
Mei Sudah Kemarau di RI, Penyebaran Virus Corona Bakal Turun?
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
27 March 2020 12:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Jumlah orang yang positif terinfeksi virus corona (COVID-19) terus bertambah, baik di luar maupun dalam negeri. Jumlah yang terus bertambah dengan signifikan tentu membuat semua orang bertanya, kapan semua derita ini akan berakhir.
Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah kasus COVID-19 di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 531.000 orang di hampir semua negara di dunia. Wabah COVID-19 diyakini berasal dari pasar seafood Huanan di Wuhan China karena kasus pneumonia misterius dalam jumlah banyak pertama kali dilaporkan di sana.
Banyak juga yang berspekulasi bahwa virus ini merupakan virus buatan manusia yang digunakan sebagai senjata biologis. Namun penelitian yang dilakukan oleh Kristian G Andersen dkk dan dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature membantahnya.
Dalam publikasinya tersebut, Andersen dkk menjelaskan tidak ada bukti yang mengarah ke arah sana (virus buatan) jika menggunakan pendekatan secara genetika. Andersen dkk justru menyajikan skenario bagaimana virus baru ini berasal.
Dalam publikasinya, Andersen dkk mengajukan dua skenario bagaimana virus ini berasal. Pertama adalah akibat seleksi alam di dalam inangnya yaitu di hewan seperti kelelawar. Kedua adalah seleksi alam ketika sudah terjadi transmisi virus dari hewan ke manusia (zoonosis).
Untuk mengetahui dari mana sebenarnya virus ini berasal masih membutuhkan banyak penelitian lanjutan. Namun dari studi yang sudah dilakukan virus corona baru atau yang juga dikenal dengan nama SARS-CoV-2 ini punya kedekatan genetik dengan virus corona yang menginfeksi kelelawar dan penyebab SARS 2002 silam.
Walaupun virus bukanlah makhluk hidup, tetapi kemampuan virus untuk bisa menginfeksi inangnya sangat tergantung dari faktor lingkungan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chan dkk (2011), kemampuan virus corona penyebab wabah SARS dalam menginfeksi inang tergantung pada temperatur dan kelembaban relatif.
Dalam kondisi ruangan ber-AC di mana suhu berada di kisaran 20-25 derajat selsius dan tingkat kelembaban relatifnya berada di rentang 40-50%, virus corona mampu bertahan hingga 5 hari pada permukaan yang bertekstur lembut.
Namun jika suhu udara dan kelembaban relatif meningkat dengan drastis, kemampuan virus untuk bertahan langsung turun signifikan. Oleh karena itu ini dapat menjelaskan mengapa SARS bisa merebak di Hong Kong dan China yang beriklim subtropis.
Pada November dan Desember, China memasuki periode musim dingin. Sehingga hal ini bisa menjelaskan kenapa wabah SARS bisa terjadi pada November 2002 dan COVID-19 mulai terjadi pada Desember 2019.
Temperatur udara yang dingin sdangat mendukung kemampuan virus untuk bertahan. Fakta lain yang disebutkan oleh Zhing Sun dalam kajiannya adalah, ketika wabah SARS dan COVID-19 mulai terjadi kala itu China selain dilanda musim dingin juga dilanda kekeringan.
Curah hujan di Foshan Guangdong China saat wabah SARS mulai terjadi pada Desember 2002 sangat rendah yaitu 0 mm. Selain itu kondisi kekeringan juga terjadi di Wuhan pada Desember tahun lalu. Hal ini terlihat dari curah hujan yang hanya 5 mm.
Data kompilasi John Hopkins University CSSE menunjukkan jumlah kasus COVID-19 di seluruh dunia sudah mencapai lebih dari 531.000 orang di hampir semua negara di dunia. Wabah COVID-19 diyakini berasal dari pasar seafood Huanan di Wuhan China karena kasus pneumonia misterius dalam jumlah banyak pertama kali dilaporkan di sana.
Banyak juga yang berspekulasi bahwa virus ini merupakan virus buatan manusia yang digunakan sebagai senjata biologis. Namun penelitian yang dilakukan oleh Kristian G Andersen dkk dan dipublikasikan di jurnal ilmiah Nature membantahnya.
Dalam publikasinya, Andersen dkk mengajukan dua skenario bagaimana virus ini berasal. Pertama adalah akibat seleksi alam di dalam inangnya yaitu di hewan seperti kelelawar. Kedua adalah seleksi alam ketika sudah terjadi transmisi virus dari hewan ke manusia (zoonosis).
Untuk mengetahui dari mana sebenarnya virus ini berasal masih membutuhkan banyak penelitian lanjutan. Namun dari studi yang sudah dilakukan virus corona baru atau yang juga dikenal dengan nama SARS-CoV-2 ini punya kedekatan genetik dengan virus corona yang menginfeksi kelelawar dan penyebab SARS 2002 silam.
Walaupun virus bukanlah makhluk hidup, tetapi kemampuan virus untuk bisa menginfeksi inangnya sangat tergantung dari faktor lingkungan. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Chan dkk (2011), kemampuan virus corona penyebab wabah SARS dalam menginfeksi inang tergantung pada temperatur dan kelembaban relatif.
Dalam kondisi ruangan ber-AC di mana suhu berada di kisaran 20-25 derajat selsius dan tingkat kelembaban relatifnya berada di rentang 40-50%, virus corona mampu bertahan hingga 5 hari pada permukaan yang bertekstur lembut.
Namun jika suhu udara dan kelembaban relatif meningkat dengan drastis, kemampuan virus untuk bertahan langsung turun signifikan. Oleh karena itu ini dapat menjelaskan mengapa SARS bisa merebak di Hong Kong dan China yang beriklim subtropis.
Pada November dan Desember, China memasuki periode musim dingin. Sehingga hal ini bisa menjelaskan kenapa wabah SARS bisa terjadi pada November 2002 dan COVID-19 mulai terjadi pada Desember 2019.
Temperatur udara yang dingin sdangat mendukung kemampuan virus untuk bertahan. Fakta lain yang disebutkan oleh Zhing Sun dalam kajiannya adalah, ketika wabah SARS dan COVID-19 mulai terjadi kala itu China selain dilanda musim dingin juga dilanda kekeringan.
Curah hujan di Foshan Guangdong China saat wabah SARS mulai terjadi pada Desember 2002 sangat rendah yaitu 0 mm. Selain itu kondisi kekeringan juga terjadi di Wuhan pada Desember tahun lalu. Hal ini terlihat dari curah hujan yang hanya 5 mm.
Next Page
Benarkah Bisa Berakhir Segera?
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular