
Cadangan Devisa RI Januari, Hampir Tertinggi Dalam Sejarah
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
07 February 2020 11:44

Pada Desember tahun lalu, AS dan China sepakati perjanjian dagang fase I, membuat selera terhadap risiko pelaku pasar kembali naik. Akibatnya aset-aset berisiko seperti saham dan nilai tukar negara emerging salah satunya Indonesia ikut kena euforia kabar tersebut.
AS dan China resmi tanda tangani kesepakatan dagang fase I pada pertengahan Januari lalu. Kala itu AS diwakili langsung oleh Presiden Donald Trump sementara China diwakili oleh Perdana Menteri Liu He.
Dalam kesepakatan itu, AS berjanji menurunkan tarif impor untuk produk China senilai US$ 120 miliar dari yang sebelumnya 15% menjadi 7,5%. Sebagai balasannya China berjanji untuk membeli berbagai macam barang dan jasa senilai US$ 200 miliar hingga 2021.
Selain itu penguatan rupiah juga bertepatan dengan momen bank sentral AS, The Fed yang mulai melakukan operasi repo. Sejak September tahun lalu, The Fed mulai melakukan operasi repo untuk menurunkan bunga pinjaman overnight yang kala itu mencapai 10%.
Pada 16 September 2019, bank kekurangan uang untuk membeli surat utang pemerintah AS karena bertepatan dengan jatuh tempo pembayaran pajak. Hal ini membuat para pemberi pinjaman tidak mau meminjamkan uangnya jika bunganya kurang dari 10%.
Merespons hal tersebut The Fed langsung memompa likuiditas ke pasar dengan melakukan operasi repo untuk menurunkan suku bunga yang sudah terlampau tinggi itu.
Pada 17 September The Fed cabang New York menyuntikkan US$ 53 miliar ke pasar dan berjanji akan membeli aset-aset berupa surat utang jangka pendek dan efek beragun aset senilai US$ 75 miliar sehari setelahnya.
Operasi repo ini terus dilakukan oleh The Fed sampai saat ini. The Fed menargetkan operasi repo ini akan dilakukan setidaknya sampai April 2020 untuk mencapai target bunga acuan. Bagaimanapun juga banjir likuiditas di pasar ini berdampak pada menguatnya pasar saham dan aset berisiko lainnya. Salah satunya nilai tukar rupiah.
Jadi dapat disimpulkan meningkatnya cadangan devisa bulan Januari 2020 karena ada aliran masuk (capital inflow) dan penguatan rupiah akibat berbagai sentimen positif yang membuat kebutuhan BI untuk stabilisasi jadi lebih minim.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
AS dan China resmi tanda tangani kesepakatan dagang fase I pada pertengahan Januari lalu. Kala itu AS diwakili langsung oleh Presiden Donald Trump sementara China diwakili oleh Perdana Menteri Liu He.
Dalam kesepakatan itu, AS berjanji menurunkan tarif impor untuk produk China senilai US$ 120 miliar dari yang sebelumnya 15% menjadi 7,5%. Sebagai balasannya China berjanji untuk membeli berbagai macam barang dan jasa senilai US$ 200 miliar hingga 2021.
Pada 16 September 2019, bank kekurangan uang untuk membeli surat utang pemerintah AS karena bertepatan dengan jatuh tempo pembayaran pajak. Hal ini membuat para pemberi pinjaman tidak mau meminjamkan uangnya jika bunganya kurang dari 10%.
Merespons hal tersebut The Fed langsung memompa likuiditas ke pasar dengan melakukan operasi repo untuk menurunkan suku bunga yang sudah terlampau tinggi itu.
Pada 17 September The Fed cabang New York menyuntikkan US$ 53 miliar ke pasar dan berjanji akan membeli aset-aset berupa surat utang jangka pendek dan efek beragun aset senilai US$ 75 miliar sehari setelahnya.
Operasi repo ini terus dilakukan oleh The Fed sampai saat ini. The Fed menargetkan operasi repo ini akan dilakukan setidaknya sampai April 2020 untuk mencapai target bunga acuan. Bagaimanapun juga banjir likuiditas di pasar ini berdampak pada menguatnya pasar saham dan aset berisiko lainnya. Salah satunya nilai tukar rupiah.
Jadi dapat disimpulkan meningkatnya cadangan devisa bulan Januari 2020 karena ada aliran masuk (capital inflow) dan penguatan rupiah akibat berbagai sentimen positif yang membuat kebutuhan BI untuk stabilisasi jadi lebih minim.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/twg)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular