Internasional

Kredibilitas Laporan Corona China Diragukan, Ini Alasannya!

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
27 February 2020 14:39
Laporan China mengenai jumlah pasti korban terinfeksi dan tewas akibat virus corona (COVID-19) diragukan banyak pihak.
Foto: Presiden Xi Jinping. (Pang Xinglei/Xinhua via AP)

Jakarta, CNBC Indonesia - Laporan China mengenai jumlah pasti korban terinfeksi dan tewas akibat virus corona (COVID-19) diragukan banyak pihak.

Ini terjadi lantaran negara itu telah membuat beberapa perubahan dalam cara perhitungannya, yang mana jumlahnya pernah turun tajam dan juga meningkat secara drastis pada saat setelah perubahan dilakukan.

Sebagaimana yang terjadi pada awal Februari, saat China mengubah cara hitungnya, kasus infeksi di negara itu dilaporkan bertambah 19.000 lebih dalam 24 jam.

Sementara itu dalam beberapa hari lainnya jumlah kasus yang dikonfirmasi stagnan hanya sekitar empat ratusan sehari.

Keraguan ini juga telah disampaikan secara langsung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Para peneliti independen lembaga yang berbasis di Jenewa, Swiss itu mengatakan benar bahwa wabah virus memuncak dan sempat stagnan antara 23 Januari hingga 2 Februari.

Namun mereka ragu tentang keandalan data China dan mempertanyakan apakah angka puncak penyebaran itu valid.

Menurut CNBC International, Komisi Kesehatan Nasional China telah merevisi pedoman nasional untuk merespons wabah COVID-19 setidaknya enam kali sejak 22 Januari.

Dua dari perubahan itu dilakukan setelah 12 Februari. Hal ini telah secara substansial mengubah jumlah kenaikan dan penurunan kasus harian yang dilaporkan.

"Ketika wabah pertama kali muncul di Wuhan Desember lalu, sistem China melaporkan kasus-kasus baru cukup terus terang," tulis media ini.

"Ada kasus yang dikonfirmasi laboratorium, yang telah diverifikasi dengan salah satu tes asam nukleat resmi pemerintah, dan ada beberapa kasus yang dicurigai, termasuk mereka yang menunjukkan gejala tetapi belum dites positif."

China juga sempat melaporkan adanya kesalahan pelaporan pada 14 Februari lalu. Itu terjadi setelah Komisi Kesehatan Nasional China diam-diam membuat perubahan cara perhitungan, mengkategorikan kembali pasien yang menunjukkan gejala dari hasil scan dada, sebagai "kasus yang dikonfirmasi" di 12 Februari.

Pada 14 Februari, China menghapus 108 angka kematian dari jumlah totalnya karena ada beberapa pasien yang didata dua kali di provinsi Hubei.

"Total kasus China melonjak lebih dari 19.000 kasus, dari 51.174 pada 16 Februari menjadi 70.635 pada hari berikutnya," tulis data WHO.

Menanggapi perubahan-perubahan ini, Dr. Eric Feigl-Ding, seorang ekonom kesehatan global di Harvard Chan School of Public Health, mengatakan setuju bahwa revisi yang sering dilakukan China ini membawa kerugian bagi negara itu sendiri.

"Tidak apa-apa untuk beralih sistem sekali, seperti minggu lalu, tetapi sekarang untuk beralih kembali dan kemudian beralih lagi, itu membuat perbandingan sangat sulit," katanya.

"Menjadi konsisten sangat penting. Sebagai perbandingan, Anda ingin perbandingan apel dengan apel sebanyak mungkin. Di sini, ada banyak apel dan jeruk."

Namun demikian, Feigl-Ding mengatakan dia tidak yakin langkah yang diambil China bertujuan untuk memanipulasi data seperti yang dituduhkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat (AS).

Sebagaimana dilaporkan CNBC International pekan lalu, seorang pejabat senior AS mengatakan Gedung Putih tidak memiliki kepercayaan tinggi pada informasi yang keluar dari China mengenai jumlah kasus virus corona.

Sebagai tanggapan, Feigl-Ding mengatakan ini hal wajar mengingat perubahan-perubahan yang banyak dilakukan China.

"Kebingungan semacam ini menimbulkan ketidakpercayaan," katanya. "Anda harus tetap berpegang pada standar bahkan jika Anda diperingatkan."

[Gambas:Video CNBC]









(sef/sef) Next Article Kenali Ciri & Gejala Virus Corona, Ini Penjelasan IDI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular