Super Loyo, 'Rapor Merah Kebakaran Pajak' di APBN 2019
Tirta Citradi, CNBC Indonesia
07 January 2020 12:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Penerimaan pajak di APBN 2019 kembali tak capai target bahkan bisa dibilang loyo. Turunnya penerimaan PPN & PPnBM serta PPh Migas jadi penyebabnya.
Defisit anggaran kembali terjadi. Bahkan melebar dari tahun sebelumnya. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 membukukan defisit sebesar Rp 353 triliun atau 2,2% dari PDB, melebar dari target APBN 1,84% dan tahun lalu yang hanya 1,82%.
Pelebaran tersebut terjadi akibat kinerja penerimaan pajak yang yang loyo. Penerimaan perpajakan cuma mencatatkan capaian 86,5% dari target APBN ketika Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mampu mencapai 107,1% dan Hibah mencapai 1500%.
Kinerja perpajakan tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 2017. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kinerja penerimaan perpajakan berulang kali mencatatkan capaian di bawah 90%. Tahun 2015, 2016 dan 2019 menjadi tahun yang suram karena penerimaan perpajakan jauh dari target bahkan tak capai 90%.
Jika ditelisik lebih lanjut, tak tercapainya penerimaan PPN & PPnBM serta PPh Migas membuat kinerja penerimaan perpajakan lesu. Ketika penerimaan PPh Non Migas mampu tumbuh 3,8% dibanding tahun lalu, penerimaan PPh Migas malah anjlok 8,7%. Sementara realisasi penerimaan PPN & PPnBM juga turun 0,8% dibanding tahun baru.
Realisasi penerimaan PPh Migas turun diakibatkan oleh tiga hal. Pertama adalah rata-rata harga jual minyak yang turun di tahun 2019. Menurut kementerian keuangan ICP tahun 2019 mencapai US$ 62/barel jauh dari asumsinya sebesar US$ 70/barel. Penurunan harga ini diakibatkan karena turunnya permintaan minyak dunia.
Faktor kedua yang juga turut melemahkan realisasi penerimaan PPh Migas adalah dari sisi produksi. Lifting migas RI semakin jauh dari asumsi. Pada 2019 lifting minyak mentah RI rata-rata 741 ribu barel per hari (bpd), sementara asumsinya 775 ribu bpd. Lifting tersebut juga lebih rendah dibanding realisasi tahun 2018 yang mencapai 778 ribu bpd.
Lifting gas juga mengalami penurunan menjadi 1.050 ribu barel ekuivalen minyak dari target 1.250 ribu barel ekuivalen minyak. Lifting ini gas tahun ini juga lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 1.145 ribu barel ekuivalen minyak.
Faktor ketiga yang juga mempengaruhi lemahnya penerimaan PPh Migas adalah penguatan rupiah. Nilai tukar rupiah pada 2019 rata-rata mencapai Rp 14.146/US$ lebih rendah dibanding asumsi yang mencapai Rp 15.000/US$ dan rata-rata tahun lalu yang mencapai Rp 14.247/US$.
Selain penerimaan PPh Migas yang anjlok, realisasi penerimaan PPN & PPnBM juga turun. PPN & PPnBM merupakan pajak yang berbasis transaksi. Jika penerimaannya turun, maka ada indikasi bahwa transaksi juga turun.
Transaksi dibentuk dari konsumsi. Ketika konsumsi rendah maka transaksi juga rendah. Jadi hal ini berakibat pada turunnya penerimaan PPN & PPnBM. Ada indikasi daya beli masyarakat yang turun memang, hal ini dikonfirmasi dengan inflasi yang rendah serta pertumbuhan konsumsi masyarakat yang stagnan di level 5%.
Kementerian Keuangan mencatat inflasi di tahun 2019 sebesar 2,72% (yoy) merupakan inflasi terendah dalam dua puluh tahun terakhir. Jadi wajar saja kalau penerimaan perpajakan jadi loyo...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/dru) Next Article Januari APBN Sudah Defisit Rp36 T, Ini Penjelasan Sri Mulyani
Defisit anggaran kembali terjadi. Bahkan melebar dari tahun sebelumnya. Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2019 membukukan defisit sebesar Rp 353 triliun atau 2,2% dari PDB, melebar dari target APBN 1,84% dan tahun lalu yang hanya 1,82%.
Pelebaran tersebut terjadi akibat kinerja penerimaan pajak yang yang loyo. Penerimaan perpajakan cuma mencatatkan capaian 86,5% dari target APBN ketika Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) mampu mencapai 107,1% dan Hibah mencapai 1500%.
![]() |
Kinerja perpajakan tersebut merupakan yang terendah sejak tahun 2017. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, kinerja penerimaan perpajakan berulang kali mencatatkan capaian di bawah 90%. Tahun 2015, 2016 dan 2019 menjadi tahun yang suram karena penerimaan perpajakan jauh dari target bahkan tak capai 90%.
Jika ditelisik lebih lanjut, tak tercapainya penerimaan PPN & PPnBM serta PPh Migas membuat kinerja penerimaan perpajakan lesu. Ketika penerimaan PPh Non Migas mampu tumbuh 3,8% dibanding tahun lalu, penerimaan PPh Migas malah anjlok 8,7%. Sementara realisasi penerimaan PPN & PPnBM juga turun 0,8% dibanding tahun baru.
![]() |
Realisasi penerimaan PPh Migas turun diakibatkan oleh tiga hal. Pertama adalah rata-rata harga jual minyak yang turun di tahun 2019. Menurut kementerian keuangan ICP tahun 2019 mencapai US$ 62/barel jauh dari asumsinya sebesar US$ 70/barel. Penurunan harga ini diakibatkan karena turunnya permintaan minyak dunia.
Faktor kedua yang juga turut melemahkan realisasi penerimaan PPh Migas adalah dari sisi produksi. Lifting migas RI semakin jauh dari asumsi. Pada 2019 lifting minyak mentah RI rata-rata 741 ribu barel per hari (bpd), sementara asumsinya 775 ribu bpd. Lifting tersebut juga lebih rendah dibanding realisasi tahun 2018 yang mencapai 778 ribu bpd.
Lifting gas juga mengalami penurunan menjadi 1.050 ribu barel ekuivalen minyak dari target 1.250 ribu barel ekuivalen minyak. Lifting ini gas tahun ini juga lebih rendah dibanding tahun lalu yang mencapai 1.145 ribu barel ekuivalen minyak.
Faktor ketiga yang juga mempengaruhi lemahnya penerimaan PPh Migas adalah penguatan rupiah. Nilai tukar rupiah pada 2019 rata-rata mencapai Rp 14.146/US$ lebih rendah dibanding asumsi yang mencapai Rp 15.000/US$ dan rata-rata tahun lalu yang mencapai Rp 14.247/US$.
Selain penerimaan PPh Migas yang anjlok, realisasi penerimaan PPN & PPnBM juga turun. PPN & PPnBM merupakan pajak yang berbasis transaksi. Jika penerimaannya turun, maka ada indikasi bahwa transaksi juga turun.
Transaksi dibentuk dari konsumsi. Ketika konsumsi rendah maka transaksi juga rendah. Jadi hal ini berakibat pada turunnya penerimaan PPN & PPnBM. Ada indikasi daya beli masyarakat yang turun memang, hal ini dikonfirmasi dengan inflasi yang rendah serta pertumbuhan konsumsi masyarakat yang stagnan di level 5%.
Kementerian Keuangan mencatat inflasi di tahun 2019 sebesar 2,72% (yoy) merupakan inflasi terendah dalam dua puluh tahun terakhir. Jadi wajar saja kalau penerimaan perpajakan jadi loyo...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/dru) Next Article Januari APBN Sudah Defisit Rp36 T, Ini Penjelasan Sri Mulyani
Most Popular