Pak Jokowi, Sebenarnya Impor Migas RI Sudah Turun 29% Loh...

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
16 December 2019 14:47
Pak Jokowi, Sebenarnya Impor Migas RI Sudah Turun 29% Loh...
Foto: Topik/Kilang Minyak/Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Defisit neraca dagang minyak dan gas (migas) mengalami perbaikan pada periode Januari-November 2019 dibanding periode yang sama tahun lalu. Hal ini disebabkan oleh penurunan impor migas yang lebih dalam daripada penurunan ekspornya.

Ditinjau dari sisi ekspor, dalam periode sebelas bulan tahun ini ekspor ekspor migas turun 26% secara tahunan (yoy) terhadap periode yang sama tahun 2018.

Ekspor migas periode Januari-November 2019 mencapai US$ 11,4 miliar. Sementara pada periode yang sama tahun lalu nilai ekspor migas mencapai US$ 15,5 miliar.
  
Penurunan ekspor migas ini diakibatkan oleh menurunnya ekspor pengadaan gas dan minyak mentah. Sementara itu, ekspor migas untuk industri hasil pengolahan minyak justru mengalami kenaikan 14,85% (yoy) menjadi US$ 1,76 miliar.



Sementara itu dari sisi impor, dalam kurun waktu sebelas bulan tahun 2019, impor migas turun 29% (%) menjadi US$ 19,75 miliar. Penurunan impor migas diakibatkan oleh anjloknya impor minyak mentah dan hasil minyak.

Impor minyak mentah anjlok 42,4% (yoy) menjadi US$ 5 miliar di sepanjang Januari-November tahun ini. Pada periode yang sama tahun lalu impor minyak mentah US$ 8,69 miliar.  Ini salah satunya dikarenakan kebijakan Kementerian ESDM yang mewajibkan Pertamina untuk membeli minyak mentah dari Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) di dalam negeri. 

Impor hasil minyak juga turun drastis 23,7% (yoy). Impor hasil minyak periode Januari-November 2018 mencapai US$ 16,3 miliar. Impor tersebut turun menjadi US$ 12,4 miliar di tahun ini.
Defisit Neraca Migas RI Menipis, Pertanda Apa?Sumber : Badan Pusat Statistik

Jika melihat kondisi di atas, maka Indonesia sudah mulai mengurangi ketergantungan impor minyak dan hasil minyak. Namun impor migas Januari-November masih mencatatkan defisit yang besar yaitu US$ 8,3 miliar walau turun 33% dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai US$ 12,4 miliar.

Penurunan impor migas harus terus diupayakan agar neraca dagang dan transaksi berjalan tidak terus-terusan tekor, mengingat impor migas berkontribusi sebesar 16% dari total impor Indonesia tahun 2018.



[Gambas:Video CNBC]

Untuk terus mengurangi ketergantungan terhadap impor minyak mentah dan BBM, pemerintah perlu melakukan banyak hal. Mulai dari mengundang investasi di sektor migas untuk eksplorasi dan eksploitasi hingga melakukan revitalisasi dan pembangunan kilang minyak.

Eksploitasi bertujuan untuk mengekstrak minyak dari ladang atau sumur minyak. Tantangan sektor minyak Indonesia adalah lifting yang terus menurun akibat umur ladang dan fasilitas yang menua. Oleh karena itu upaya untuk meningkatkan lifting minyak seperti work-over & well-services (WOWS), enhanced oil recovery (EOR) harus terus digalakkan.

Untuk metode WOWS, tantangannya adalah efisiensi waktu dan jumlah aktivitas dan perbaikan sumur. Sementara untuk EOR, perlu untuk segera diimplementasikan di berbagai sumur minyak yang ada. Memang semuanya butuh waktu dan dana. Namun seharusnya hal itu bukan jadi halangan demi mewujudkan kemandirian energi.

Upaya lain adalah eksplorasi untuk menemukan ladang atau sumur minyak baru di Indonesia yang dapat meningkatkan cadangan minyak dalam negeri. Menurut data SKK migas, saat ini masih ada 128 cekungan dan baru ada 54 yang dieksplorasi.

Dari 54 cekungan yang dieksplorasi 18 sudah mulai berproduksi. Cadangan minyak Indonesia yang tercatat saat ini 3,8 miliar barel. Lalu, dari sisa cekungan yang belum dieksplorasi yakni sebanyak 74 cekungan menyimpan potensi minyak 7,5 miliar barel. Hal ini mengindikasikan Indonesia masih punya potensi.

Hal tersebut juga disampaikan oleh Kepala Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) Dwi Soetjipto.

"Jadi masih ada di dalam sana sebuah potensi sangat besar. Ke depan akan berubah paradigma dari lapangan onshore yang berumur tua, ke daerah lepas pantai dan laut dalam meskipun yang onshore ternyata masih punya potensi.” Kata Dwi dalam acara sarasehan migas nasional, di Kantor SKK Migas, Kamis (10/10/2019).

Upaya yang disebutkan di atas adalah untuk mengatasi masalah impor minyak mentah. Sementara Indonesia tak hanya mengimpor mentahannya saja tapi juga produk olahannya seperti BBM. Bahkan impor hasil olahan minyak nilainya jauh lebih besar. Nilai impor hasil minyak setara dua kali nilai impor minyak mentahnya.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, maka pembangunan kilang jadi solusinya. Sayang seribu sayang, dalam waktu hampir 30 tahun Indonesia tak membangun kilang. Hal ini yang membuat RI-1 geram. Bangun kilang untuk kemandirian energi tanah air hukumnya fadhu ain alias wajib.

Ke depan jika proyek peremajaan di lima kilang yang dimiliki Pertamina selesai dan pembangunan 2 kilang (grass root) rampung, maka kapasitas tambahannya meningkat dari yang sebelumnya 1 juta barel pe hari (bpd) menjadi 2 juta bpd.

Pemerintah harus benar-benar serius menyelesaikan masalah ini. Pasalnya ketika lifting minyak mentok di 750.000 bpd dan terus menurun, kapasitas kilang hanya 1 juta bpd sementara kebutuhan minyak per hari mencapai 1,5 juta bpd dan bahkan naik terus.

Kalau tidak segera diatasi, impor minyak akan semakin besar untuk menambal kebutuhan tanah air. Akibatnya neraca dagang migas dan transaksi berjalan kembali tertekan. Amit-amit!



TIM RISET CNBC INDONESIA
(twg/gus) Next Article Selamat, Pak Jokowi! Impor Minyak Sudah Turun

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular