
Jokowi Mau Avtur Dari Minyak Sawit, Emang Bisa? Cek Faktanya!
Anisatul Umah & Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 December 2019 15:27

Jakarta, CNBC Indonesia - Beberapa waktu lalu Presiden RI Joko Widodo kembali mengungkapkan kekesalannya soal impor bahan bakar salah satunya avtur. Jokowi menilai padahal potensi minyak sawit dalam negeri dapat dimanfaatkan untuk mengurangi impor bahan bakar.
Ungkapan kekesalan tersebut diungkapkan Jokowi saat pembukaan Musrenbangnas RPJMN 2020-2024 di kompleks Istana Kepresidenan beberapa hari lalu.
"Tidak benar ini, avtur masih impor. Padahal CPO bisa dipindah jadi avtur, kok kita senang impor ya karena ada yang hobinya impor. Karena apa, untungnya gede" kata Joko Widodo
Avtur merupakan bahan bakar untuk pesawat jet biasanya terbuat dari kerosin. Pertanyaannya, apakah benar minyak sawit dapat digunakan untuk pembuatan avtur?
Dalam beberapa tahun terakhir, orang Indonesia mulai banyak yang memilih bepergian lewat jalur udara. Bepergian menggunakan pesawat mulai jadi kebiasaan. Hal ini mendorong kebutuhan bahan bakar pesawat meningkat.
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak tahun 2008-2018 konsumsi avtur dalam negeri terus meningkat. Konsumsi avtur dalam lima tahun terakhir tumbuh dengan laju rata-rata 7,8% per tahun (CAGR). Pada 2018 konsumsi avtur mencapai 5,72 juta kilo liter.
Untuk mencukupi kebutuhan avtur, produksi dalam negeri terus ditingkatkan. Saat ini kilang minyak milik Pertamina yang dapat memproduksi avtur adalah kilang Plaju dan kilang Cilacap.
Produksi avtur dalam negeri sejak 2014 terus tumbuh dengan laju 7,2% (CAGR). Tahun lalu produksi avtur dan JP5 mencapai 26,3 juta barel atau setara dengan 4,18 juta kilo liter. Jumlah tersebut belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Impor avtur menjadi tak terelakkan. Lima tahun lalu atau tepatnya di tahun 2014, Indonesia mengimpor 980.000 kilo liter avtur. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2008-2018), impor avtur tertinggi tercatat di tahun 2017 yang mencapai 1,87 juta kilo liter. Kemudian impor menurun di tahun 2018 mencapai 1,47 juta kilo liter.
Impor inilah yang membuat RI-1 kesal karena menjadi beban untuk neraca migas dan transaksi berjalan tanah air. Namun Pertamina mengklaim sudah tidak mengimpor avtur tahun ini. Sejak Mei 2019, Pertamina sudah stop impor avtur. Penghentian impor ini karena ada optimalisasi di 2 kilang Pertamina yakni Plaju dan Cilacap. Untuk Avtur, bahkan Pertamina mengaku sudah ekspor. "Dan avtur sudah ekspor kalau dihitung Rp 12,7 triliun, jadi kontribusi yang kita berikan untuk meringankan CAD 2019 sudah mulai terlihat," kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, pekan lalu.
Kembali ke permasalahan utama terkait pemanfaatan minyak sawit untuk pembuatan bioavtur. Sebenarnya wacana ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Wacana ini sempat menyeruak di tahun 2016.
Saat ini Pertamina bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung untuk mengembangkan bahan bakar nabati bioavtur dari minyak sawit. Jenis minyak sawit yang digunakan untuk pembuatan avtur adalah minyak inti sawit atau Palm Kernell Oil (PKO).
Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia memproduksi 4,72 juta ton PKO tahun lalu dari inti sawit yang tersedia sebanyak 11,36 juta ton. Produksi PKO tumbuh 5,7% (CAGR) sejak tahun 2014.
PKO banyak digunakan di industri oleokimia, pemanfaatannya ditaksir mencapai 2,6 juta ton untuk periode 2019/2020 menurut studi yang dilakukan oleh USDA. PKO digunakan untuk berbagai macam produk mulai dari kosmetik, perawatan tubuh, pembersih perabot rumah tangga hingga produk farmasi.
Sebanyak 80% PKO Indonesia yang diekspor dalam bentuk mentah ke negara seperti China, AS dan Brazil. Sementara produk olahan PKO diekspor ke Uni Eropa, India dan Malaysia.
Jika PKO dimanfaatkan untuk jadi avtur akan memberikan nilai tambah bagi komditas ini dan tentu baik bagi perekonomian karena selain dapat mengurangi impor tetapi juga akan ada hilirisasi industri berbasis komoditas unggulan Indonesia.
Perkambangan terakhir Pertamina dan ITB akan melakukan uji coba avtur nabati di kilang Refinery Unit IV Cilacap. Rencananya uji coba menggunakan minyak inti sawit (PKO)tersebut akan dilakukan pada Februari 2020 mendatang.
Guru Besar Teknik Reaksi Kimia dan Katalis (TRKK) ITB Subagjo mengatakan pihaknya telah mengembangkan uji coba perdana (pilot project) avtur nabati di ITB. "Nanti Februari kami diberi kesempatan oleh Pertamina untuk uji coba skala komersial," katanya, pada September lalu, melansir CNN Indonesia.
Subagjo melanjutkan, pada uji coba tersebut, produksi avtur di RU IV Cilacap dialokasikan untuk bioavtur sekitar 2-5 persen. Jadi memang penggunaan minyak sawit untuk avtur memiliki banyak manfaat. Penggunaan bahan bakar nabati untuk industri pesawat terbang sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan beberapa pesawat sudah menggunakan bioavtur sebagai bahan bakar campurannya. Salah satu contohnya adalah maskapai Finlandia Finnair.
Melansir Aviationweek, Finnair terbang dari San Francisco ke Helsinki pada awal Agustus lalu menggunakan bahan bakar nabati. Penerbangan dengan Airbus A330 ini menggunakan campuran 12% bahan bakar nabati
Tak hanya Finnair, maskapai penerbangan Mesir juga memesan pesawat yang menggunakan bahan bakar nabati. Pada Juli 2019, pabrikan pesawat AS, Boeing menerbangkan pesawatnya Dreamliner 787-9 dari Seattle ke Kairo menggunakan bahan bakar nabati. Penerbangan sejauh 10.973 kilometer untuk Egypt Air merupakan penerbangan 787 terpanjang yang dilakukan menggunakan bahan bakar nabati.
Dua tahun lalu bahkan maskapai tanah air Lion Air sudah bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk mengembangkan dan melakukan uji coba pemanfaatan bioavtur.
Namun, semuanya masih sekedar uji coba. Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan sebelum menerapkan bioavtur pastinya pemerintah akan uji coba terlebih dulu dengan mesin pesawat. Sama halnya saat menerapkan B20 atau B30 yang diujicoba sampai ke alat-alat berat.
Tapi Joko belum bisa memastikan kapan uji coba akan dilaksanakan, "Nanti, pokoknya secepatnya," kata dia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/gus) Next Article Pertamina Uji Coba Avtur Pakai Minyak Sawit Tahun Depan!
Ungkapan kekesalan tersebut diungkapkan Jokowi saat pembukaan Musrenbangnas RPJMN 2020-2024 di kompleks Istana Kepresidenan beberapa hari lalu.
"Tidak benar ini, avtur masih impor. Padahal CPO bisa dipindah jadi avtur, kok kita senang impor ya karena ada yang hobinya impor. Karena apa, untungnya gede" kata Joko Widodo
Dalam beberapa tahun terakhir, orang Indonesia mulai banyak yang memilih bepergian lewat jalur udara. Bepergian menggunakan pesawat mulai jadi kebiasaan. Hal ini mendorong kebutuhan bahan bakar pesawat meningkat.
Menurut laporan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sejak tahun 2008-2018 konsumsi avtur dalam negeri terus meningkat. Konsumsi avtur dalam lima tahun terakhir tumbuh dengan laju rata-rata 7,8% per tahun (CAGR). Pada 2018 konsumsi avtur mencapai 5,72 juta kilo liter.
Untuk mencukupi kebutuhan avtur, produksi dalam negeri terus ditingkatkan. Saat ini kilang minyak milik Pertamina yang dapat memproduksi avtur adalah kilang Plaju dan kilang Cilacap.
Produksi avtur dalam negeri sejak 2014 terus tumbuh dengan laju 7,2% (CAGR). Tahun lalu produksi avtur dan JP5 mencapai 26,3 juta barel atau setara dengan 4,18 juta kilo liter. Jumlah tersebut belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Impor avtur menjadi tak terelakkan. Lima tahun lalu atau tepatnya di tahun 2014, Indonesia mengimpor 980.000 kilo liter avtur. Dalam kurun waktu sepuluh tahun (2008-2018), impor avtur tertinggi tercatat di tahun 2017 yang mencapai 1,87 juta kilo liter. Kemudian impor menurun di tahun 2018 mencapai 1,47 juta kilo liter.
