Pengaduan Konsumen Naik di 2019, Terbanyak Sektor Perumahan
16 December 2019 14:29

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) menerima 1.510 aduan konsumen sepanjang tahun 2019, naik dari tahun sebelumnya yang hanya 580 aduan.
Dari jumlah itu, kasus yang berhubungan dengan perumahan menjadi terbanyak, yaitu 1.370 kasus. Semetara sisanya berkaitan dengan jasa keuangan sebanyak 76 kasus, dan e-commerce sebanyak 12 kasus.
Koordinator Advokasi BPKN Rizal Halim menuturkan total kerugian dari kasus yang diadukan ditaksir mencapai Rp 3,35 triliun. Beberapa sudah selesai, namun masih banyak yang belum selesai ditangani.
"Ada beberapa yang sudah selesai. Seperti kasus Bumi Putera, ada lima pengadu uangnya dibalikkan, dan lima lagi sedang tahap negosiasi," kata Rizal dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2019 BPKN di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Untuk kasus perumahan, Rizal mengatakan pihaknya mesti berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dan OJK karena menyangkut pembiayaan dan perbankan. Ini yang menjadi kendala penyelesaian, karena ketika kasus sudah berkaitan dengan sektor pembiayaan, prosesnya agak rumit.
"Perumahan itu high regulated industry, seharusnya industri yang ketat pengawasannya harus lebih proper ketika melakukan aktivitas usaha," katanya.
Ia berharap kasus perumahan bisa segera diselesaikan, termasuk juga kasus asuransi Jiwasraya yang belakangan menjadi perbincangan di masyarakat.
"Kami berharap seluruh nasabah (Jiwasraya) yang tidak mendapatkan informasi atau kurang informasi bisa dikembalikan dananya," ucap Rizal.
Sertifikasi halal
Dalam kesempatan itu, BPKN juga menyinggung kewajiban sertifikasi halal terhadap makanan-minuman yang beredar di RI. Ketentuan yang berlaku sejak Oktober 2019 itu telah diatur dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Namun, ada yang menjadi catatan bagi BPKN. Persoalannya adalah kepastian untuk penerbitan sertifikasi halal.
"Kita memang sesuai UU JPH yang baru, Oktober sudah berlaku wajib sertifikasi halal yang sertifikatnya dikeluarkan BPJH di bawah Kemenag," kata Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Arief Sjafari.
"Namun sampai sekarang kelihatannya masih belum ada kepastian sehingga menjadi konsen BPKN," lanjutnya.
Dengan adanya kewajiban sertifikasi halal, maka ada jutaan perusahaan yang berurusan dengan BPJH. Sebelumnya, LPPOM MUI selama 30 tahun hanya mampu mencakup 40 ribu perusahaan untuk sertifikasi halal.
"Padahal data Gabung Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman, itu ada 1,6 juta usaha mikro yang wajib disertifikasi. Mau berapa lama?," tambahnya.
Oleh karena itu, BPKN mendorong agar kapasitas Lembaga Pemeriksa Halal ditambah untuk menghadapi banyak jumlah perusahaan yang membutuhkan sertifikasi halal.
"Begitu juga dengan sertifikasi auditor agar ditambah kapasitasnya," kata Arief.
(miq/miq)
Dari jumlah itu, kasus yang berhubungan dengan perumahan menjadi terbanyak, yaitu 1.370 kasus. Semetara sisanya berkaitan dengan jasa keuangan sebanyak 76 kasus, dan e-commerce sebanyak 12 kasus.
Koordinator Advokasi BPKN Rizal Halim menuturkan total kerugian dari kasus yang diadukan ditaksir mencapai Rp 3,35 triliun. Beberapa sudah selesai, namun masih banyak yang belum selesai ditangani.
"Ada beberapa yang sudah selesai. Seperti kasus Bumi Putera, ada lima pengadu uangnya dibalikkan, dan lima lagi sedang tahap negosiasi," kata Rizal dalam konferensi pers Catatan Akhir Tahun 2019 BPKN di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin (16/12/2019).
Untuk kasus perumahan, Rizal mengatakan pihaknya mesti berkoordinasi dengan Kementerian PUPR dan OJK karena menyangkut pembiayaan dan perbankan. Ini yang menjadi kendala penyelesaian, karena ketika kasus sudah berkaitan dengan sektor pembiayaan, prosesnya agak rumit.
"Perumahan itu high regulated industry, seharusnya industri yang ketat pengawasannya harus lebih proper ketika melakukan aktivitas usaha," katanya.
Ia berharap kasus perumahan bisa segera diselesaikan, termasuk juga kasus asuransi Jiwasraya yang belakangan menjadi perbincangan di masyarakat.
"Kami berharap seluruh nasabah (Jiwasraya) yang tidak mendapatkan informasi atau kurang informasi bisa dikembalikan dananya," ucap Rizal.
Sertifikasi halal
Dalam kesempatan itu, BPKN juga menyinggung kewajiban sertifikasi halal terhadap makanan-minuman yang beredar di RI. Ketentuan yang berlaku sejak Oktober 2019 itu telah diatur dalam UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal.
Namun, ada yang menjadi catatan bagi BPKN. Persoalannya adalah kepastian untuk penerbitan sertifikasi halal.
"Kita memang sesuai UU JPH yang baru, Oktober sudah berlaku wajib sertifikasi halal yang sertifikatnya dikeluarkan BPJH di bawah Kemenag," kata Koordinator Komisi Komunikasi dan Edukasi BPKN, Arief Sjafari.
"Namun sampai sekarang kelihatannya masih belum ada kepastian sehingga menjadi konsen BPKN," lanjutnya.
Dengan adanya kewajiban sertifikasi halal, maka ada jutaan perusahaan yang berurusan dengan BPJH. Sebelumnya, LPPOM MUI selama 30 tahun hanya mampu mencakup 40 ribu perusahaan untuk sertifikasi halal.
"Padahal data Gabung Asosiasi Pengusaha Makanan dan Minuman, itu ada 1,6 juta usaha mikro yang wajib disertifikasi. Mau berapa lama?," tambahnya.
Oleh karena itu, BPKN mendorong agar kapasitas Lembaga Pemeriksa Halal ditambah untuk menghadapi banyak jumlah perusahaan yang membutuhkan sertifikasi halal.
"Begitu juga dengan sertifikasi auditor agar ditambah kapasitasnya," kata Arief.
Artikel Selanjutnya
Simak! Barisan Aduan Konsumen 2019
(miq/miq)