Selain Perang Dunia 3, Ini Tiga Risiko Lain Bagi Ekonomi 2020

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
08 January 2020 07:43
Selain Perang Dunia 3, Ini Tiga Risiko Lain Bagi Ekonomi 2020
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Semua pandangan pengamat dan ekonom sedang tertuju pada Timur Tengah, khususnya Iran dan Irak, yang tengah dilanda konflik menyusul serangan Amerika Serikat (AS) terhadap Jenderal Qasem Soleimani.

Meski menjadi salah satu risiko terpenting yang membayangi perekonomian dunia tahun ini, Tim Riset CNBC Indonesia mencatat ada tiga risiko lainnya yang berpeluang besar menjadi biang tekanan terhadap perekonomian dunia sepanjang 2020 ini.

Efeknya tidak hanya menekan keseimbangan supply and demand perekonomian dunia, tetapi secara fundamental bisa membuat dunia jatuh dalam krisis, sekalipun jika Perang Dunia 3 tidak terjadi.

Risiko geopolitik Timur Tengah menjadi risiko pertama dan terbesar perekonomian dunia menyusul pembunuhan AS terhadap Jenderal kharismatik asal Iran tersebut. Berbeda dari periode sebelumnya di mana kedua belah pihak hanya saling berperang kata-kata, jelang akhir tahun lalu kedua pihak tersebut saling menembakkan amunisi.

Terbaru pada Kamis (02/01/2020), AS membunuh Mayor Jendral Qasem Soleimani yang merupakan pemimpin Angkatan Quds, divisi intelijen dalam Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC), sebuah organisasi milisi di Iran bagian dari angkatan bersenjata Negeri Ayatollah itu.

Setelah serangan tersebut, harga minyak melonjak tajam. Harga minyak mentah Brent sempat melonjak hingga 4%, dan menyentuh US$ 70 per barel. Aksi balasan dari Iran bakal membuat harga minyak kian melambung, terutama jika serangan itu ditujukan pada sekutu AS di Timur Tengah yakni Arab Saudi dan Bahrain, atau memblokade selat Hormuz.

Harap dicatat, Saudi dan Uni Emirat Arab menyumbang 17% produksi minyak dunia atau sekitar 16 juta barel per hari. Di sisi lain, selat Hormuz merupakan jalur utama minyak dunia dengan 17 juta barel minyak lalu lalang tiap hari.

Kenaikan harga minyak bakal menekan perekonomian dunia, karena posisinya sebagai energi utama dunia. BP (2019) menyebutkan minyak menyumbang konsumsi energi terbesar dunia, yakni 4,7 miliar ton, atau sepertiga dari konsumsi energi dunia 14 miliar ton.

Bagi Indonesia, efeknya terhadap APBN kita bakal berat. Mengutip Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan, yang melakukan studi kasus di era 2008 ketika harga minyak dunia melewati level US$100 per barel, efek kenaikan harga minyak terhadap belanja negara lebih besar ketimbang penerimaannya.

Dengan asumsi faktor-faktor lainnya tetap (ceteris paribus), setiap 1 dolar AS per barel perubahan harga minyak mentah Indonesia (ICP) di pasar internasional, berdampak terhadap pendapatan negara (baik penerimaan migas maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak/PNBP lain) dari minyak mentah senilai Rp 2,8 triliun-Rp 2,9 triliun.

Namun bagi beban negara, setiap perubahan harga minyak 1 dolar AS per barel (ceteris paribus) diperkirakan berakibat pada perubahan belanja negara dalam RAPBN 2009 Rp 3,3 triliun-Rp 3,5 triliun.

Meski potensi perang berpeluang terjadi, kemajuan negosiasi dagang jilid kedua juga perlu diperhatikan sebagai risiko terbesar kedua. Sebagaimana diketahui, AS dan China telah saling mengenakan tarif selama setahun, dan bersepakat untuk meneken kesepakatan pada 15 Januari ini.

Keduanya juga sepakat mengurangi kenaikan tarif yang semula diberlakukan. Namun harap dicatat, yang terjadi adalah diskon kenaikan tarif. Trump bakal membatalkan tarif tambahan sebesar 15% yang semula bakal diterapkan pada Desember 2019.

Di sisi lain, tarif yang diberlakukan sejak 2018 bakal dipangkas 50%-nya. Artinya, tarif lebih tinggi yang berlaku untuk produk kedua negara masih akan terus berjalan. Efek buruknya terhadap perekonomian masih berlangsung, dan sejauh ini telah menekan aktivitas manufaktur kedua negara.

PAGI-SelainPerangTeluk2,IniTiga Risiko Lain Bagi Ekonomi 2020Foto: Sumber: Livewiremarkets.com


Survei Institute of Supply Management (ISM) AS mencatat indeks manufaktur turun menjadi 47,2% (Desember 2019), atau berkontraksi untuk kelima kali. Angka di bawah 50 mengindikasikan kontraksi aktivitas manufaktur, sebaliknya di atas 50 mengindikasikan ekspansi.

Sementara itu, indeks serupa di China yang dirilis Caixin tercatat di angka 51,5 pada Desember atau melambat dibanding posisi sebulan sebelumnya di level 51,8 dan juga di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan di angka 51,7.

Bank Dunia dalam laporannya berjudul “Heightened Tensions, Subdued Investment” (2019) menyebutkan bahwa perang dagang memiliki kontribusi besar atas perlambatan dunia. IMF juga memangkas prediksi pertumbuhan dunia pada 2019 dari semula 3,2% menjadi hanya 3% karena morat-maritnya aktivitas manufaktur dan perdagangan dunia.

“Pelemahan pertumbuhan ini didorong penurunan tajam aktivitas manufaktur dan perdagangan dunia, dengan tarif lebih tinggi dan ketakpastian kebijakan perdagangan merusak iklim investasi dan permintaan barang modal,” ujar Ekonom Kepala IMF Gita Gopinath dalam pernyataan resminya sebagaimana dikutip CNBC International, Selasa (15/11/2019).

Kenaikan ketegangan politik terkait dengan Hong Kong, Laut China Selatan, dan juga latihan perang antara China, Rusia, dan Iran, membuat prospek damai dagang kedua negara masih bakal jauh panggang dari api. Terlebih, China memiliki opsi memundurkan kesepakatan fase kedua, sembari menunggu hasil pemilihan presiden pada November 2020.

Risiko ketiga berada di AS, yakni kian membengkaknya kredit rumah tangga. Dalam laporan The Fed New York per September 2019, utang agregat rumah tangga AS tercatat naik US$92 miliar pada kuartal III-2019, menjadi US$ 13,95 triliun. Ini merupakan kenaikan selama 20 kuartal berturut-turut.

Dalam lima tahun terakhir, ada penambahan sebesar US$ 1,3 triliun. Angka itu melampaui rekor tertinggi yang dicetak pada kuartal ketiga 2008 senilai US$ 12,7 triliun. Kredit konsumtif non KPR membengkak hingga US$ 64 miliar, mengalahkan kenaikan KPR sebesar US$ 31 miliar.

Dari situ, laporan berjudul “Household Debt and Credit” mencatat nilai utang berbasis kartu kredit mencapai US$1 triliun, juga melampaui level tertingginya pada tahun 2008. Perlu dicatat, pada 2007-2008 AS mengalami krisis keuangan akibat pecahnya gelembung subprime mortgage loan.

Secara bersamaan, tingkat tunggakan kartu kredit mencapai level tertinggi 4 tahun, yakni US$ 667 miliar, atau 4,8% dari total kredit rumah tangga di AS. Sebanyak 63,6% (US$ 424 miliar) berstatus bahaya (menunggak hingga 90 bulan). Sementara itu, suku bunga kartu kredit menyentuh level tertinggi sepanjang masa, sehingga memperberat beban pengangsur.

PAGI-SelainPerangTeluk2,IniTiga Risiko Lain Bagi Ekonomi 2020Foto: Sumber: The Fed New York

Jika persoalan kredit rumah tangga tersebut kian membengkak hingga pecah akibat tekanan ekonomi AS, maka dampaknya akan menular ke sistem keuangan global. Harap dicatat konsumsi rumah tangga menyumbang 60% produk domestik Negara Sam tersebut.

Risiko keempat terletak di China, yakni tingkat utang korporasi swasta Negeri Panda tersebut. Akhir tahun lalu, dua perusahaan pemeringkat global Fitch Ratings dan Moody’s menyebutkan bahwa tingkat utang korporasi di China mulai berada di level yang mengkhawatirkan.

Menurut Fitch, perusahaan swasta di China mencatatkan gagal bayar utang korporasi dengan laju yang cepat. Meski masih sejalan dengan arah sistem keuangan dan perekonomian, Ekonom Kepala Moody’s Mark Zandi menilai utang mereka berada di posisi risiko yang besar.

“Saya akan menunjuk utang korporasi China sebagai ancaman terbesar,” tuturnya sebagaimana dikutip CNBC International, Selasa (17/12/2019). “Kami melihat ada kenaikan signifikan pembiayaan berbasis leverage, memberikan utang untuk perusahaan yang sudah memikul kewajiban tinggi sehingga rentan ketika ekonomi melambat.”

Dalam 11 bulan pertama 2019, 4,9% utang korporasi swasta di China mengalami gagal bayar (default). Angka ini mengalami tren kenaikan dibandingkan posisi 2014 yang hanya sebesar 0,6%. Di sisi lain, 80% utang berdenominasi asing dilakukan oleh swasta, yang lebih rentan dibandingkan dengan BUMN.

Persoalan utang tinggi di kalangan pelaku usaha China ini sebenarnya sudah terdeteksi sejak tahun 2017 tetapi upaya untuk mengurangi risikonya terkendala oleh perang dagang yang dilancarkan AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags) Next Article Meski Tuding Iran Otak Serangan ke Saudi, Trump Ogah Perang

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular