
Tetap Tegar, Bos Pertamina Curhat Bisnis Terkoyak Corona
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
17 April 2020 14:06

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Pertamina (Persero) sedang tidak baik-baik saja, dampak dari pandemi corona (Covid-19) membuat bisnisnya terkoyak-koyak. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati dihadapan Komisi VI DPR RI menyampaikan bagaimana dampak Covid-19 bagi Pertamina.
Nicke menyebut penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina Maret ini sudah anjlok 34,6% dampak dari Covid-19. Bahkan Nicke menyebut ini penjualan terendah sepanjang sejarah. Penurunan konsumsi ini karena pemerintah menerapkan kebijakan work from home (WFH) sehingga konsumsi BBM turun.
"Ini penjualan terendah sepanjag sejarah Pertamina," curhat Nicke dalam saat rapat, Kamis, (16/04/2020).
Lesunya penjualan, ternyata juga menyasar bisnis hulu. Harga minyak terus terusan merosot, sehingga Pertamina perlu melakukan efisiensi di beberapa proyek hulu, apalagi perusahaan juga memangkas belanja modalnya. Eksplorasi untuk sumur baru dilakukan penundaan, langkah ini diambil untuk menurunkan biaya investasi, sehingga produksi bisa tercapai sesuai target.
"Inisiatif di pengolahan kami turunkan kapasitas operasi," papar Nicke.
Anjloknya konsumsi ini juga membuat Pertamina turunkan kapasitas kilang. Nicke mencontohkan mulai April ini secara bertahap kilang Balikpapan akan dilakukan penyetopan baik untuk unit 1 dan unit 2. "Di awal Mei semua kilang Balikpapan stop," tegasnya.
Momen ini akan dimanfaatkan untuk pemeliharaan kilang. Demi efisiensi perlu dilakukan perencanaan dan pengelolaan crude, pihaknya akan memaksimalkan storage yang ada. "Kalau tetap serap ini berat, crude impor murah saat tepat meningkatkan stok untuk turunkan HPP," tuturnya.
Dampak Covid-19 juga menyebabkan BBM solar dan avtur penjualannya anjlok. Bahkan untuk avtur stoknya cukup untuk 119 hari, di mana angka penurunannya mencapai 60%. Nicke menyebut ada peluang untuk melakukan ekspor pada komoditas ini.
"Untuk tambah revenue dan juga mengurangi stok yang ada di perusahaan," jelasnya.
Nicke menerangkan sudah punya sekenario menghadapi anjloknya harga minyak ini. Pertama skenario berat dengan asumsi Harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) US$ 38 per barel. Dengan nilai tukar Rp 17.500. Pendapatan perusahaan akan ikut amblas sampai ke posisi 38%.
"Dari skenario berat ini, penurunan pendapatan perusahaan jika dibandigkan RKAP itu 38%.
Simulasi sudah kami lakukan, jadi ada dua skenario sesuai dengan skenario yang ditetapkan pemerintah."
Skenario sangat berat dengan asumsi ICP sebesar US$ 31 per barel dan nilai tukar sebesar Rp 20.000. Dengan skenario ini maka pendapatan perusahaan diprediksi
sangat anjlok bahkan mencapai 45%.
"Karena penurunan ICP sangat berdampak dengan bisnis hulu Pertamina, jadi luar biasa di atas 40%," tegas Nicke.
Sebagai infromasi, ICP bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel. Atau anjlok US$ 22,38 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61per barel. Penurunan besar-besaran juga dialami ICP SLC sebesar US$ 21,40 per barel dari US$ 57,18 per barel pada Februari 2020 menjadi US$ 35,78 per barel pada Maret 2020.
(gus) Next Article Pertamina: Jika Elpiji 3 KG Harganya Naik Itu Wajar
Nicke menyebut penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamina Maret ini sudah anjlok 34,6% dampak dari Covid-19. Bahkan Nicke menyebut ini penjualan terendah sepanjang sejarah. Penurunan konsumsi ini karena pemerintah menerapkan kebijakan work from home (WFH) sehingga konsumsi BBM turun.
"Ini penjualan terendah sepanjag sejarah Pertamina," curhat Nicke dalam saat rapat, Kamis, (16/04/2020).
"Inisiatif di pengolahan kami turunkan kapasitas operasi," papar Nicke.
Anjloknya konsumsi ini juga membuat Pertamina turunkan kapasitas kilang. Nicke mencontohkan mulai April ini secara bertahap kilang Balikpapan akan dilakukan penyetopan baik untuk unit 1 dan unit 2. "Di awal Mei semua kilang Balikpapan stop," tegasnya.
Momen ini akan dimanfaatkan untuk pemeliharaan kilang. Demi efisiensi perlu dilakukan perencanaan dan pengelolaan crude, pihaknya akan memaksimalkan storage yang ada. "Kalau tetap serap ini berat, crude impor murah saat tepat meningkatkan stok untuk turunkan HPP," tuturnya.
Dampak Covid-19 juga menyebabkan BBM solar dan avtur penjualannya anjlok. Bahkan untuk avtur stoknya cukup untuk 119 hari, di mana angka penurunannya mencapai 60%. Nicke menyebut ada peluang untuk melakukan ekspor pada komoditas ini.
"Untuk tambah revenue dan juga mengurangi stok yang ada di perusahaan," jelasnya.
Nicke menerangkan sudah punya sekenario menghadapi anjloknya harga minyak ini. Pertama skenario berat dengan asumsi Harga rata-rata minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP) US$ 38 per barel. Dengan nilai tukar Rp 17.500. Pendapatan perusahaan akan ikut amblas sampai ke posisi 38%.
"Dari skenario berat ini, penurunan pendapatan perusahaan jika dibandigkan RKAP itu 38%.
Simulasi sudah kami lakukan, jadi ada dua skenario sesuai dengan skenario yang ditetapkan pemerintah."
Skenario sangat berat dengan asumsi ICP sebesar US$ 31 per barel dan nilai tukar sebesar Rp 20.000. Dengan skenario ini maka pendapatan perusahaan diprediksi
sangat anjlok bahkan mencapai 45%.
"Karena penurunan ICP sangat berdampak dengan bisnis hulu Pertamina, jadi luar biasa di atas 40%," tegas Nicke.
Sebagai infromasi, ICP bulan Maret terjun bebas 39,5% menjadi US$ 34,23 per barel. Atau anjlok US$ 22,38 per barel dibandingkan bulan sebelumnya US$ 56,61per barel. Penurunan besar-besaran juga dialami ICP SLC sebesar US$ 21,40 per barel dari US$ 57,18 per barel pada Februari 2020 menjadi US$ 35,78 per barel pada Maret 2020.
(gus) Next Article Pertamina: Jika Elpiji 3 KG Harganya Naik Itu Wajar
Most Popular