Ekonomi Dunia Kena 'Anemia', Waspada RI Terkena!

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
18 November 2019 16:56
Ekonomi Dunia Kena 'Anemia', Waspada RI Terkena!
Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - 'Anemia' kini mulai menjangkiti negara-negara mitra dagang dan investor Indonesia. Perang dagang Amerika Serikat (AS) vs China adalah biang keladinya.

Lemah, letih, lesu dan lunglai atau disingkat 4L adalah gejala penyakit kekurangan sel darah merah. Bahasa kerennya adalah anemia. Anemia kini telah menjangkiti berbagai negara di dunia. Banyak negara mulai kekurangan 'darah' dan jadi lemas.

Beberapa raksasa ekonomi global mulai kena anemia tahun ini. Kalau para raksasa ini lesu, roda perekonomian dunia pun akan ikut berjalan melambat. Tak terkecuali Indonesia.

Beberapa raksasa ekonomi yang terserang anemia adalah Amerika Serikat (AS), China, Jepang, Jerman, Hong Kong dan Singapura.


Pertumbuhan ekonomi AS terus mencatatkan penurunan. Pada kuartal I-2019, pertumbuhan ekonomi Paman Sam mencapai 3,1% mencapai target yang selalu dibanggakan oleh Presiden AS Donald Trump. Namun melambat di kuartal II dan III menjadi 2% dan 1,9%.

Tak jauh berbeda, rival dagang AS yaitu China juga mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi. Perang dagang yang telah berlangsung 16 bulan terakhir akhirnya mampu menjebol tembok pertahanan China yang terkenal kokoh.

Pada kuartal I tahun ini, ekonomi Negeri Panda mampu mencatatkan pertumbuhan sebesar 6,4%. Namun ekonomi China tumbuh melambat di kuartal ke II-2019 di angka 6,2% dan kembali melanjutkan perlambatan di kuartal III-2019 di angka 6%.

Pertumbuhan ekonomi China ini jauh di bawah pertumbuhan ekonomi China tahunan yang dalam 30 tahun terakhir tumbuh dobel digit. Tak hanya China, daerah otonom Hong Kong juga terjangkit anemia. Gelombang demo dan kerusuhan yang terus bergulir telah membuat ekonomi Hong Kong ambruk.

Pada kuartal I ekonomi Hong Kong tumbuh 0,6%, turun menjadi 0,4% di kuartal II. Seiring dengan tensi yang semakin panas dan demonstrasi semakin ricuh, Hong Kong harus merelakan pertumbuhan ekonominya terkontraksi -2,9% pada kuartal III.

Negara kawasan Asia Tenggara yang juga mitra strategis Indonesia tak luput terserang anemia. Pada kuartal I 2019 pertumbuhan ekonomi Singapura berada di angka 3,5%, kemudian terkontraksi menjadi -2,7% pada kuartal II dan mencoba bangkit di kuartal ketiga dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,6%.

AS dan Asia telah merasakan lesunya terkena anemia, Eropa juga turut merasakan loyonya ekonomi global. Raksasa ekonomi Eropa, Jerman tumbuh 0,5% pada kuartal I-2019. Pada kuartal II-2019, ekonomi Negeri Panser ambruk -0.2%. Ekonomi Jerman mencoba kembali bangkit pada kuartal III-2019 dengan mencatatkan pertumbuhan sebesar 0,1%.



Lebih ngeri lagi, ternyata negara-negara di atas merupakan negara mitra dagang sekaligus investor strategis Indonesia. Ketika perekonomian suatu negara mengalami turbulensi, guncangan ini akan dirasakan oleh negara lain juga karena perekonomian global dihubungkan oleh aktivitas perdagangan dan investasi.

Amerika Serikat, Jepang, China, Singapura, dan Jerman merupakan mitra dagang utama Indonesia. Pada 2018, nilai perdagangan Indonesia dengan keempat negara tersebut mencapai US$ 179,838 miliar. Namun akibat perlambatan ekonomi yang terjadi, aktivitas perdagangan terancam seret.

Sejak 2017-2018, ekspor Indonesia ke negara-negara tersebut tumbuh lebih rendah dibanding impornya. Perlu diketahui, nilai ekspor Indonesia ke AS tumbuh 3,6% sedangkan impor AS melesat hingga 25,3%. Pada periode yang sama ekspor Indonesia ke Jepang hanya tumbuh 9,4% sementara nilai impornya tumbuh 18%.

