
Pak Jokowi! Pantas Ekonomi RI Lesu, Sektor 'Seksi' Lesu Darah
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
12 February 2020 09:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi RI sepanjang 2019 bisa dibilang mengecewakan. Loyonya sektor yang berkontribusi besar menyusun PDB Indonesia membuat kinerja perekonomian dalam negeri jauh panggang dari api.
Tahun 2019 pemerintah menargetkan angka pertumbuhan ekonomi setahun penuh di rentang 5,1% - 5,3%. Sementara capaiannya hanya 5,02%. Miris memang. Sejak kuartal pertama saja angka pertumbuhan ekonomi sudah berada di batas bawah 5%.
Kuartal pertama, ekonomi RI tumbuh 5,07% (yoy). Kemudian melambat di kuartal kedua menjadi 5,05% (yoy). Tak sampai di situ angka pertumbuhan ekonomi kembali melambat menjadi 5,02%. Paling miris di kuartal empat, PDB RI tumbuh di bawah 5%, tepatnya di angka 4,97%.
Kalau dilihat lebih jauh, kinerja setiap lapangan usaha yang kontribusinya besar terhadap perekonomian juga bisa dibilang lesu. Seolah terkena 'anemia' sektor industri, perdagangan, pertanian, konstruksi dan pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan dibanding tahun sebelumnya. Padahal kelima lapangan usaha tersebut secara struktural menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia.
Untuk sektor industri yang sumbangsihnya hampir 20% terhadap PDB 2019 hanya mampu tumbuh 3,8% (yoy) melambat dibanding tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 4,27% (yoy).
Sektor manufaktur dalam negeri memang sempat mengalami kontraksi, tercermin dari angka PMI Manufaktur versi IHS Markit yang berada di bawah 50 sejak Juli 2019 hingga Januari 2020.
Gejolak perang dagang antara dua raksasa perekonomian dunia yaitu AS dan China membuat rantai pasok global terganggu. Dua negara saling hambat perdagangan dengan mengenakan bea masuk.
AS mengenakan bea masuk terhadap produk China senilai US$ 360 miliar, sebagai balasannya China juga mengenakan tarif masuk untuk berbagai produk asal AS senilai US$ 110 miliar.
Aksi saling hambat tersebut membuat aktivitas ekspor-impor terganggu. Volume perdagangan global pun terkontraksi. Nasib sama juga terjadi pada aliran investasi. Akibatnya dunia usaha yang biasanya ekspansif menjadi tertekan. Dampak ini juga dirasakan oleh Indonesia.
"Perlambatan manufaktur Indonesia masih berlanjut pada awal tahun. Permintaan yang lemah membuat penjualan menurun, kemudian menyebabkan kapasitas produksi menjadi tidak optimal.
Akibatnya, dunia usaha terbebani untuk merekrut karyawan baru. Penurunan penjualan membuat dunia usaha menahan pembelian bahan baku dan menumpuk stok.
Dunia usaha terpaksa menggunakan pemesanan sebelumnya untuk mempertahankan produksi," jelas Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Selain sektor industri, sektor yang kontribusinya terhadap PDB besar yaitu perdagangan juga mengalami perlambatan pertumbuhan. Pada 2018, sektor ini mampu tumbuh 4,97% (yoy), tetapi tahun lalu sektor ini cuma mampu tumbuh 4,62% (yoy).
Ada salah satu indikator yang dapat mencerminkan perlambatan pertumbuhan sektor ini yaitu penjualan ritel. Menurut data Survei Konsumen Bank Indonesia, penjualan ritel tanah air anjlok dan mengalami kontraksi pada Juni tahun 2019.
Setalah itu penjualan ritel kembali tumbuh. Namun pertumbuhannya minimalis kurang dari 4%. Bahkan momen libur natal dan tahun baru yang biasanya mendongkrak penjualan ritel malah mengalami kontraksi 0,5%.
Beralih ke sektor pertanian. Sektor primer yang menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja ini juga bisa dibilang tak menggairahkan. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor ini terus menerus tumbuh di bawah angka pertumbuhan sektor ekonomi secara umum.
Kalau dicermati menggunakan salah satu indikator saja, misal luas lahan panen padi dan produksi gabah kering. Pada tahun 2019 luas lahan panen mengalami penurunan sebesar 6,15% (yoy) sementara produksi gabah kering juga turun 7,76% (yoy).
Pembangunan infrastruktur yang masif dalam lima tahun terakhir ternyata tak mampu menghantarkan sektor konstruksi menjadi ‘nendang’. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran untuk infrastruktur yang terus naik, tetapi melambat.
Angaran untuk infrastruktur pada 2019 mencapai Rp 399,7 triliun, naik 1,45 dibanding tahun 2018. Namun kenaikan itu jauh lebih lambat dari kenaikan pada tahun-tahun sebelumnya. Jadi wajar saja sektor konstruksi juga tak banyak tumbuh. Terakhir adalah sektor pertambangan yang tumbuhnya melambat signifikan. Sektor pertambangan RI mengalami perlambatan hingga hampir 1 persen poin.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen batu bara global. Tahun lalu produksi batu bara RI mencapai 610 juta ton atau 8,7% dari total produksi batu bara global. Namun tahun 2019 bukanlah tahun untuk batu bara. Harga batu bara memang anjlok dalam hingga 30% lebih di sepanjang tahun.
Indonesia memang merupakan negara yang perekonomiannya riskan terkena gejolak harga komoditas. Jadi ketika harga batu bara mengalami penurunan, wajar saja kalau dampaknya dirasakan oleh perekonomian RI.
Tahun 2019 memang diwarnai dengan gejolak global yang tak dapat dihindari. Namun bukan berarti Indonesia berhenti ikhtiar untuk menyelamatkan diri. Bukanlah hal yang bijak jika terus mengkambinghitamkan situasi global.
Indonesia masih punya dua amunisi yaitu bauran kebijakan fiskal dan moneter. Dari kebijakan moneter bank sentral telah melonggarkan kebijakan monternya dengan memangkas suku bunga sampai 4 kali sebanyak 100 basis poin (bps). Tak hanya itu BI juga menurunkan Giro Wajib Minumum (GWM) sebesar 50 bps tahun lalu.
Kini beralih ke kebijakan fiskal. Seharusnya ditengah gejolak eksternal yang terjadi seperti tahun lalu, belanja pemerintah haruslah menjadi amunisi yang bisa merangsang gairah perekonomian. Namun kenyataannya kembali jauh panggang dari api.
Pada kuartal IV-2019, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,48% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 0,98% YoY dan menjadi catatan terendah sejak kuartal II-2017.
"Realisasi belanja barang dan jasa turun dibandingkan triwulan IV-2018 sedangkan realisasi belanja bantuan sosial naik dibandingkan triwulan IV-2018.
Penurunan realisasi belanja barang dan jasa terutama pada belanja barang (operasional dan non-operasional) dan belanja jasa. Pertumbuhan realisasi belanja bantuan sosial terutama didorong oleh pertumbuhan belanja jaminan sosial dan pemberdayaan sosial," sebut laporan BPS.
Biasanya kuartal IV menjadi puncak konsumsi pemerintah, karena sudah menjadi fenomena menahun bahwa belanja negara baru dikebut jelang akhir tahun. Namun tahun lalu belanja pemerintah malah mencatatkan pertumbuhan terendah pada kuartal IV. Perlambatan konsumsi pemerintah di akhir tahun kemungkinan besar disebabkan karena bertepatan dengan periode kabinet jilid dua Jokowi yang menteri-menterinya banyak dari kalangan yang baru sehingga lebih hati-hati dalam mengelola anggaran.
Meski begitu, pertumbuhan 0,48% tetap sulit diterima. Padahal andai konsumsi pemerintah bisa tumbuh 1% saja, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 masih di kisaran 5%. Sayang sekali...
Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Kini kapal raksasa berbendera merah putih yang mengangkut lebih dari 260 juta penumpang ini telah mengarungi lautan samudera 2020.
Tantangan baru yang ada sudah di depan mata. Kalau 2019 ada perang dagang, di tahun 2020 sudah ada virus corona. Virus yang merebak awal tahun ini berpotensi besar memukul perekonomian China.
Hal yang harus diantisipasi adalah, China merupakan mitra dagang terbesar sekaligus investor strategis RI. Jadi kalau ekonomi China terpukul dampaknya juga bisa dirasakan oleh RI.
Kajian yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan, kalau perekonomian China turun 1 persen poin saja, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terpangkas 0,4 persen poin.
Kajian S&P memperkirakan jika virus corona terus merebak dan tak terkendali maka perekonomian China bisa terpangkas 1,2 persen poin. Itu artinya…. (amit-amit, jangan sampai!).
Itulah tantangan berat yang sudah menghadang perekonomian dalam negeri sejak awal tahun ini. Semoga kita semua siap menghadapinya bukan dengan tangan kosong, tetapi dengan amunisi yang memang didesain untuk menghalau rintangan, sehingga bahtera besar ini dapat ‘selamat’.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Waspada Nih Pak Jokowi, Ekonomi Indonesia Fix Melambat!
Tahun 2019 pemerintah menargetkan angka pertumbuhan ekonomi setahun penuh di rentang 5,1% - 5,3%. Sementara capaiannya hanya 5,02%. Miris memang. Sejak kuartal pertama saja angka pertumbuhan ekonomi sudah berada di batas bawah 5%.
Kuartal pertama, ekonomi RI tumbuh 5,07% (yoy). Kemudian melambat di kuartal kedua menjadi 5,05% (yoy). Tak sampai di situ angka pertumbuhan ekonomi kembali melambat menjadi 5,02%. Paling miris di kuartal empat, PDB RI tumbuh di bawah 5%, tepatnya di angka 4,97%.
Kalau dilihat lebih jauh, kinerja setiap lapangan usaha yang kontribusinya besar terhadap perekonomian juga bisa dibilang lesu. Seolah terkena 'anemia' sektor industri, perdagangan, pertanian, konstruksi dan pertanian mengalami perlambatan pertumbuhan dibanding tahun sebelumnya. Padahal kelima lapangan usaha tersebut secara struktural menyumbang lebih dari 60% PDB Indonesia.
Untuk sektor industri yang sumbangsihnya hampir 20% terhadap PDB 2019 hanya mampu tumbuh 3,8% (yoy) melambat dibanding tahun sebelumnya yang mampu tumbuh 4,27% (yoy).
Sektor manufaktur dalam negeri memang sempat mengalami kontraksi, tercermin dari angka PMI Manufaktur versi IHS Markit yang berada di bawah 50 sejak Juli 2019 hingga Januari 2020.
Gejolak perang dagang antara dua raksasa perekonomian dunia yaitu AS dan China membuat rantai pasok global terganggu. Dua negara saling hambat perdagangan dengan mengenakan bea masuk.
AS mengenakan bea masuk terhadap produk China senilai US$ 360 miliar, sebagai balasannya China juga mengenakan tarif masuk untuk berbagai produk asal AS senilai US$ 110 miliar.
Aksi saling hambat tersebut membuat aktivitas ekspor-impor terganggu. Volume perdagangan global pun terkontraksi. Nasib sama juga terjadi pada aliran investasi. Akibatnya dunia usaha yang biasanya ekspansif menjadi tertekan. Dampak ini juga dirasakan oleh Indonesia.
"Perlambatan manufaktur Indonesia masih berlanjut pada awal tahun. Permintaan yang lemah membuat penjualan menurun, kemudian menyebabkan kapasitas produksi menjadi tidak optimal.
Akibatnya, dunia usaha terbebani untuk merekrut karyawan baru. Penurunan penjualan membuat dunia usaha menahan pembelian bahan baku dan menumpuk stok.
Dunia usaha terpaksa menggunakan pemesanan sebelumnya untuk mempertahankan produksi," jelas Bernard Aw, Principal Economist IHS Markit, seperti dikutip dari keterangan tertulis.
Selain sektor industri, sektor yang kontribusinya terhadap PDB besar yaitu perdagangan juga mengalami perlambatan pertumbuhan. Pada 2018, sektor ini mampu tumbuh 4,97% (yoy), tetapi tahun lalu sektor ini cuma mampu tumbuh 4,62% (yoy).
Ada salah satu indikator yang dapat mencerminkan perlambatan pertumbuhan sektor ini yaitu penjualan ritel. Menurut data Survei Konsumen Bank Indonesia, penjualan ritel tanah air anjlok dan mengalami kontraksi pada Juni tahun 2019.
Setalah itu penjualan ritel kembali tumbuh. Namun pertumbuhannya minimalis kurang dari 4%. Bahkan momen libur natal dan tahun baru yang biasanya mendongkrak penjualan ritel malah mengalami kontraksi 0,5%.
Beralih ke sektor pertanian. Sektor primer yang menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja ini juga bisa dibilang tak menggairahkan. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, pertumbuhan sektor ini terus menerus tumbuh di bawah angka pertumbuhan sektor ekonomi secara umum.
Kalau dicermati menggunakan salah satu indikator saja, misal luas lahan panen padi dan produksi gabah kering. Pada tahun 2019 luas lahan panen mengalami penurunan sebesar 6,15% (yoy) sementara produksi gabah kering juga turun 7,76% (yoy).
Pembangunan infrastruktur yang masif dalam lima tahun terakhir ternyata tak mampu menghantarkan sektor konstruksi menjadi ‘nendang’. Hal ini terlihat dari alokasi anggaran untuk infrastruktur yang terus naik, tetapi melambat.
Angaran untuk infrastruktur pada 2019 mencapai Rp 399,7 triliun, naik 1,45 dibanding tahun 2018. Namun kenaikan itu jauh lebih lambat dari kenaikan pada tahun-tahun sebelumnya. Jadi wajar saja sektor konstruksi juga tak banyak tumbuh. Terakhir adalah sektor pertambangan yang tumbuhnya melambat signifikan. Sektor pertambangan RI mengalami perlambatan hingga hampir 1 persen poin.
Indonesia merupakan salah satu negara produsen batu bara global. Tahun lalu produksi batu bara RI mencapai 610 juta ton atau 8,7% dari total produksi batu bara global. Namun tahun 2019 bukanlah tahun untuk batu bara. Harga batu bara memang anjlok dalam hingga 30% lebih di sepanjang tahun.
Indonesia memang merupakan negara yang perekonomiannya riskan terkena gejolak harga komoditas. Jadi ketika harga batu bara mengalami penurunan, wajar saja kalau dampaknya dirasakan oleh perekonomian RI.
Tahun 2019 memang diwarnai dengan gejolak global yang tak dapat dihindari. Namun bukan berarti Indonesia berhenti ikhtiar untuk menyelamatkan diri. Bukanlah hal yang bijak jika terus mengkambinghitamkan situasi global.
Indonesia masih punya dua amunisi yaitu bauran kebijakan fiskal dan moneter. Dari kebijakan moneter bank sentral telah melonggarkan kebijakan monternya dengan memangkas suku bunga sampai 4 kali sebanyak 100 basis poin (bps). Tak hanya itu BI juga menurunkan Giro Wajib Minumum (GWM) sebesar 50 bps tahun lalu.
Kini beralih ke kebijakan fiskal. Seharusnya ditengah gejolak eksternal yang terjadi seperti tahun lalu, belanja pemerintah haruslah menjadi amunisi yang bisa merangsang gairah perekonomian. Namun kenyataannya kembali jauh panggang dari api.
Pada kuartal IV-2019, konsumsi pemerintah hanya tumbuh 0,48% YoY. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang sebesar 0,98% YoY dan menjadi catatan terendah sejak kuartal II-2017.
"Realisasi belanja barang dan jasa turun dibandingkan triwulan IV-2018 sedangkan realisasi belanja bantuan sosial naik dibandingkan triwulan IV-2018.
Penurunan realisasi belanja barang dan jasa terutama pada belanja barang (operasional dan non-operasional) dan belanja jasa. Pertumbuhan realisasi belanja bantuan sosial terutama didorong oleh pertumbuhan belanja jaminan sosial dan pemberdayaan sosial," sebut laporan BPS.
Biasanya kuartal IV menjadi puncak konsumsi pemerintah, karena sudah menjadi fenomena menahun bahwa belanja negara baru dikebut jelang akhir tahun. Namun tahun lalu belanja pemerintah malah mencatatkan pertumbuhan terendah pada kuartal IV. Perlambatan konsumsi pemerintah di akhir tahun kemungkinan besar disebabkan karena bertepatan dengan periode kabinet jilid dua Jokowi yang menteri-menterinya banyak dari kalangan yang baru sehingga lebih hati-hati dalam mengelola anggaran.
Meski begitu, pertumbuhan 0,48% tetap sulit diterima. Padahal andai konsumsi pemerintah bisa tumbuh 1% saja, maka bukan tidak mungkin pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 masih di kisaran 5%. Sayang sekali...
Namun apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur. Kini kapal raksasa berbendera merah putih yang mengangkut lebih dari 260 juta penumpang ini telah mengarungi lautan samudera 2020.
Tantangan baru yang ada sudah di depan mata. Kalau 2019 ada perang dagang, di tahun 2020 sudah ada virus corona. Virus yang merebak awal tahun ini berpotensi besar memukul perekonomian China.
Hal yang harus diantisipasi adalah, China merupakan mitra dagang terbesar sekaligus investor strategis RI. Jadi kalau ekonomi China terpukul dampaknya juga bisa dirasakan oleh RI.
Kajian yang dilakukan Bank Dunia menyebutkan, kalau perekonomian China turun 1 persen poin saja, maka pertumbuhan ekonomi Indonesia bisa terpangkas 0,4 persen poin.
Kajian S&P memperkirakan jika virus corona terus merebak dan tak terkendali maka perekonomian China bisa terpangkas 1,2 persen poin. Itu artinya…. (amit-amit, jangan sampai!).
Itulah tantangan berat yang sudah menghadang perekonomian dalam negeri sejak awal tahun ini. Semoga kita semua siap menghadapinya bukan dengan tangan kosong, tetapi dengan amunisi yang memang didesain untuk menghalau rintangan, sehingga bahtera besar ini dapat ‘selamat’.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg) Next Article Waspada Nih Pak Jokowi, Ekonomi Indonesia Fix Melambat!
Most Popular