RI Impor Bibit Induk Ayam Tak Terkendali, Peternak Resah

Efrem Siregar, CNBC Indonesia
19 December 2019 14:33
Peternak mendesak ada pemangkasan kuota impor GPS atau induk dari indukan ayam.
Foto: Pekerja memeriksa telur yang dihasilkan dari peternakan ayam petelur di Desa Bandungrejo, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, Kamis (10/10/2019). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Para peternak skala kecil di bawah perhimpunan Insan Perunggasan Rakyat (Pinsar Indonesia) resah dengan impor Grand Parent Stock (GPS) atau bibit induk ayam yang tak dikendalikan.

Mereka mendesak Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo untuk meninjau ulang alokasi impor GPS ayam broiler atau potong, kepada beberapa perusahaan yang tidak memenuhi ketentuan Permentan 32/2017 tentang Penyediaan, Peredaran, dan Pengawasan Ayam Ras dan Telur Konsumsi.

Ketua Umum PINSAR Indonesia Singgih Januratmoko mengatakan tindakan harus dilakukan untuk mengantisipasi kelebihan pasokan yang selama ini merugikan peternak.

Singgih mengatakan setidaknya ada lima perusahaan yang tidak atau belum memiliki Rumah Pemotongan Hewan Unggas (RPHU) seperti yang disyaratkan oleh UU 14/200 dan Permentan 32/2017. Kondisi itulah yang menyebabkan gejolak di peternak mandiri karena mereka harus bersaing dengan perusahaan besar di pasar becek.

"Sebagai langkah law enforcement, Menteri Pertanian Harus mengurangi 50% jatah impor GPS kepada perusahaan yang tidak patuh," kata Singgih dalam keterangan resminya, Kamis (19/12).

Pada UU No 41 tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan disebutkan setiap produk hewan yang beredar wajib memiliki sertifikat NKV (Nomor Kontrol Veteriner) dan Sertifikat Halal.

Untuk mendapatkan kedua sertifikat tersebut maka hewan ternak, termasuk unggas harus disembelih di RPHU yang berstandar. Ketentuan itu juga diatur dalam PP No 95 tahun 2012 serta Permentan No 32 tahun 2018. Singgih memang mengakui belum semua perusahaan perunggasan maupun peternak mandiri yang menjalankan regulasi-regulasi tersebut.

"Tapi pada tahap awal sudah harus dilakukan oleh perusahaan integrator, minimal 20% sampai 30% dari total produksinya dipotong di RPHU sendiri," katanya.

Ia bilang harga ayam broiler sepanjang tahun 2019 menunjukkan harga masih di bawah harga pokok produksinya sehingga usaha peternak dipastikan mengalami kerugian besar.

"Karena itu kami mengajukan usulan ke perintah untuk diperhatikan dan dilaksanakan," katanya.



Pertama, pada Januari 2020 perlu dilakukan cutting produksi DOC broiler dengan cara pemusnahan telur HE umur 19 hari sejumlah 20 juta butir/ minggu.

Kedua, afkir Parent Stock umur 55 Minggu bagi breeder yang memiliki populasi di atas 500 ribu, dan Afkir PS umur 60 minggu bagi breeder dengan populasi di bawah 400 ribu.

Ketiga, importasi GPS untuk 2020 Pinsar Indonesia mengusulkan 626.000 ekor berdasarkan proyeksi serapan hitungan BPS.

[Gambas:Video CNBC]


(hoi/hoi) Next Article Peternak Curhat Rugi Rp 2 T Gara-Gara Harga Ayam Anjlok

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular