Ngerinya Ramalan S&P Soal Corona ke Ekonomi, RI Bisa Selamat?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
08 March 2020 11:54
Ngerinya Ramalan S&P Soal Corona ke Ekonomi, RI Bisa Selamat?
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Lembaga pemeringkat global S&P memberikan ramalan mengerikan soal dampak virus corona bagi perekonomian Asia Pasifik. Indonesia yang juga kena dampaknya bersiap untuk ambil langkah penyelamatan diri. Mampukah?

S&P Global dalam sebuah laporannya dipublikasikan pada Jumat (6/3/2020) menuliskan virus corona dapat menimbulkan kerugian pada perekonomian Asia Pasifik sebesar US$ 211 miliar atau setara dengan lebih dari seperlima output perekonomian RI dalam setahun.

Australia, Hong Kong, Singapura, Jepang, Korea Selatan dan Thailand diprediksi terancam terseret ke dalam jurang resesi, menurut S&P. Lembaga tersebut juga merevisi turun perkiraan pertumbuhan ekonomi China untuk 2020 dari 5,7% menjadi 4,8%.

Virus corona yang awalnya merebak di Wuhan kini telah menjangkiti lebih dari 100 negara. Sebanyak lebih dari 100.000 orang di dunia dinyatakan positif terinfeksi virus ganas ini. Jumlah kasus baru yang dilaporkan di China memang menurun. Namun lonjakan kasus justru terjadi di Korea Selatan, Italia dan Iran.



Semakin meluasnya wabah corona ke berbagai belahan dunia menjadi ancaman serius bagi perekonomian global. "Penyebaran COVID-19 yang semakin meluas akan memperlama periode jatuhnya perekonomian Asia Pasifik" kata S&P dalam laporannya tersebut mengutip CNBC Internasional.

"Kerugian yang diderita akan dirasakan oleh berbagai pihak mulai dari rumah tangga, perusahaan, perbankan hingga pemerintah. Beberapa aktivitas ekonomi terutama pada sektor jasa akan terdampak sangat signifikan" tambahnya.

Negara yang perekonomiannya akan sangat terkena imbasnya adalah Hong Kong, Singapura, Thailand dan Vietnam mengingat sektor pariwisata menyumbang hampir 10% dari Produk Domestik Bruto (PDB) negara tersebut. "Pelancong dari China berkontribusi besar terhadap total turis asing di negara tersebut" terang S&P Global.

Masalahnya virus ini pertama kali menyerang China yang notabene merupakan negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia dan juga sebagai negara yang menyandang status "global manufacturing hub".

Walau per lahan-lahan orang-orang China mulai kembali bekerja, tetapi aktivitas produksi yang delay akibat libur tahun imlek yang diperpanjang membuat aktivitas produksi terhambat dan rantai pasok global terganggu.

Sementara itu, permintaan di berbagai negara juga ikut terpukul dengan wabah corona ini. orang-orang lebih memilih tinggal di rumah dan membatalkan rencana liburan mereka membuat potensi kerugian industri maskapai penerbangan global sebesar US$ 113 miliar.

S&P Global memperkirakan perekonomian akan kembali bergairah di akhir tahun 2021 jika virus corona mulai dapat ditangani pada kuartal kedua tahun ini.



[Gambas:Video CNBC]



Bagaimanapun juga wabah corona yang sekarang ini menjangkiti dunia berbeda dengan krisis pada 2008 silam. Kalau pada 2008 adalah fenomena di industri keuangan yang merembet ke sektor riil, kalau virus corona adalah fenomena lapangan (sektor riil) yang merembet ke sektor keuangan.

Corona yang ganas telah membuat investor lari kocar-kacir dari pasar saham global. Pasar ekuitas global bergerak sangat ‘liar’ atau dengan volatilitasnya yang sangat tinggi. Hal ini tercermin dari indeks volatilitas (VIX) keluaran Chicago Board Options Exchange yang berada di level tertingginya dalam lima tahun.



Kondisi ini membuat investor panik dan membuat pasar saham global mendapat tekanan hebat. Kalau dihitung sejak awal tahun kinerja bursa saham global masih mencatatkan pelemahan.



Saat kondisi seperti ini aset-aset minim risiko (safe haven) seperti emas dan obligasi pemerintah AS yang bertenor 10 tahun menjadi diburu.

Hal tercermin dari Imbal hasil (yield) surat utang AS bertenor 10 tahun yang berada di level terendahnya dalam sejarah. Yield obligasi pemerintah AS untuk tenor 10 tahun berada di level 0,7070% pada Jumat (6/3/2020).




Sementara itu harga emas kembali melambung dan mencetak rekor tertingginya dalam tujuh tahun. Pada penutupan perdagangan pasar spot Jumat (6/3/2020) harga emas di tutup di level US$ 1.673/troy ons.

Virus corona juga sudah masuk ke Indonesia. Sampai hari ini ada 4 orang Indonesia yang dilaporkan positif terinfeksi virus corona yang sekarang mendapat penanganan intensif di RSPI Sulianti Saroso.

Merespons ketakutan global ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga memberikan komentar. Menurutnya fenomena wabah corona ini lebih rumit dari krisis yang terjadi pada 2008 silam akibat sub-prime mortgage.

"Lebih rumit yang ini (ketimbang krisis 2008-2009) karena ini menyangkut manusia, harus memberikan ketenangan dulu apa yang disebut dengan ancaman atau risiko terhadap mereka. Keselamatan, kesehatan, sampai pada kemungkinan terancam meninggal dunia. Itu yang jauh lebih langsung. Kalau dulu kan melalui lembaga keuangan, korporasi jatuh, PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) paling," papar ex direktur pelaksana Bank Dunia tersebut.

Pemerintah pun tak tinggal diam. Bersama dengan Bank Indonesia, bauran kebijakan fiskal dan moneter disiapkan demi meredam dampak dari virus corona ini.

Melalui Rapat Dewan Gubernur yang berlangsung pada 20-21 Februari lalu, Perry Warjiyo dan sejawat memutuskan untuk memangkas suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) sebesar 25 bps ke level 4,75%. Bank Indonesia juga melonggarkan Giro Wajib Minimum (GWM) baik untuk rupiah maupun valas agar likuiditas perbankan tetap terjaga.

Sementara dari sisi lain pemerintah tengah mempersiapkan berbagai stimulus mulai dari memberikan diskon tiket pesawat hingga 50% untuk tiga bulan ke depan penerbangan domestik, menggenjot penyaluran kartu pra kerja dan kartu sembako, sampai mengalokasikan dana tambahan sebesar Rp 1,5 triliun untuk menambah kuota rumah bersubsidi.

Walau peredam sudah disiapkan, tetapi bursa saham tanah air masih terus mengalami tekanan. Terhitung sejak awal tahun, IHSG telah anjlok 12,72% (ytd) dengan asing masih mencatatkan aksi jual bersih sebesar Rp 6,48 triliun (ytd).

Untuk mengurangi tekanan yang dialami dan volatilitas yang tinggi di pasar saham tanah air, otoritas bursa akhirnya memutuskan untuk menghentikan transaksi short selling di tengah kondisi kepanikan seperti sekarang ini.

Sampai saat ini belum ada yang bisa memastikan kapan wabah virus ini berakhir. Walau jumlah orang yang berhasil sembuh (>58.000 orang) jauh melebihi orang yang meninggal (>3.500 orang) tetapi lonjakan kasus baru dilaporkan setiap harinya.

Terkait apakah ekonomi RI dan pasar keuangan domestik bisa selamat atau tidak tentu harus melihat banyak faktor seperti sampai kapan wabah ini akan menjangkiti dunia, seperti apa langkah atau respons serta koordinasi negara-negara di dunia dalam melawan virus corona baik dari segi sistem kesehatan hingga stimulus fiskal maupun moneter.

Jika virus ini dapat segera dijinakkan, maka ada kemungkinan ekonomi akan rebound dalam periode yang cepat dan membentuk kurva V (V-shaped curve). Namun jika kondisi yang sebaliknya terjadi (amit-amit), maka perekonomian akan pulih dalam periode yang lebih lama.

Bagaimanapun juga negara-negara yang kini terjangkit virus corona merupakan negara yang erat hubungan ekonominya dengan Indonesia. Ekonomi China yang diramal tumbuh terendah dalam sejarah menjadi momok yang menakutkan bagi perekonomian RI.

Pasalnya jika perekonomian China terdampak 1 poin persentase (pp) saja, maka pertumbuhan ekonomi RI bisa terdampak sebesar 0,3-0,6 pp.






TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Sssttt, Ada yang Kasih Warning ke RI Soal Utang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular