
Penerimaan PPN, PPnBM & PPh Migas Anjlok, Ini Penyebabnya
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
09 January 2020 14:14

Lesunya penerimaan pajak terutama PPN & PPnBM serta PPh Migas juga kena dampaknya. PPN merupakan pajak yang dikenakan untuk setiap transaksi sedangkan PPnBM merupakan pajak yang dipungut atas penjualan barang mewah.
Jika PPN mengalami penurunan artinya ada indikasi terjadi penurunan transaksi. Kalau transaksi mengalami penurunan artinya ada indikasi daya beli masyarakat juga ikut terkerek turun.
Laju konsumsi rumah tangga memang masih tumbuh positif di atas 5%, tetapi ketika melihat inflasi inti tumbuh melambat jelang akhir tahun bisa jadi indikasi bahwa daya beli masyarakat RI juga melemah. Komponen ini menggambarkan pengeluaran yang bersifat persisten, susah turun-naik. Selama inflasi inti masih terakselerasi, berarti masyarakat masih mau membeli barang dan jasa yang harganya cenderung stabil.
Ketika harga barang dan jasa yang semacam ini masih bisa naik, artinya konsumsi masih tumbuh sehat. Namun yang terjadi sejak Oktober adalah perlambatan laju inflasi inti. Ini bisa diartikan bahwa konsumen mulai menahan diri. Pelemahan konsumsi sepertinya sudah tidak bisa dipungkiri lagi.
Sementara penerimaan PPh Migas juga mengalami kontraksi yang dalam. Realisasi penerimaan PPh Migas turun diakibatkan oleh tiga hal. Pertama adalah rata-rata harga jual minyak yang turun di tahun 2019. Menurut kementerian keuangan ICP tahun 2019 mencapai US$ 62/barel jauh dari asumsinya sebesar US$ 70/barel. Penurunan harga ini diakibatkan karena turunnya permintaan minyak dunia.
Faktor kedua yang juga turut melemahkan realisasi penerimaan PPh Migas adalah dari sisi produksi. Lifting migas RI semakin jauh dari asumsi. Pada 2019 lifting minyak mentah RI rata-rata 741 ribu barel per hari (bpd), sementara asumsinya 775 ribu bpd. Lifting tersebut juga lebih rendah dibanding realisasi tahun 2018 yang mencapai 778 ribu bpd.
Lifting gas juga mengalami penurunan menjadi 1.050 ribu barel ekuivalen minyak dari target 1.250 ribu barel ekuivalen minyak. Lifting ini gas tahun ini juga lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 1.145 ribu barel ekuivalen minyak.
Faktor ketiga yang juga mempengaruhi lemahnya penerimaan PPh Migas adalah penguatan rupiah. Nilai tukar rupiah pada 2019 rata-rata mencapai Rp 14.146/US$ lebih rendah dibanding asumsi yang mencapai Rp 15.000/US$ dan rata-rata tahun lalu yang mencapai Rp 14.247/US$.
Tak dapat dipungkiri, kondisi eksternal dan internal jadi pemicu sengkarut penerimaan pajak yang rendah dan jauh dari target APBN.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/gus)
Jika PPN mengalami penurunan artinya ada indikasi terjadi penurunan transaksi. Kalau transaksi mengalami penurunan artinya ada indikasi daya beli masyarakat juga ikut terkerek turun.
Laju konsumsi rumah tangga memang masih tumbuh positif di atas 5%, tetapi ketika melihat inflasi inti tumbuh melambat jelang akhir tahun bisa jadi indikasi bahwa daya beli masyarakat RI juga melemah. Komponen ini menggambarkan pengeluaran yang bersifat persisten, susah turun-naik. Selama inflasi inti masih terakselerasi, berarti masyarakat masih mau membeli barang dan jasa yang harganya cenderung stabil.
Sementara penerimaan PPh Migas juga mengalami kontraksi yang dalam. Realisasi penerimaan PPh Migas turun diakibatkan oleh tiga hal. Pertama adalah rata-rata harga jual minyak yang turun di tahun 2019. Menurut kementerian keuangan ICP tahun 2019 mencapai US$ 62/barel jauh dari asumsinya sebesar US$ 70/barel. Penurunan harga ini diakibatkan karena turunnya permintaan minyak dunia.
Faktor kedua yang juga turut melemahkan realisasi penerimaan PPh Migas adalah dari sisi produksi. Lifting migas RI semakin jauh dari asumsi. Pada 2019 lifting minyak mentah RI rata-rata 741 ribu barel per hari (bpd), sementara asumsinya 775 ribu bpd. Lifting tersebut juga lebih rendah dibanding realisasi tahun 2018 yang mencapai 778 ribu bpd.
Lifting gas juga mengalami penurunan menjadi 1.050 ribu barel ekuivalen minyak dari target 1.250 ribu barel ekuivalen minyak. Lifting ini gas tahun ini juga lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 1.145 ribu barel ekuivalen minyak.
Faktor ketiga yang juga mempengaruhi lemahnya penerimaan PPh Migas adalah penguatan rupiah. Nilai tukar rupiah pada 2019 rata-rata mencapai Rp 14.146/US$ lebih rendah dibanding asumsi yang mencapai Rp 15.000/US$ dan rata-rata tahun lalu yang mencapai Rp 14.247/US$.
Tak dapat dipungkiri, kondisi eksternal dan internal jadi pemicu sengkarut penerimaan pajak yang rendah dan jauh dari target APBN.
TIM RISET CNBC INDONESIA (twg/gus)
Pages
Most Popular