lalu yang review scenarionya, tapi  maaf saya nggak hafal," kata Julius  kepada CNBC Indonesia, Senin, (14/04/2020).

Dampak anjloknya harga minyak ini juga merembet ke APBN. Walaupun Indonesia adalah negara net importir minyak, anjloknya harga si emas hitam tak serta merta membawa faedah bagi Indonesia.

Lagipula nilai tukar rupiah juga ikut anjlok signifikan terhadap dolar AS. Sehingga ongkos impor yang minim pun hanya di awang-awang semata alias mustahil.



Di sisi lain amblesnya harga minyak akan membebani APBN RI. Dalam APBN 2020, pemerintah mengasumsikan rata-rata ICP dalam setahun di US$ 63/barel. ICP dekat dengan brent, sejauh ini harga rata-rata minyak jenis itu ada di US$ 50,03/barel. Ada selisih US$ 12,97/barel.



Analisis sensitivitas asumsi makro APBN 2020 menyebutkan, setiap penurunan ICP rata-rata US$ 1/barel setahun akan menurunkan pendapatan negara dalam kisaran Rp 3,6-4,2 triliun.

Belanja negara juga berkurang, tetapi lebih sedikit dari penurunan pendapatan yaitu Rp 3,1-3,9 triliun. Jadi secara neto ada defisit Rp 0,3-0,5 triliun. Bagi APBN, penurunan harga minyak lebih menjadi mudarat ketimbang manfaat.

Jelas dengan kondisi seperti ini asumsi makro dan APBN 2020 diubah oleh pemerintah untuk menyesuaikan dengan kondisi terkini. Dengan begitu, berbagai dampak negatif (seperti penurunan harga minyak) bisa dimitigasi.

Kini nasib industri migas RI memang sedang mengalami ujian berat. Mau bagaimana lagi, malapetaka yang dibawa pandemi COVID-19 tak satu pun orang bisa meramalkan kedatangannya. Sekarang yang bisa dilakukan adalah berusaha semaksimal mungkin untuk menangani wabah serta berdoa agar semua ini cepat berakhir. Amin….






TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Pertemuan Virtual OPEC+ Ditunda, Harga Minyak Ambyar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular