Serius Bakal Siap Berantem Jika CAD Sudah Beres, Pak Jokowi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 November 2019 11:47
Serius Bakal Siap Berantem Jika CAD Sudah Beres, Pak Jokowi?
Foto: Pidato Jokowi (CNBC Indonesia TV)
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (13/11/19) mengatakan belum berani berantem dalam hal perdagangan layaknya Amerika Serikat (AS) dengan China. Sebabnya, Indonesia masih memiliki penyakit defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) parah yang bertahun-tahun belum bisa dibereskan.

"CAD kita baik, defisit neraca perdagangan kita rampung, kalau mau berantem dengan negara manapun kita berani, karena stabilitas ekonomi makro kita stabil. Misalnya CPO kita ke Eropa di-banned kita mikir-mikir kalau dua ini sudah baik, yang nge-banned CPO itu, kita potong impor mobil dari sana. Berani kita," papar Jokowi di acara Rapat Koordinasi Nasional Indonesia Maju Pemerintah Pusat dan Forkopimda 2019, di Sentul, Bogor, Rabu (13/11/2019).



Sebelum Jokowi, Menteri Keuangan Sri Mulyani juga menyebut CAD yang melebar membuat ekonomi sulit untuk tumbuh tinggi.

"CAD menjadi faktor yang menghalangi kita tumbuh tinggi berkelanjutan. Kemarin rapat Presiden dengan Menko ekonomi dan Menko maritim-investasi membahas memperkuat perizinan dan industrialisasi dan bagaimana mendukung industri melalui instrumen yang kita launch dan evaluasi," kata Sri Mulyani di Ritz Carlton, Kamis (31/10/2019).

Untuk diketahui Current Account atau Transaksi Berjalan merupakan salah satu pos Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Data NPI dirilis oleh Bank Indonesia secara kuartalan. Selain Transaksi Berjalan, dua pos NPI lainnya yakni Transaksi Modal, dan Transaksi Finansial.

Transaksi Berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari tiga hal: ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.

Pos pendapatan primer meliputi transaksi penerimaan dan pembayaran kompensasi tenaga kerja, beserta dengan arus devisa dari hasil investasi (baik itu investasi langsung atau foreign direct investment/FDI, investasi portofolio, maupun investasi lainnya).

Kemudian, pos pendapatan sekunder mencakup penerimaan dan pembayaran transfer berjalan oleh sektor pemerintah dan sektor lainnya. Pos pendapatan sekunder mencakup pula transfer dari tenaga kerja (remitansi).

Dibandingkan dengan Transaksi Modal dan Transaksi Finansial, Transaksi Berjalan menjadi faktor penting lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dari pos transaksi lain yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Berdasarkan data dari BI, Transaksi Berjalan RI sudah mengalami defisit sejak kuartal IV-2011, dan nilainya terus membengkak. Berdasarkan rilis BI kala itu, penurunan ekspor barang akibat lemahnya permintaan dunia dan penurunan harga komoditas menjadi penyebab utama Transaksi Berjalan mengalami defisit. 

Pada kuartal III-2019, CAD tercatat sebesar 7,66 miliar atau 2,66% dari produk domestik bruto (PDB), membaik dari kuartal sebelumnya sebesar 2,93% dari PDB. 




Seperti yang disebutkan sebelumnya, Transaksi Berjalan menggambarkan arus masuk-keluar devisa yang datang dari tiga hal: ekspor-impor barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder. Jika kita melihat sejak tahun 2011, surplus neraca barang terus mengalami penurunan yang menjadi biang keladi CAD. 

Berdasarkan data dari BI di kuartal III-2019 ekspor barang tercatat sebesar US$ 43,637 miliar, naik dari kuartal sebelumnya US$ 40,206 miliar. Terlihat membaik, tetapi jika disandingkan dengan ekspor pada kuartal III-2018 US$ 47,707 miliar, tentunya masih jauh di bawah. 

Sementara impor pada kuartal III-2019 tercatat sebesar 42,382 miliar, sehingga surplus neraca barang sebesar US$ 1,255 miliar, meningkat dibandingkan periode April-Juni US$ 483 juta. Surplus tersebut lebih baik dari kuartal III-2018, tetapi jika melihat lebih ke belakang surplus ini menjadi yang terendah sejak periode yang sama tahun 2013. 



Masalah CAD memang dipicu oleh pos pendapatan ekspor-impor barang dan jasa. Pos pendapatan primer selalu membukukan defisit bahkan sebelum tahun 2011. Hal ini wajar karena FDI memang berkonsekuensi pada dikirimnya keuntungan usaha investor asing ke negara asalnya dalam bentuk dividen. Belum lagi keuntungan dari pasar modal.

Berbanding terbalik dengan pendapatan primer, pos pendapatan sekunder konsisten membukukan surplus, tetapi nilainya jauh lebih kecil dari defisit pendapatan primer. Jadi, ekspor harus digenjot lagi jika pemerintah ingin mengembalikan Transaksi Berjalan menjadi surplus.

Tanpa melakukan perang dagang saja ekspor Indonesia sudah loyo, apalagi jika perang dagang dilakukan tentunya akan bertambah parah. Memang jika melakukan perang dagang, impor juga akan berkurang, sehingga CAD masih bisa ditekan. 

Namun masalahnya, jika impor menurun, aktivitas sektor manufaktur tentunya akan melambat karena mayoritas bahan baku masih harus diimpor sehingga bisa menekan pertumbuhan ekonomi. Untuk diketahui, sektor manufaktur merupakan kontributor terbesar PDB berdasarkan lapangan usaha.

Data BPS menunjukkan sektor pengolahan menyumbang 19,62% atas PDB kuartal-III 2019. Namun sayangnya pertumbuhannya melambat ke 4,15%, dibandingkan pertumbuhan pada kuartal III-2018 sebesar 4,35%. Jika sektor manufaktur terus melambat, PDB Indonesia bisa jadi akan terus menurun. 

CAD memang menjadi penyakit bagi perekonomian RI, pembengkakan CAD tahun lalu memukul rupiah. Pada kuartal III dan IV-2018 CAD Indonesia berada di level 3,22% dan 3,58%, rupiah jeblok hingga melewati Rp 15.000/US$, atau level terlemah sejak krisis 1998.

Hal ini membuat BI menaikkan suku bunga secara agresif, sebanyak enam kali, pada tahun lalu guna meredam pelemahan rupiah sekaligus berusaha menekan CAD hingga ke kisaran 2,5%-3% dari PDB. BI berhasil membawa CAD kembali ke rentang 2,5%-3%, tetapi efek yang ditimbulkan perekonomian Indonesia mengalami pelambatan.

Pada awal pekan lalu, Presiden Jokowi menyinggung perihal CAD saat menghadiri puncak peringatan Hari Ulang Tahun ke-8 Partai Nasional Demokrat di JIExpo Convention Centre and Theatre Jakarta. Saat itu Jokowi mengatakan yakin masalah CAD akan beres dalam tiga sampai empat tahun ke depan. 

"Saya mengajak kita semua untuk bersama-sama melihat betapa berpuluh tahun kita menghadapi masalah defisit neraca transaksi berjalan, defisit neraca perdagangan, tidak bisa kita tangani secara baik. Saya meyakini penyakit ini bisa kita selesaikan dalam 3-4 tahun mendatang" ujarnya Jokowi.

Seandainya CAD berhasil diatasi, apa benar Jokowi berani mengobarkan perang dagang? 

Amerika Serikat (AS) di bawah komando Presiden Donald Trump mengobarkan perang dagang dengan China. Alasannya China selama ini terus mencatat surplus perdagangan yang jumbo dari AS. China juga dituduh melakukan praktik perdagangan yang tidak adil, serta melakukan pencurian kekayaan intelektual.



Dampak yang ditimbulkan sangat besar, perekonomian kedua negara mengalami pelambatan. PDB China di kuartal III-2019 tumbuh 6%, menjadi yang terendah dalam 27 tahun terakhir. Sementara pembacaan awal PDB AS kuartal III-2019 sebesar 1,9% lebih rendah dari kuartal sebelumnya 2%.

Pelambatan ekonomi tersebut memaksa bank sentral AS menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali tahun ini, guna memberikan stimulus ke perekonomian. AS bahkan diguncang isu resesi beberapa bulan lalu akibat pelambatan ekonomi yang dialami. Dampak perang dagang bagi dua raksasa ekonomi dunia ini sudah sangat terasa.

Jadi, serius mau berantem kalo CAD beres, Pak Jokowi?

TIM RISET CNBC INDONESIA 


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular