Pak Jokowi, Bebenah CAD RI Tak Cukup Cuma Bangun Kilang!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
17 December 2019 16:30
Pak Jokowi, Bebenah CAD RI Tak Cukup Cuma Bangun Kilang!
Foto: Topik/Kilang Minyak/Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo tak henti-hentinya mengungkapkan kejengkelannya terkait pembangunan kilang yang tak berjalan dalam tiga puluh tahun terakhir.

Membangun kilang memang penting untuk kemandirian energi tanah air, tetapi kalau konsumsi masih tinggi dan tidak diimbangi produksi masih ada risiko impor pasokan minyak mentah yang membayangi CAD. 

Pembangunan kilang minyak memang sudah jadi agenda prioritas Jokowi sejak dilantik pada 2014 lalu. Namun nyatanya hingga hingga periode pertama kepemimpinannya tak satu pun kilang minyak terbangun.

Pembangunan kilang kilang minyak sebenarnya termasuk dalam pembangunan infrastruktur prioritas, baik itu yang sifatnya membangun kilang minyak baru dengan kapasitas tertentu (grassroot) maupun proyek pengembangan kilang yang sudah ada (RDMP).

[Gambas:Video CNBC]

Sampai saat ini pemerintah menargetkan untuk melakukan revitalisasi serta pembangunan kilang baru. Pengembangan dan pembangunan kilang ini dimaksudkan untuk meningkatkan kapasitas kilang.

Berdasarkan data Pertamina, jika proyek pengembangan dan pembangunan kilang minyak direalisasikan maka kapasitas tersebut meningkat menjadi 2 juta barel per hari (bph). Dengan dana Rp 643 triliun kapasitas kilang dapat di upgrade menjadi 2x sehingga dampak ekonominya tentu akan lebih terasa dan dapat menekan impor.

Proyek

Kapasitas (Kbpd)

Nilai Investasi (IDR Triliun)

Revitalisasi/RDMP

1340

246.22

Grass Root Refinery

600

396.9

Sumber : Laporan Tengah Tahun Pertamina, KPPIP

Pada dasarnya minyak mentah yang baru diangkat dari sumur atau ladang minyak akan dibawa ke kilang karena tidak langsung dapat digunakan. Kilang minyak punya peran penting dalam mengubah minyak mentah menjadi berbagai jenis produk.

Produk yang dihasilkan dari kilang antara lain BBM seperti Premium, Bahan Bakar Khusus (BBK) seperti Avtur dan Pertamax, Non-BBM seperti LPG, produk petrokimia seperti polypropilene dan nafta.

Di tahun 2019 terhitung sejak Januari sampai akhir November impor hasil minyak turun 23,7% (yoy) Indonesia menjadi US$  12,4 miliar. Turun drastis dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai US$ 16,3 miliar.

Impor minyak mentah juga turun di tahun ini. Impor minyak mentah anjlok 42,4% (yoy) menjadi US$ 5 miliar di sepanjang Januari-November tahun ini. Pada periode yang sama tahun lalu impor minyak mentah US$ 8,69 miliar. 

Ini salah satunya dikarenakan kebijakan Kementerian ESDM yang mewajibkan Pertamina untuk membeli minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri. 

Jadi kalau dibandingkan impor minyak mentah dan hasil minyak nilainya lebih besar impor hasil minyak. Nilai impor hasil minyak nilainya hampir dua kali impor minyak mentah dalam dua tahun terakhir.

Jadi membangun kilang minyak dapat mengurangi impor hasil minyak. Namun untuk mengurangi impor minyak mentah dibutuhkan agenda lain yaitu eksplorasi dan eksploitasi.

Eksplorasi dimaksudkan untuk menemukan ladang minyak baru sehingga meningkatkan cadangan minyak RI. Sementara eksploitasi lebih pada proses produksi minyak itu sendiri alias mengambil minyak dari sumur atau ladang.

Menurut data SKK migas, saat ini masih ada 128 cekungan dan baru ada 54 yang dieksplorasi. Dari 54 cekungan yang dieksplorasi 18 sudah mulai berproduksi. Cadangan minyak Indonesia yang tercatat saat ini 3,8 miliar barel.

Lalu, dari sisa cekungan yang belum dieksplorasi yakni sebanyak 74 cekungan menyimpan potensi minyak 7,5 miliar barel. Hal ini mengindikasikan Indonesia masih punya potensi.

Terkait eksploitasi, mengingat sumur dan ladang minyak RI sudah menua maka kapasitas lifting minyak semakin menurun. Saat ini lifting minyak dalam negeri hanya sampai 750 ribu barel per hari (bpd).

Jika tak melakukan apa-apa beberapa tahun ke depan lifting minyak bisa jadi setengahnya. Padahal konsumsi minyak orang Indonesia sudah mencapai 1,5 juta bpd. Artinya impor minyak Indonesia sehari mencapai 700-800 ribu bpd. Hal tersebut juga disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi.

"Impor minyak kita kurang lebih sekarang ini 700 ribu-800 ribu barel. Betul Pak Menteri? Kurang lebih ya, per hari. Jangan mikir per tahun. Baik itu, minyak baik itu gas. Dan ada turunan Petrokimia," tutur Jokowi di Istana Negara, Jakarta, Senin (16/12/2019).

Tak hanya berhenti di situ pemerintah juga perlu mendorong kebijakan bauran energi yang lebih luas dengan mempertimbangkan potensi yang Indonesia miliki. Sumber energi baru dan terbarukan (EBT) harus didorong. Saat ini salah satu contohnya adalah program B20 dan B30 tahun depan.

Bahan bakar nabati seperti biodiesel pada B30 menggunakan campuran 30% minyak nabati seperti minyak sawit dan 70% sisanya minyak diesel biasa. Keuntungan dari program ini adalah selain mengurangi impor migas juga memperkuat pasar domestik mengingat Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia.

Pemerintah juga perlu mendorong proyek-proyek lain seperti gasifikasi batu bara sehingga impor LPG dapat ditekan. Padahal batu bara juga dapat dikonversi menjadi gas. Saat ini Pertamina sedang bekerja sama dengan PT Bukit Asam (PTBA) untuk proyek gasifikasi batu bara menjadi DME yang digadang-gadang dapat jadi substitusi LPG. Walau nilai keekonomisannya masih rendah dibanding LPG tetapi ini adalah potensi yang harus jadi salah satu agenda ke depan. 

Pemerintah juga harus benar-benar tegas terkait subsidi "BBM" yang tak tepat sasaran. Seperti yang telah diketahui, pada tahun 2018 Presiden Jokowi mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 43 Tahun 2018.

Adanya peraturan tersebut membuat Pertamina bisa menjual BBM dengan harga eceran di bawah harga pokok produksi (HPP) dengan adanya biaya kompensasi dari pemerintah.


Berdasarkan Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2018, pemerintah masih punya 'Utang Selisih harga kepada Pertamina' sebesar Rp 47,6 triliun per 31 Desember 2018. Utang tersebut merupakan belanja yang masih harus dibayar dan merupakan kewajiban yang harus segera diselesaikan kepada pihak terutang dalam waktu kurang dari 12 bulan.

Itu artinya pemerintah masih punya anggaran untuk mensubsidi Premium, meskipun dalam APBN 2018 tidak disebutkan dengan eksplisit. Bila dihitung-hitung, seharusnya anggaran subsidi BBM tahun 2018 mencapai Rp 82,6 triliun. Utang pemerintah terhadap Pertamina untuk subsidi ini cenderung membebani kemampuan finansial perusahaan jika molor dibayar. Padahal dengan nilai sebesar itu tentunya dapat dialokasikan untuk hal lain yang lebih bermanfaat.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(twg/gus) Next Article Ini Curhat Jokowi Soal 30 Tahun Tak Ada Kilang Baru

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular