Bank Dunia 'Kecolongan' Danai Kamp 'Cuci Otak' Xinjiang

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
22 December 2019 15:12
Bank Dunia 'Kecolongan' Danai Kamp 'Cuci Otak' Xinjiang
Foto: Penampakan Artux City Vocational Skills Education Training Service Center di Xianjing, China pada 3 Desember 2018 (AP Photo/File)

Jakarta, CNBC Indonesia - Polemik mengenai dugaan pelanggaran hak azasi manusia (HAM) di Xinjiang terhadap kaum minoritas Uighur dan Kazakh, turut menyeret Bank Dunia. Lembaga internasional tersebut mengucurkan dana untuk membantu "kamp cuci otak" di sana.

Adalah anggota parlemen AS yang pertama mengangkat kekhawatiran bahwa dana pembayar pajak AS yang dipinjamkan melalui Bank Dunia ke China bakal berakhir untuk mendanai program Beijing yang melanggar HAM dan menciptakan ketidakadilan ekonomi secara global.

"Menurut saya, kebanyakan warga Amerika bakal mempertanyakan kenapa uang pajak mereka tersalur sebagai utang berbunga rendah ke China. Di China ada temuan bukti yang banyak dan bertambah mengenai pelanggaran HAM di Xinjiang, termasuk kamp penahanan massal," kata Ketua Komite Keuangan Senat Chuck Grassley dalam pidato di Senat pada Kamis (5/12/2019).

Chuck mengklaim bahwa kamp itu terindikasi menjadi pusat kontrol sosial dan indoktrinasi politik. Beijing, masih menurut dia, memperlakukan tahanan secara semena-mena, menyiksa dan mewajibkan mereka ikut kerja paksa, dan melepas agama serta budaya mereka.

"Namun, Bank Dunia telah memberikan dukungan berupa Proyek Pelatihan dan Edukasi Kejuruan-Keahlian di Xinjiang," tuturnya.  "Institusi seperti Bank Dunia berkewajiban menelaah penuh risiko kritis terkait HAM dan kebebasan beragama, seperti yang ada Xinjiang dan di wilayah manapun mereka menyalurkan pinjamannya."

Secara umum, senator asal Iowa tersebut menyoroti Kerangka Kerja Sama Bank Dunia dengan China yang di dalamnya memasukkan utang senilai US$ 1,5 miliar kepada pemerintah China, dan sekitar US$ 800 juta-US$ 1 miliar kepada investasi swasta, setiap tahunnya.

Presiden AS Donald Trump meramaikan isu tersebut dua hari kemudian. "Kenapa Bank Dunia meminjamkan uang ke China? Mungkinkah itu mungkin? China punya banyak uang, dan kalaupun tidak, mereka bisa buat sendiri. STOP!," tulis Trump di Twitternya, Sabtu (7/12/2019).

Namun berbeda dari Trump, Chuck yang juga politisi Republiken ini lebih spesifik menyoroti isu Xinjiang. Dia mengingatkan Bank Dunia untuk kembali pada tujuan awal pembentukannya yakni menolong pembangunan ekonomi negara miskin dan mematuhi standar kerangka kerja sosial yang dibentuknya.

"Ketika melakukan penelaahan dampak dan risiko sosial, Bank Dunia harus menelaah ancaman terhadap keamanan manusia dan dampaknya terhadap kesehatan, keamanan dan kelayakan hidup pekerja serta komunitas yang terdampak oleh proyeknya," tegas politisi gaek tersebut.

Isu pelanggaran Ham di Xinjiang sebenarnya bukanlah hal yang baru. Isu ini sempat muncul pada tahun 2009 ketika terjadi kerusuhan etnis antara suku Han (pendatang dari China Daratan) dan suku asli Uighur.

Bank Dunia sejak 1982 telah memberikan utang kepada China lewat skema International Bank and Reconstruction Development (IBRD). Sejak saat itu sampai dengan tahun ini, Kementerian Keuangan China mendapatkan 460 pinjaman Bank Dunia, separuh di antaranya telah dilunasi.

Bisa dibilang, setiap bulan sekali Bank Dunia mengucurkan utang untuk Negeri Tirai Bambu tersebut. Bunga yang dibebankan berkisar antara 3%-11%, dengan rata-rata bunga sebesar 5% setiap tahunnya.

Ketika hubungan AS dan China memanas dengan dilancarkannya perang dagang sejak tahun lalu, isu pelanggaran HAM di Xinjiang pun mengemuka di pemberitaan media Barat. Kali ini, isunya adalah “kamp penyiksaan” atau “kamp cuci otak” terhadap kaum minoritas muslim di Xinjiang.

Bank Dunia kena getahnya karena kedapatan mengucurkan utang US$ 50 juta (Rp 700 miliar), sejak 2015 untuk mendukung “sekolah ketenagakerjaan dan kejuruan (vokasi) di Xinjiang”. Nilai pinjaman itu sebenarnya kecil, kurang dari 1% dari total pembiayaan Bank Dunia bagi Negeri Panda.

Lembaga yang dipimpin David R, Malpass ini membantu China dari sisi kurikulum, pengembangan tim pengajar berkualitas tinggi, dan memastikan bekal yang didapatkan peserta benar-benar sesuai dengan kebutuhan kerja di Xinjiang. Ada kelas yang lamanya tiga tahun dan ada yang lima tahun.

Ketika isu “kamp penyiksaan” muncul pada Agustus, Bank Dunia memberikan klarifikasi terkait itu. Dalam pernyataan resmi pada 29 Agustus, mereka menyatakan memiliki misi supervisi, pengawasan, dan evaluasi dua kali setahun terhadap proyek yang dijalankan.

“Tak ada bukti yang ditemukan dari kajian tersebut bahwa dananya dialihkan, disalahgunakan, atau digunakan untuk aktivitas yang tak sejalan dengan tujuan proyek atau kebijakan dan prosedur Bank Dunia,” demikian tulis lembaga Brettonwood tersebut.

Setelah review kedua, Bank Dunia dalam keterangan resminya pada 5 November tetap bersikukuh bahwa tidak ada dana yang tersalurkan ke “kamp penyiksaan”. Dengan kata lain, Bank Dunia sebarisan dengan Beijing menegaskan bahwa kamp yang dimaksud tak lain adalah fasilitas pelatihan ketenagakerjan dan vokasi.

Mereka mengklaim telah mengirim manajer seniornya untuk turun langsung ke Xinjiang, mengkaji ulang dokumen proyek, diskusi dengan staf proyek, dan mengunjungi fasilitas yang dimaksud, serta para pihak ketiga yang terlibat proyek fasilitas vokasi di Xinjiang tersebut.

“Hasil kajian kami tidak menemukan apa yang dituduhkan,” tegas Bank Dunia. Hanya saja, untuk langkah pencegahan, mereka mengaku telah menghentikan pencairan dana untuk program tersebut dan memangkas proyek yang “melibatkan mitra sekolah di Xinjiang”.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular