Selain Cukai Naik, Aturan Ini Bikin Pengusaha Rokok Dongkol

Rahajeng Kusumo Hastuti, CNBC Indonesia
20 November 2019 20:46
Pengusaha rokok dongkol dengan rencana revisi peraturan soal pengendalian produk tembakau.
Foto: Ilustrasi Produk Rokok (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku industri hasil tembakau menolak adanya rencana revisi PP 109/2012, tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

Revisi PP ini dinilai bisa semakin mencekik industri, setelah kenaikan cukai sebesar rata-rata 23% pada 2020.

"Ide mengenai revisi PP 109/2019 sebaiknya tidak dilanjutkan," kata Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI), Soeseno, Rabu (20/11/2019).

Menurut dia yang akan merasakan dampak paling terakhir adalah petani tembakau. Soeseno mengatakan dalam kurun 2015-2018 konsumsi rokok telah turun 14 miliar batang. Jika diasumsikan setiap batang rokok butuh 1 gram tembakau, maka penyerapan tembakau petani sudah turun 14 ribu ton.



"Dulu PP ini kami tolak karena ada pasal yang potensial konflik. Kalau ada revisi, maka poin yang berpotensi memunculkan konflik akan kembali lagi. Kami menolak kalau ada revisi," tegasnya.

Jika terus ada tekanan regulasi, maka penyerapan tembakau dari petani akan semakin turun. Apalagi dengan kondisi produksi yang bagus namun harga turun, maka petani akan dirugikan.

Ketua Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI), Budidoyo Siswoyo pun senada menolak wacana revisi PP/109, karena bisa membunuh industri hasil tembakau. Selain itu, menurutnya tidak ada revelansinya revisi regulasi ini untuk mengurangi konsumsi rokok.

"Itu peta jalan akses Framework Convention On Tobacco Control (FCTC). Dari hari ke hari industri berhadapan dengan kebijakan yang tidak mendukung industri," kata Budidoyo.

Dia menilai pemerintah tidak adil memperlakukan industri hasil tembakau, apalagi dengan perannya sebagai penyumbang pemasukan negara.

"Di satu sisi duitnya terus diambil, pertumbuhan industri ini terus diawasi tidak boleh melebihi pertumbuhan penduduk. Padahal 70% yang menikmati industri ini pemerintah dari cukai, pajak," katanya.

Budidoyo mengatakan belum selesai kekhawatiran industri hasil tembakau, masih dibayangi oleh revisi PP 109/2019 yang berpotensi melemahkan industri. Tahun depan kenaikan cukai sebesar 23%, dan harga jual eceran 35%, hal ini berpotensi berdampak pada pemangkasan tenaga kerja.

"Kalau ada penurunan konsumsi, maka produksinya akan turun. Penurunan produksi 5% pada sigaret kretek tangan (SKT) berpotensi PHK sekitar 7.000 orang, sementara di Sigaret Kretek mesin (SKM) sekitar 400 orang," katanya.

Pengurangan tenaga kerja menurutnya merupakan antisipasi paling cepat yang dilakukan perusahaan.

Sementara itu, Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kemenkes Anung Sugihantono mengakui pemerintah sedang dalam proses revisi PP 109, salah satu yang akan direvisi adalah soal gambar seram pada kemasan rokok, komposisinya ditingkatkan lebih besar,

"Masih dalam proses harmonisasi antar lembaga di Kementerian Hukum dan HAM," kata Anung kepada CNBC Indonesia.

[Gambas:Video CNBC]


(hoi/hoi) Next Article 1 Februari 2021, Harga Rokok Resmi Naik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular