
Pak Basuki & Mas Anies, Ini Solusi Final Banjir ala Bappenas

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Basuki Hadimuljono dan Gubernur DKI Anies Baswedan terlibat dalam perang opini mengenai penyebab utama banjir DKI Jakarta dan solusinya saat ini.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) melaporkan curah hujan pada hari pertama Tahun Baru 2020 itu merupakan yang tertinggi dalam 24 tahun terakhir. Curah hujan terlebat terjadi di kawasan Halim Perdana Kusuma yang mencapai 377 milimeter (mm)/hari.
Limpahan volume air pun membesar, terutama di tengah kiriman banjir dari kawasan Bogor. Akibatnya, Ibu Kota kebanjiran dan 30 orang tercatat meninggal dunia. "Curah hujan kemarin adalah yang tertinggi selama 24 tahun terakhir berdasarkan data sejak 1996," kata Kepala BMKG Dwikorita Karnawati dikutip detik.com, Kamis (2/1/2020).
Di tengah situasi itu, Basuki menyoroti proyek normalisasi Pemprov DKI yang meleset dari target sebagai biang kegagalan penanganan banjir. Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyoroti sampah sebagai kontributor utama banjir kali ini. Menanggapi itu, Anies berbeda pendapat. Dia menilai minimnya resapan dan penampung air hujan sebagai biang banjir.
![]() |
Silang sengketa ini menjadi ironis, karena mereka seolah lupa dengan fenomena utama penyebab banjir di Jakarta yang disodorkan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/ Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). Padahal, mereka telah duduk bersama menyetujui pentingnya problem ini dan terlibat dalam proyek penanganannya.
Dalam paparan berjudul "Pembangunan Berkelanjutan Megapolitan Banten-DKI Jakarta-Jawa Barat", Bappenas menyebutkan bahwa kota-kota di Pantura Jawa bakal terus turun permukaan tanahnya terutama ketika bangunan pencakar langit bermunculan.
Alasannya, wilayah Pantai Utara (Pantura) Pulau Jawa merupakan kawasan aluvial yang dibentuk dari endapan (sedimentasi) purba. Tanah aluvial merupakan endapan vulkanik yang akan terus mengalami penurunan hingga menyentuh titik stabilnya.
![]() |
Hal ini menyebabkan aliran sungai menjadi lamban dan mudah terjadi pengendapan. Di sisi lain, ketika permukaan tanah turun di bawah permukaan laut, terjadilah intrusi air laut yang memicu rob. Hal ini telah terjadi di Semarang sejak tahun 1980-an, dan di Jakarta sejak tahun 1996.
Karenanya, sebanyak apapun waduk dibangun dan secepat apapun normalisasi sungai dijalankan, curah hujan yang tinggi bakal membuat Jakarta raya mudah tergenang oleh banjir, selama permukaan tanah terus menurun hingga di bawah permukaan laut.
Menurut temuan Bappenas, permukaan tanah di Cikarang turun 15 centimeter (cm) per tahun, sama seperti Jakarta dan Semarang. Saat ini, Semarang selalu terkena banjir rob akibat pasang air laut bahkan ketika di musim kemarau.Untuk mengatasi problem permukaan tanah di Jakarta, Bappenas mengusulkan pembangunan Waduk Lepas Pantai (WLP), yang dinisiasi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lewat proyek National Capital Integrated Coastal Development (NCICD) pada 2014. Tiga negara dilibatkan yakni Belanda, Korea Selatan, dan Jepang.
Pada perkembangan selanjutnya, pemerintah DKI di bawah kepemimpinan Basuki Tjahaja Purnama (BTP) menjalankan proyek reklamasi dengan membangun daratan baru untuk hunian dan perkantoran.
Proyek reklamasi ini banyak dikritik karena justru membuat air menempuh jalan yang lebih panjang menuju ke laut. Penambahan daratan baru juga semakin membebani tanah aluvial yang ada dan mempercepat penurunan permukaan tanah.
Sempat digugat Kementerian Lingkungan Hidup, proyek reklamasi era BTP tersebut tak dilanjutkan. Gubernur Anies menghentikan proyek itu dan aset yang sudah terbangun dikembalikan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menyisakan 35% untuk pengembang.
Belakangan, Presiden Jokowi melanjutkan proyek waduk lepas pantai dengan nama NCICD tahap II. Kesepakatan diteken di Seoul, Korea Selatan, Kamis (27/6/2019) melibatkan Menteri Basuki dan Gubernur Anies. Nilai proyek ini adalah Rp 169,98 triliun, tanpa dukungan APBN.
Menurut konsep Bappenas, waduk ini akan menampung air dari 13 sungai di Jakarta. Air dam bisa diturunkan hingga 5 meter di bawah permukaan air laut sehingga aliran semua sungai di Jakarta akan kembali deras dan mengurangi risiko genangan ketika curah hujan tinggi.
![]() |
Konsep waduk lepas pantai ini memiliki manfaat ganda baik dari sisi penyediaan air bersih karena menampung air tawar hingga 2,4 miliar meter kubik (m3), maupun dari penyediaan jalur transportasi di atas tanggul yang menghubungkan pelabuhan dan kawasan industri sekitar Jakarta.
Prosesnya juga lebih ramah lingkungan karena dibarengi penanaman hutan bakau seluas 352 hektare, menambah hutan bakau sekarang 376 hektare. Proyek energi terbarukan pun bakal dikembangkan, yakni kincir angin dan panel surya, untuk melistriki pompa dan lampu di waduk.
Menurut rencana, proyek ini juga bakal ramah terhadap warga karena tidak perlu penggusuran, dan nelayan tetap diberikan akses ke laut, lewat kanal penghubung lepas pantai. Berdasarkan perhitungan, tingkat pengembalian investasi (investment rate return/IRR) mencapai 18%-23% alias layak secara bisnis (feasible).
Nah, daripada mendebatkan pemicu banjir yang sudah lama sudah dijelaskan oleh Bappenas jauh-jauh hari, ada baiknya Menteri Basuki dan Gubernur Anis bertemu, bersama Gubernur Ridwan Kamil untuk membicarakan percepatan proyek nasional "penyelamatan Jakarta" ini.
Presiden Jokowi tak perlu ikut berpolemik. Damaikan bawahan anda tersebut dan perintahkan mereka bekerja kongkrit merealisasikan waduk lepas pantai ini. Percayalah! Rakyat, terutama korban banjir, muak dengan pejabat yang hanya bicara dan saling menyalahkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags/dru) Next Article Pabrik Terendam Banjir Rob Semarang, Berapa Kerugiannya?