Impor inilah yang membuat RI-1 kesal karena menjadi beban untuk neraca migas dan transaksi berjalan tanah air. Namun Pertamina mengklaim sudah tidak mengimpor avtur tahun ini. Sejak Mei 2019, Pertamina sudah stop impor avtur. Penghentian impor ini karena ada optimalisasi di 2 kilang Pertamina yakni Plaju dan Cilacap. Untuk Avtur, bahkan Pertamina mengaku sudah ekspor. "Dan avtur sudah ekspor kalau dihitung Rp 12,7 triliun, jadi kontribusi yang kita berikan untuk meringankan CAD 2019 sudah mulai terlihat," kata Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati, pekan lalu.
Kembali ke permasalahan utama terkait pemanfaatan minyak sawit untuk pembuatan bioavtur. Sebenarnya wacana ini sudah ada sejak beberapa tahun lalu. Wacana ini sempat menyeruak di tahun 2016.
Saat ini Pertamina bekerja sama dengan Institut Teknologi Bandung untuk mengembangkan bahan bakar nabati bioavtur dari minyak sawit. Jenis minyak sawit yang digunakan untuk pembuatan avtur adalah minyak inti sawit atau Palm Kernell Oil (PKO).
Sebagai produsen sawit terbesar di dunia, Indonesia memproduksi 4,72 juta ton PKO tahun lalu dari inti sawit yang tersedia sebanyak 11,36 juta ton. Produksi PKO tumbuh 5,7% (CAGR) sejak tahun 2014.
PKO banyak digunakan di industri oleokimia, pemanfaatannya ditaksir mencapai 2,6 juta ton untuk periode 2019/2020 menurut studi yang dilakukan oleh USDA. PKO digunakan untuk berbagai macam produk mulai dari kosmetik, perawatan tubuh, pembersih perabot rumah tangga hingga produk farmasi.
Sebanyak 80% PKO Indonesia yang diekspor dalam bentuk mentah ke negara seperti China, AS dan Brazil. Sementara produk olahan PKO diekspor ke Uni Eropa, India dan Malaysia.
Jika PKO dimanfaatkan untuk jadi avtur akan memberikan nilai tambah bagi komditas ini dan tentu baik bagi perekonomian karena selain dapat mengurangi impor tetapi juga akan ada hilirisasi industri berbasis komoditas unggulan Indonesia.
Perkambangan terakhir Pertamina dan ITB akan melakukan uji coba avtur nabati di kilang Refinery Unit IV Cilacap. Rencananya uji coba menggunakan minyak inti sawit (PKO)tersebut akan dilakukan pada Februari 2020 mendatang.
Guru Besar Teknik Reaksi Kimia dan Katalis (TRKK) ITB Subagjo mengatakan pihaknya telah mengembangkan uji coba perdana (pilot project) avtur nabati di ITB. "Nanti Februari kami diberi kesempatan oleh Pertamina untuk uji coba skala komersial," katanya, pada September lalu, melansir CNN Indonesia.
Subagjo melanjutkan, pada uji coba tersebut, produksi avtur di RU IV Cilacap dialokasikan untuk bioavtur sekitar 2-5 persen. Jadi memang penggunaan minyak sawit untuk avtur memiliki banyak manfaat. Penggunaan bahan bakar nabati untuk industri pesawat terbang sebenarnya bukan hal yang baru. Bahkan beberapa pesawat sudah menggunakan bioavtur sebagai bahan bakar campurannya. Salah satu contohnya adalah maskapai Finlandia Finnair.
Melansir Aviationweek, Finnair terbang dari San Francisco ke Helsinki pada awal Agustus lalu menggunakan bahan bakar nabati. Penerbangan dengan Airbus A330 ini menggunakan campuran 12% bahan bakar nabati
Tak hanya Finnair, maskapai penerbangan Mesir juga memesan pesawat yang menggunakan bahan bakar nabati. Pada Juli 2019, pabrikan pesawat AS, Boeing menerbangkan pesawatnya Dreamliner 787-9 dari Seattle ke Kairo menggunakan bahan bakar nabati. Penerbangan sejauh 10.973 kilometer untuk Egypt Air merupakan penerbangan 787 terpanjang yang dilakukan menggunakan bahan bakar nabati.
Dua tahun lalu bahkan maskapai tanah air Lion Air sudah bekerja sama dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) untuk mengembangkan dan melakukan uji coba pemanfaatan bioavtur.
Namun, semuanya masih sekedar uji coba. Plt Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian ESDM Djoko Siswanto mengatakan sebelum menerapkan bioavtur pastinya pemerintah akan uji coba terlebih dulu dengan mesin pesawat. Sama halnya saat menerapkan B20 atau B30 yang diujicoba sampai ke alat-alat berat.
Tapi Joko belum bisa memastikan kapan uji coba akan dilaksanakan, "Nanti, pokoknya secepatnya," kata dia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/gus) Next Article Pertamina Uji Coba Avtur Pakai Minyak Sawit Tahun Depan!
Most Popular