Impor China apalagi. Ketika nilai ekspor Indonesia ke China tumbuh mencapai 17,5%, impornya tumbuh lebih tinggi mencapai 27,3%. Nilai ekspor Indonesia ke Singapura cuma tumbuh 2,1%, tetapi di saat yang sama impor mencapai 26,9%.Tak jauh berbeda, ekspor Indonesia ke Jerman hanya tumbuh 1,6%, tetapi impor malah naik 12,3%.

Ini lah yang membuat neraca dagang Indonesia terancam. Pada periode 2017-2018, surplus neraca dagang Indonesia AS turun 14,7% dari US$ 9,67 miliar menjadi US$ 8,25 miliar. Surplus neraca dagang Indonesia dengan Jepang pun turun lebih tajam hingga 41,3% dari US$ 2,56 miliar menjadi hanya US$ 1,50 miliar pada periode yang sama.

Indonesia malah tekor dagang dengan Jerman, Singapura, dan China. Pada 2017, Indonesia defisit US$ 12,68 miliar kala berdagang dengan China. Jumlah tersebut melebar menjadi US$ 18,41 miliar pada 2018.

Tak jauh berbeda dengan China, hubungan dagang Indonesia-Jerman juga bikin tekor. Tercatat defisit dagang dengan Negeri Panser pada 2017 mencapai US$ 869,9 juta. Jumlah tersebut melebar menjadi US$ 1,26 miliar.



Penurunan surplus dan pelebaran defisit neraca dagang ini tak bisa terus dibiarkan. Di tengah isu perlambatan ekonomi global pemerintah perlu membatasi impor barang non-modal yang membanjiri Indonesia.

Karena kalau dibiarkan akan terus menekan neraca dagang dan ujung-ujungnya berakibat pada transaksi berjalan yang semakin tertekan dan membuat ekonomi menjadi semakin loyo. Pemerintah perlu memprioritaskan impor barang modal yang berorientasi ekspor.

Dari sisi ekspor, Indonesia juga masih bertumpu pada ekspor komoditas yang harganya berfluktuasi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), komoditas terbesar ekspor Indonesia adalah batu bara dan minyak sawit. Impor komoditas tersebut berkontribusi lebih dari seperempat total impor sepanjang Januari-Oktober 2019 ini.

Ekspor batu bara menyumbang sekitar 14,53% dari total ekspor Indonesia. Saat ini harga batu bara yang terpuruk seolah memberikan pukulan keras untuk perekonomian Indonesia. Sejak awal tahun hingga pekan kemarin, harga batu bara telah terkoreksi sebesar 32,3%.




Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan ekspor Oktober 2019 terkontraksi atau turun 6,13% year-on-year (YoY) dan impor turun 16,39% YoY. Ini membuat neraca perdagangan surplus US$ 160 juta.



Sulit untuk merayakan surplus neraca perdagangan ini, karena kinerja ekspor masih belum membaik. Kontraksi ekspor Oktober menggenapi penurunan ekspor yang terjadi selama 12 bulan alias setahun.



Tak hanya ekspor, impor juga turun, bahkan lebih dalam. Pada Oktober, impor bahan baku/penolong turun 18,76% YoY sementara impor barang modal turun 11,35%. Impor bahan baku dan barang modal akan berubah menjadi realisasi investasi dalam tempo beberapa bulan ke depan.



Secara bulanan (month-on-month/MoM), impor bahan baku/penolong masih naik 6,17%. Namun impor barang modal turun 5,87%. Dalam setahun terakhir, rata-rata pertumbuhan impor barang modal hanya 0,58% MoM, sementara bahan baku/penolong malah terkontraksi 0,96%.



Perkembangan impor bahan baku/penolong dan barang modal yang agak mengkhawatirkan ini membuat prospek investasi menjadi samar-samar. Apakah investasi mampu tumbuh 18,4% seperti pada kuartal III-2019?



Bersyukur karena neraca perdagangan Oktober bisa surplus memang boleh-boleh saja. Namun surplus ini jangan membuat kita terlena, karena ada risiko yang mengintai di baliknya.


Perekonomian global juga ditopang oleh aliran investasi. Dari enam negara yang terserang 'anemia', lima negara merupakan investor strategis Indonesia dengan nilai investasi yang sangat besar. Lima negara tersebut adalah China, Jepang, Hong Kong, Singapura dan AS yang termasuk dalam 10 negara dengan nilai investasi asing (PMA) terbesar di Indonesia.



Sepanjang sepuluh bulan awal tahun ini, Singapura telah mengucurkan sebesar US$ 5,38 miliar untuk investasi di Indonesia dan menjadi negara dengan nilai investasi terbesar di Indonesia. Kemudian di posisi kedua ada China dan Jepang menyusul di posisi ketiga dengan masing-masing nilai investasi mencapai US$ 3,31 miliar dan US$ 3,24 miliar.

Sementara itu Hong Kong dan AS menduduki peringkat kelima dan ketujuh. Nilai total investasi Hong Kong di Indonesia pada sepuluh bulan pertama mencapai US$ 1,75 miliar sementara nilai investasi AS mencapai US$ 760 juta.

Di saat perekonomian global berada dalam ketidakpastian, tentu investor akan lebih waspada dan menahan diri dalam menyalurkan dananya. Apalagi investasi asing (PMA) yang dananya cenderung tertahan lama di negara tempat uang dikucurkan.

Menurut studi yang dilakukan lembaga konsultan global AT Kearney, investor masih optimis dalam memandang perekonomian global. Namun optimisme investor mulai tergerus. Sebanyak 62% investor menyatakan bahwa mereka optimis terhadap perekonomian global. Optimisme ini menurun dibanding dengan tahun lalu yang mencapai 66%.

Walaupun investor masih optimis dan tetap memprioritaskan investasi asing, tetapi aliranPMA mencatatkan penurunan terutama akibat penurunanPMA di negara-negara maju.

Kabar baiknya adalah investor masih memandang perekonomian Asia-Pasifik tetap kuat. Seharusnya ini dapat dimanfaatkan oleh Indonesia untuk menarik investasi sebesar-besarnya untuk menyelamatkan perekonomian Indonesia.

Namun yang jadi masalah adalah iklim investasi di Indonesia masih belum dipandang kondusif dan business friendly. Birokrasi yang masih berbelit-belit serta sederet masalah lainnya membuat investor mulai mengeluh ketika berinvestasi di Indonesia.


Menurut studi AT Kearney, setidaknya ada 8 faktor terpenting investor mau meningkatkan jumlah investasi asing. Delapan faktor tersebut adalah ketersediaan target investasi yang berkualitas, kondisi makroekonomi, ketersediaan dana, toleransi terhadap risiko, aturan, biaya investasi, fluktuasi mata uang, dan nilai investasi minimal.

Sumber : AT Kearney

Ditinjau dari kondisi makroekonomi Indonesia, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2019 mencatatkan perlambatan. Pada kuartal I 2019 ekonomi tumbuh 5,07%. Angka tersebut turun menjadi 5,05% di kuartal II dan kembali turun di kuartal III 2019 menjadi 5,02%.



Ditinjau dari segi aturan. Investor masih melihat Indonesia sebagai negara dengan aturan yang kompleks tumpang tindih dengan birokrasi yang berbelit-belit. Dari sisi mata uang, volatilitas rupiah juga cenderung lebih tinggi dibanding dengan mata uang negara tetangga lainnya.

Dalam kurun waktu setahun terakhir, nilai standar deviasi imbal hasil rupiah yang disetahunkan mencapai 0,0513 masih lebih tinggi dibandingkan ringgit, baht dan yuan. Nilai fluktuasi yang tinggi mencerminkan risiko yang lebih tinggi juga untuk investor.



Indonesia harus mampu menarik hati investor dan meyakinkan mereka untuk memarkirkan uang nya di Indonesia. Terutama untuk sektor real yang jelas memberikan kontribusi nyata dalam meningkatkan perekonomian melalui serapan lapangan kerja yang tinggi.

Jadi kalau urusan dagang sudah tekor, jangan sampai urusan investasi juga tekor. Kalau urusan investasi juga tekor, bisa-bisa loyo atau kena anemia. Amit-amit!


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular