
Harga Minyak & Corona Bikin Industri Migas RI Was-was
Anisatul Umah, CNBC Indonesia
27 March 2020 18:49

Jakarta, CNBC Indonesia - Anjloknya harga minyak berdampak pada semua sektor, salah satunya migas. Wakil Kepala Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Fataryani Abdurrahman mengatakan pihaknya terus memantau perkembangan harga minyak dunia.
Berdasarkan hasil pemantauan hingga kini menurutnya belum perlu ada revisi target lifting tahun 2020. Namun, SKK Migas meminta agar kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) melakukan efisiensi kegiatan produksi.
"KKKS perlu melakukan upaya efisiensi di mana biaya yang dikeluarkan hanya untuk yang esensial untuk produksi saja. Ada beberapa KKKS sudah mulai sounding yang terkait dengan development saja. Namun masih kita bahas bersama," ungkapnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat, (27/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan ada beberapa proyek yang melambat, namun belum bisa dipastikan dampaknya pada target produksi minyak 1 juta barel per hari 2030 mendatang. "Kita lagi melihat lagi progress proyek yang akan onstream seberapa jauh bisa mundur. Yang eksplorasi belum ada yang minta mundur," imbuhnya.
Di tengah harga minyak yang rendah ini, Fataryani menyebut belum ada rencana untuk melakukan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Meski demikian kajian terus dilakukan dari waktu ke waktu.
"Kalau masih positif profitnya ya tidak merugi. Kalau sudah negatif pasti segera kami bahas. Sementara ini masih positif walaupun kecil sekali," terangnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong mengatakan anjloknya harga minyak ini berdampak pengusaha migas. Mereka lebih berhati-hati dalam berivestasi di hulu.
"Saat ini terutama karena harga minyak yang sedang rendah maka pada umumnya perusahaan perusahaan sedang mempertimbangkan kembali rencana investasinya dengan hati-hati," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat, (27/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan, di tengah wabah corona (Covid-19) semua perusahaan tetap menjalankan kegiatan operasional. Seraya menyesuaikan dengan cara yang paling aman, agar terhindar dari penyakit saat menjalankan tugasnya.
"Jadi yang bisa dikerjakan dari rumah ya dikerjakan di rumah, sedangkan di daerah operasi yang harus ada petugasnya maka hanya petugas yang penting untuk tetap di lapangan operasi ya tetap di lapangan," terangnya.
Sementara Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan anjloknya harga minyak berdampak pada iklim investasi yang semakin tidak mudah. Perlu ada paradigma kebijakan hulu yang perlu dirubah, bukan lagi memprioritaskan penerimaan negara.
"Pemerintah tidak perlu lagi mengambil porsi penerimaan negara yang terlalu besar dari migas di hulu. Tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana hulu tetap dapat menarik investasi, karena dari investasi itulah perekonomian akan berputar," ungkapnya saat dihubungi, Jumat, (27/03/2020).
Dirinya menyebut investasi di hulu migas dampaknya multiplier. Ada yang langsung berdampak pada neraca perdagangan nasional, ini yang perlu menjadi paradigma baru. Apalagi di tengah harga minyak yang rendah seperti sekarang ini.
"Jadi, mesti sediakan dan tawarkan berbagai insentif untuk hulu, baik fiskal maupun non fiskal," ungkapnya.
(gus) Next Article Dwi Soetjipto & Nasib Investasi Asing di Proyek Migas RI
Berdasarkan hasil pemantauan hingga kini menurutnya belum perlu ada revisi target lifting tahun 2020. Namun, SKK Migas meminta agar kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) melakukan efisiensi kegiatan produksi.
"KKKS perlu melakukan upaya efisiensi di mana biaya yang dikeluarkan hanya untuk yang esensial untuk produksi saja. Ada beberapa KKKS sudah mulai sounding yang terkait dengan development saja. Namun masih kita bahas bersama," ungkapnya saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat, (27/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan ada beberapa proyek yang melambat, namun belum bisa dipastikan dampaknya pada target produksi minyak 1 juta barel per hari 2030 mendatang. "Kita lagi melihat lagi progress proyek yang akan onstream seberapa jauh bisa mundur. Yang eksplorasi belum ada yang minta mundur," imbuhnya.
"Kalau masih positif profitnya ya tidak merugi. Kalau sudah negatif pasti segera kami bahas. Sementara ini masih positif walaupun kecil sekali," terangnya.
Direktur Eksekutif Indonesian Petroleum Association (IPA) Marjolin Wajong mengatakan anjloknya harga minyak ini berdampak pengusaha migas. Mereka lebih berhati-hati dalam berivestasi di hulu.
"Saat ini terutama karena harga minyak yang sedang rendah maka pada umumnya perusahaan perusahaan sedang mempertimbangkan kembali rencana investasinya dengan hati-hati," ungkapnya kepada CNBC Indonesia, Jumat, (27/03/2020).
Lebih lanjut dirinya mengatakan, di tengah wabah corona (Covid-19) semua perusahaan tetap menjalankan kegiatan operasional. Seraya menyesuaikan dengan cara yang paling aman, agar terhindar dari penyakit saat menjalankan tugasnya.
"Jadi yang bisa dikerjakan dari rumah ya dikerjakan di rumah, sedangkan di daerah operasi yang harus ada petugasnya maka hanya petugas yang penting untuk tetap di lapangan operasi ya tetap di lapangan," terangnya.
Sementara Pengamat Migas dari Universitas Trisakti Pri Agung Rakhmanto mengatakan anjloknya harga minyak berdampak pada iklim investasi yang semakin tidak mudah. Perlu ada paradigma kebijakan hulu yang perlu dirubah, bukan lagi memprioritaskan penerimaan negara.
"Pemerintah tidak perlu lagi mengambil porsi penerimaan negara yang terlalu besar dari migas di hulu. Tetapi lebih penting dari itu adalah bagaimana hulu tetap dapat menarik investasi, karena dari investasi itulah perekonomian akan berputar," ungkapnya saat dihubungi, Jumat, (27/03/2020).
Dirinya menyebut investasi di hulu migas dampaknya multiplier. Ada yang langsung berdampak pada neraca perdagangan nasional, ini yang perlu menjadi paradigma baru. Apalagi di tengah harga minyak yang rendah seperti sekarang ini.
"Jadi, mesti sediakan dan tawarkan berbagai insentif untuk hulu, baik fiskal maupun non fiskal," ungkapnya.
(gus) Next Article Dwi Soetjipto & Nasib Investasi Asing di Proyek Migas RI
Most Popular